Minggu, 11 Mei 2008

Hanafi, MA: Pengantar Kata

Hanafi, MA: Pengantar Kata
Kita semua berharap dengan hikmah yang muncul dari adanya berbagai peristiwa bangsa ini, kita bisa menjadi lebih arif (selaras dengan ‘urf, tradisi baik) dan bijaksana untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang masih menumpuk ini. Berbagai bencana yang menimpa bangsa ini, mulai Tsunami di Aceh, Gempa di Jogja-Jateng, Jawa Barat, banjir Lumpur Lapindo, Banjir diberbagai wilayah Sumbar dan Riau, kerusuhan di Poso yang tak terlihat ujung-pangkal­ nya, dan lainnya, semua itu tidak pernah membuat kita termenung, mempertanyakan apa yang salah dengan penduduk negeri ini.
Padahal dulu, bangsa ini merupakan “untaian zamrud katulistiwa”. Bangsa ini, dulu juga pernah mendapat julukan “macan Asia yang sedang bangkit”. Dan dulu kesuburan tanah bangsa ini dirilis oleh Koes Plus seperti “tongkat dan kayu jadi tanaman”. Tetapi saat ini, ketika musim kemarau tanah-tanah kita menjadi kering, asap bisa dipastikan muncul karena kebakaran hutan, dan saat musim hujan, kita selalu kedatangan banjir.
Pada saat sekolompok bangsa ini, tertawa bahagia ketika mendapatkan tunjangan jabatannya dan mampu menukarkan dolar-dolar mereka bahkan bersafari ria ke luar negeri, tetapi pada saat itu pula beberapa juta saudara-saudara kita yang lain harus mengurut dada, karena sulitnya mencari rupiah, dan bahkan harus memutar otak untuk bisa mendapatkan makan esok harinya.
Ada apa dengan negeri ini? Kenapa kenikmatan yang melimpah, menjadi bencana? Kenapa kita tidak pernah merasa bersalah dengan “sirene” yang ditiupkan oleh alam? Kenapa kita tidak pernah menjadi bijaksana, untuk menyikapi persoalan bangsa ini? Mengapa kita masih saja mempersoalkan politik yang jelas-jelas tidak memihak kaum kecil? Kenapa “kekuasan” masih menjadi bius bagi para tokoh bangsa ini, bukannya memberikan tindakan nyata bagi perbaikan bangsa ini?
Jika kita sepakat bahwa mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam, maka berarti mereka sangat meyakini bahwa Tuhan pernah menyebutkan dalam al-Qur’an tentang sebab kejatuhan satu generasi itu karena mereka melalaikan sholat dan mengikuti hawa nafsunya (QS. 19 : 59). Sebaliknya, Tuhan akan melimpahkan keberkahan dari langit maupun dari bumi kepada mereka yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya (QS. Al-A’raf : 96). Atau apakah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini juga lupa ketika Tuhan mencabut kenikmatan pada suatu bangsa karena bangsa itu sudah menjadi bangsa Fir’aun (ali Fir’aun), “(Siksaan) yang sedemikian itu terjadi karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu bangsa sehingga bangsa itu mengubah apa yang ada dalam diri mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Keadaan bangsa itu sama dengan keadaan keluarga Fir’aun serta orang-orang yang sebelumnnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya. Maka Kami binasakan mereka dengan dosa-dosa mereka dan Kami tenggelamkan keluarga Fir’aun. Semuanya adalah orang-orang zalim (QS. Al-Anfal : 53 – 54).
Ketika kita lihat di lapangan, masjid-masjid masih dipenuhi oleh jama’ah. Pengajian-pengajian masih terdengar meskipun yang hadir banyak ibu-ibu. Berbagai kajian dan pelatihan tentang Islam diselenggarakan di kantor-kantor maupun di hotel-hotel berbintang. Namun mangapa berbagai ajaran luhur dan norma-norma Islam yang begitu agung dan mulia itu tidak tercermin dalam prilaku politik, ekonomi, dan etika social sehari-hari?
Apakah kita sudah menjadi Fir’aun-Fir’aun yang demi kekuasan telah memeras, menindas, dan merampas hak-hak orang lemah? Atau apakah para cerdik pandai kita sudah menjadi Hamman yang mempersembahkan kepandaianya untuk mengabdi pada penguasa yang zalim? Atau apakah kecerdasan yang kita miliki, telah kita pergunakan untuk meliciki orang banyak?
Kita seringkali menjual ayat-ayat Allah untuk memenuhi hawa nafsu kita. Terkadang kita mengemas ambisi duniawi kita dengan selalu mengikuti ritus-ritus keshalihan. Seharusnya kita, mau menghampiri dan memberi uluran tangan kepada para anak jalanan. Meskipun kita sering ke Masjid, tetapi di luar Masjid kita menyepelekan Allah. Di dalam Masjid, kita menyembah dan mengagungkan nama-Nya, di luar Masjid kita menyembah dan mengagungkan kemaksiatan.
Berbagau pertanyaan diatas sangat pantas untuk kita renungkan bersama dalam menyambut tahun Baru Hijriyah, tahun yang semestinya milik umat Islam. Untuk mengawali tahun baru ini, kita pantas untuk bertanya kepada diri kita sendiri, cukup berhasilkah, cukup kuatkah, dan cukup mampukah kita merealisasikan nilai-nilai luhur dan norma-norma keagungan Islam dalam kehidupan sehari-hari mendatang. Sembari memantapkan langkah di tahun 1428 H, kita mesti mencoba merubah berbagai bencana yang menimpa bangsa ini, menjadi nikmat kembali, yaitu dengan mengubah prilaku kita kearah yang lebih baik. Mari kita tinggalkan arogansi Fir’auan, kerakusan Qarun, dan kelicikan Hamman. Sehingga Allah memberikan limpahan nikmat dari langit dan bumi-Nya.
Lewat media ini, saya mencoba mengajak anda semua untuk membaca dan melihat kembali realitas keislaman kita.

1 komentar:

Hanafi, MA mengatakan...

Wah mantab... tulisan anda