Selasa, 13 Mei 2008

Kebijakan Pemerintah Terhadap Penetapan Kurikulum Nasional;
Analisis Atas Kurikulum Muatan Lokal
Imam Hanafi, MA


Pengantar
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan, yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan pada dasarnya juga “belajar”, tetapi lebih ditentukan oleh instink. Sedangkan bagi manusia, belajar berarti sebuah rangkaian kegiatan atau aktifitas menuju “pendewasaan” guna menuju kehidupan yang lebih bermakna.[1]
Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat yang akan datang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan oleh pendidikan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[2]
Nah, kurikulum menjadi sangat penting dan menempati posisi yang cukup signifikan dalam pendidikan, sebab sangat berkaitan dengan penentuan arah, isi (content), dan proses pendidikan yang pada ahirnya sangat menentukan kualifikasi lulusan sebuah lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan, baik dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Semua orang sangat berkepentingan dengan kurikulum, sebab ketika kita berposisi sebagai orang tua, sebagai warga masyarakat, sebagai pemimpin, akan selalu mengharapkan kepada anak-anak muda kita untuk menjadi tumbuh dan berkembang yang lebih baik, lebih cerdas, lebih berkemampuan. Makalah berikut akan mencoba mendiskusikan tentang “perjalanan” kurikulum di Indonesia, khususnya pada kebijakan pemerintah tentang kurikulum Muatan Lokal.
Kurikulum dan Pendidikan ; Sebuah Perspektif
Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dari seluruh kegiatan pendidikan. Bahkan ada yang berpendapan bahwa kurikulum ini merupakan “rel” yang sangat menentukan akan kemana pendidikan diarahkan. Kurikulum menentukan jenis dan kuantitas pengetahuan serta pengalaman yang memungkinkan seorang lulusan memiliki wawasan global.
Meskipun yang dimaksud kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu.
[3]. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan sekedar rencana pelajaran. Akan tetapi kurikulum merupakan semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[4] Dengan kata lain, kurikulum mestinya mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun jam diluar jam belajar, sepanjang itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu, muncullah istilah extra-kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan diluar jam belajar dalam kelas.
Akan tetapi yang lebih penting dalam pengembangan sebuah kurikulum adalah sarana modern yang dapat menunjang terjadinya proses pembelajaran yang optimal. Kemudian lingkungan hidup sekolah, perpustakaan umum, museum, kegiatan-kegiatan budaya yang beraneka ragam, merupakan sarana penunjang dalam proses pendidikan
[5]
Jika di Irlandia, pemerintahnya menyediakan sarana dan menanggung gaji dari para gurunya baik swasta maupun negeri, maka hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia yang lebih menekankan pada pengalihan tanggungjawab ke pihak sekolah dalam hal “pelaksanaan” kurikulum saja. Sekolah hanya menjadi “pesuruh” dari ide-ide “kepentingan” politik.
Masa depan yang dibawa oleh proses globalisasi adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan Ilmu pengetahuan (knowledge based socity). Masyarakat yang didasarkan pada penemuan-penemuan yang meningkatkan taraf hidup manusia. Maka sikap inovatif merupakan syarat yang perlu dikembangkan dalam pendidikan modern. Dengan demikian, proses pengembangan kurikulum mestinya diarahkan pada sikap-sikap inovatif, sikap meneliti, sikap yang selalu “meragukan” penemuan-penemuan hari ini, dan mengikhtiarkan penemuan-penemuan yang lebih baik.
Perubahan Kurikulum yang ada di Indonesia, dari Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah memnberikan implikasi yang cukup signifakan dalam perjalanan pendidikan di Indonesia. Secara paradigmatic, perubahan yang terjadi adalah dari paradigma sentarlistik menjadi desentralistik, dari berbasis content menjadi berbasis competent, dari teacher-centered teaching menjadi student-centered teaching, dan dari parsialistik menjadi holistic, yaitu keterpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Perubahan-perubahan tersebut, memunculkan sikap optimistic pada sebagian pihak, tetapi ada juga yang merasa pesimis, karena khawatir pelaksanaan KBK ini hanya berhenti pada tataran “nama”, sementara “isinya” masih “menyusu” pada kurikulum 1994. Kekhawatiran ini wajar jika dihadapkan pada sebuah realitas bahwa model pembelajaran yang berlangsung masih menekankan pada pola-pola lama, karena meskipun Kurikulumnya baru tetapi orang-orangnya masih itu-itu juga dan yang diajarkan masih itu-itu juga. Margaret Mead pernah menuliskan sesuatu yang sangat menyakitkan “Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, oleh karenanya ia melarangku untuk sekolah”.
[6]
Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah mengembangkan aktivitas dan kreatifitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Keberhasilan dalam proses pembelajaran ini dapat diukur sejauhmana pendidik mampu menciptakan iklim yang “memerdekakan”.[7] Suasana pembelajaran kita, masih jauh darj target tersebut. Peserta didik masih dihantui oleh berbagai situasi ancaman, situasi emosional dam otoriter pendidik, situasi ketatnya jam belajar, dan seterusnya.
Kritik yang diajukan terhadap kurikulum 1975, 1984, dan 1994 yang ada dinegara kita adalah mata pelajaran dan materi kurikulum dirasa terlalu padat. Akibatnya, peserta didik terlalu berat menerima beban materi yang diajarkan. Padatnya kurikulum berimplikasi pada padatnya informasi pada buku teks. Kurikulum yang begitu sarat materi, mendorong guru semakin “bernafsu” untuk membahas habis seluruh pokok bahasan dengan tatap muka di kelas.
Pada proses selanjutnya, materi-materi pelajaran di “sesakkan” sedemikian rupa ke otak-otak peserta didik. Kesadaran untuk maju dicoba melalui media pengembangan dan pola-pola penciptaan keresahan, ancaman, dan bahkan hukuman oleh guru. Sekolah, pada akhirnya telah kehilangan ruh kanalisasi diri, etos kesepahaman, ekspresi dan aktualisasi pemikiran. Kesenangan pada proses pembelajaran, berubah “drastis” menjadi kebingungan, kenyamanan belajar pada akhirnya tidak lagi ditemukan di kelas. Inilah yang menjadi kegelisahan oleh para pemikir pendidikan, Kurt Singger menyebutnya sebagai “Pedagogi hitam”. Sinisme senada juga muncul dari Ivan Illich, yang menyuarakan proyek “deschooling sociaty” (masyarakat bebas dari sekolah). Kemudian Everett Reimer, meneriakkan “the end of school” , Paulo Friere dengan “pedagogy of the opressed”-nya, serta “the end of education” dari ‘celotehan’ Neill Postman.
Usaha sekolah dalam melakukan proses pembelajaran, juga sangat mengunggulkan supremasi kognisi. Sehingga, orientasi pembelajarannya adalah bagaimana guru berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan seluruh bahan atau materi, demi mengejar ulangan umum bersama, demi mencapai nilai yang tinggi dalam menghadapi ujian akhir atau bersaing dalam menempuh ujian masuk Perguruan Tinggi. Maka, pendidikan afeksi dan kompetensi peserta didik dalam melakukan interaksi antar sesama, sungguh menjadi terabaikan.
Sementara itu didalam dunia yang semakin terbuka saat ini, pengalaman manusia adalah tanpa batas, tanpa akhir dan semakin terakumulasi dimasa depan dalam dunia yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based socity). Adalah sangat tidak mungkin merumuskan semua pengalaman manusia, baik yang telah lalu maupun yang akan datang dalam kurikulum formal. Oleh karena itu, didalam pendidikan formal (sekolah) tidaklah mungkin diajarkan berbagai kompetensi atau “ranah” dalam pendidikan di sekolah, yang akan digunakan oleh peserta didik dalam menghadapi kehidupan akan datang.
Kehidupan itu sendiri, pada hakikatnya kehidupan yang terbuka, karenanya kompetensi yang saat ini di agung-agungkan, pada suatu saat akan usang (entropy) untuk hari esok. Yang perlu adalah pengenalan dan penguasaan terhadap berbagai dasar ketrampilan hidup yang telah terakumulasi didalam kebudayaan manusia dan yang diperkirakan akan memberikan manfaat bagi kehidupan untuk masa depan yang belum menentu.
Dengan demikian, kurikulum bukanlah untuk mempersiapkan penguasaan ketrampilan untuk hidup, melainkan dasar-dasar ketrampilan untuk menghadapi hidup yang terbuka. Kurikulum berdasarkan kompetensi (KBK) ataupun kurikulum untuk kehidupan (curriculum for life) yang berkembang di Indonesia saat ini, merupakan sebuah keniscayaan. Karena kurikulum disusun untuk mempersiapkan peserta didik menuju kearah kompetensi kehidupan yang terbuka.
[8]

Kebijakan Kurikulum Muatan Lokal
Lima Sekolah Menengah Pertama (SMP) penyelenggara terbatas (minipiloting) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Jawa Tengah, mengeluhkan beberapa persoalan berkait dengan penyelenggaraan KBK. Persoalan utama yang dihadapi adalah struktur kurikulum. Perubahan jumlah jam pelajaran dari 45 jam pelajaran pada Kurikulum 1994/1999 menjadi 38 jam pada Kurikulum 2004 sangat memengaruhi pengaturan jadwal.
[9]
Persoalan Pertama adalah penentuan muatan lokal (mulok). Jam pelajaran mulok yang berkurang dari empat jam menjadi tiga jam pelajaran, membawa dampak pada pengaturan penjadwalan. Akibatnya pada beberapa sekolah terdapat guru mulok yang terpaksa 'nganggur' karena jamnya dipangkas..
Persoalan Kedua, model penilaian. Di dalam KBK penilaian tidak dilakukan pada ranah pengetahuan (kognitif) saja, melainkan juga pada sikap (afektif) dan tindakan (psikomotorik). Persoalannya, para guru masih belum terbiasa dengan pola penilaian yang semacam itu. Guru masih mengalami kerepotan ketika harus menilai pada tiga ranah itu, ditambah dengan komentar perihal kelebihan dan kekurangan siswa.
Persoalan Ketiga, soal sarana/prasarana yang tersedia di sekolah. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai. Padahal, beberapa mata pelajaran semacam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menuntut adanya komputer di Sekolah. Belum lagi, penyelenggaraan pembelajaran di luar kelas (outdoor) yang menuntut biaya operasional lebih besar.
Persoalan selanjutnya, masih adanya wacana ulangan umum bersama pada beberapa daerah untuk menentukan nilai akhir siswa. Menurut Muslikh, implementasi perubahan orientasi dari materi ke proses, membuat ulangan umum bersama yang hanya menitikberatkan pada aspek kognisi menjadi tidak relevan.
Terlepas dari beberapa persoalan diatas, Kurikulum Muatan Lokal pada kasus diatas justru mengalami pengurangan jam pelajaran, sementara implikasi dari Undang-Undang tentang upaya desentralisasi atau otonomi kurikulum adalah pemberian keluasan pihak Sekolah untuk mengelola dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri, termasuk Kurikulum Muatan Lokal.
Persoalan yang sering muncul dalam pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal adalah pemahaman bahwa pengembangan Kurikulum Muatan Lokal seringkali dimaknai dengan pemberian materi bahasa daerah an sich.
[10] Padahal yang sangat perlu dikembangkan dalam Kurikulum Muatan Lokal adalah Daerah mestinya mengupayakan buku-buku penunjang yang bertujuan menjelaskan materi pelajaran sesuai situasi alam dan sosial-budaya setempat. Dengan demikian siswa bisa memahami pelajaran sesuai situasi yang dilihatnya sehari-hari. Karena substansi dari pengembangan Kurikulum Muatan Lokal adalah upaya untuk membekali pengetahuan dan keterampilan kepada siswa sesuai kondisi sumber daya alam dan situasi sosial ekonomi setempat.
Kurikulum 1994 memberikan alokasi waktu 20 persen untuk pengembangan kurikulum muatan lokal. Tetapi ketika Kanwil P dan K di masing-masing daerah kurang mampu dalam menjabarkan konsep itu, maka pelaksanaan kurikulum muatan lokal menjadi semakin “amburadul”. Hal ini disebabkan ketiadaan keberanian bagi pimpinan sekolah untuk berpendapat lain. Di samping kurang peka dalam membaca potensi masing-masing daerah, pihak kanwil juga mau gampangnya saja, dengan melakukan penyeragaman agar mudah mengontrol. Sedangkan bagi guru, karena tidak tahu, malas belajar, dan takut menanggung risiko, mereka jalani saja apa yang sudah dijuklakkan dan dijukniskan. Tidak heran bila Prof. Dr. Fauzia Hafidz, yang terlibat dalam penggodokan kurikulum muatan lokal yang sungguh beda dengan konsep semula, yaitu bagaimana mengembangkan potensi lokal tempat murid berada, kecewa. Lebih mengecewakan lagi bila materi pelajaran itu dipakai sebagai dasar untuk kenaikan kelas atau kelulusan.
Padahal apresiasi terhadap mapel bahasa Daerah tersebut akan segera berubah dengan adanya ketentuan bahwa bahasa Daerah bukanlah mapel muatan lokal. Ketentuan pertama adalah UU RI No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan 8 Juli 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No 78). Pada Pasal 37 ayat (1) dinyatakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga,keterampilan/ kejuruan, dan muatan lokal.
Selanjutnya dalam Penjelasan atas UU RI No 20 Th 2003 tersebut (Tambahan Lembaran Negara RI Th 2003 No 4301) khususnya Pasal 37 ayat (1) tentang butir bahasa dijelaskan sebagai berikut: Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: satu, bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional. Dua, bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik. Tiga, bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa daerah ; Satu, merupakan mapel wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dua, memiliki kedudukan yang sama dengan mapel bahasa nasional dan bahasa asing. Tiga, memiliki fungsi yang sama pentingnya dengan fungsi bahasa nasional dan bahasa asing.
Dengan uraian di atas semakin jelas bahwa mapel bahasa Daerah merupakan mapel wajib di sekolah dasar dan menengah, nilainya dalam rapor memiliki kedudukan yang sama dengan nilai mapel bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (bahasa asing lainnya), serta mapel bahasa Daerah bukan mulok yang patut direndahkan atau disepelekan.
Yang menjadi persoalan kemudaian adalah materi kurikulum yang mana yang termasuk mulok? Penjelasan UU RI No 20 Th 2003 Pasal 37 ayat (1) - yang tercantum dalam Tambahan Lembaran Negara RI Th 2003 No 4301 - menyatakan bahwa bahan kajian muatan lokal dimaksudkan untuk membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mapel yang disebut mulok adalah mapel yang memuat bahan kajian khas potensi atau identitas daerah. Misalnya, keterampilan ukir (mulok Kabupaten Jepara). Keterampilan Batik (mulok Kabupaten/ Kota Pekalongan dan Kota Surakarta). Kerajinan kuningan (mulok Juwana/ Kab. Pati) dsb.
Oleh sebab itulah maka Dachnel pernah menyarankan, bahwa muatan kurikulum dalam pengadaan buku ikut disesuaikan. Misalnya, kurikulum untuk sekolah dasar (SD), 80 persen muatan lokal, 20 persen skala nasional. Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP)-sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), 50 persen muatan lokal, 50 muatan nasional. Muatan lokal untuk SD harus dominan, karena alam pikiran murid SD masih lebih terbatas pada lingkungan alam sekitarnya. Sementara untuk SLTP-SLTA, muatan lokal dan nasional sudah harus seimbang, karena alam pikirannya sudah lebih luas, baik skala lokal dan nasional.
[11]

KBK dan Tantangan Muatan Lokal ; Menimbang KTSP
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di SMP mulai tahun ini membawa konsekuensi pada perubahan struktur program pengajaran. Jika semula alokasi jam pelajaran 44 x 45 menit, sekarang menjadi 38 x 45 menit per minggu. Perinciannya, 36 jam untuk kurikulum nasional, 2 jam untuk muatan lokal. Dari sinilah persoalan baru muncul. Dengan pengurangan alokasi waktu, mata pelajaran yang tergolong mutan lokal terkena dampaknya. Karena alokasi waktunya berkurang, guru-gurunya terpaksa atau dipaksa dialihfungsikan.
Sekadar mengingatkan, Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar, penilaian berbasis kelas, kegiatan belajar-mengajar, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
[12]
Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan penjabaran UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena itu, lantas ada perubahan pengelolaan pendidikan dari sentralistik ke desentralistik. Desentralistik pengelolaan pendidikan dituangkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003.
Kurikulum perlu didesentralisasikan, terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaan lewat penyesuaian dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Apabila pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diperhatikan secara saksama, muatan kurikulum nasional masih sangat dominan. Sebab, secara kuantitatif, 36 jam untuk kurikulum nasional, sedangkan muatan lokal hanya mendapat porsi 2 jam.
Jika muatan lokal dianggap sebagai wahana atau sarana bagi pengembangan potensi daerah, maka jelas alokasi waktu pembelajaran itu sangat kurang. Semestinya pengembangan potensi-potensi daerah dalam bidang pendidikan dialokasikan pada mata pelajaran muatan lokal. Penerapan KBK hendaknya jangan sampai menyimpang dari pelaksanaan otonomi daerah, terutama dalam bidang pendidikan.
Oleh sebab itu, lahirlah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan hasil penyempurnaan dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang menekankan pada standar isi dan standar kompetensi lulusan. Kelebihan KTSP adalah memberi alokasi waktu pada kegiatan pengembangan diri siswa. Siswa tidak melulu mengenal teori, tetapi diajak untuk terlibat dalam sebuah proses pengalaman belajar siswa dan pengembangan potensi masing-masing daerah. Pada bagian inilah, Kota Bandung akan mencoba mengembangkan alokasi waktu pengembangan diri yang tertuang dalam KTSP untuk pelajaran muatan lokal (mulok) seperti pendidikan lingkungan hidup (PLH) yang kini sedang dibicarakan. Karena Pencapaian akhir dari PLH adalah melahirkan siswa yang sadar dan berperilaku bersih, tertib, dan mengutamakan keindahan lingkungan.
[13]
Indikator pencapaian hasil KTSP menurut, dapat dilihat dari hasil akhir (lulusan) kurikulum tersebut saat mengikuti ujian nasional (UN). Sedangkan untuk dapat melihat sejauhmana tingkat keberhasilan pelaksanaan KTSP sebagai kurikulum baru dapat dilihat pada 3-5 tahun mendatang. Sebab pelaksanaan KTSP hanya dilakukan di kelas 1-4 SD dan kelas 3 SMP/SMA/SMK, sedangkan lulusan tahun depan masih menggunakan kurikulum KBK tahun 2004.[14]

Penutup
Tahun ajaran 2006/2007 ini muncul kurikulum baru yaitu KTSP (kurikulum tingkat satuan pelajaran). KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dibuat oleh sekolah yang mengacu pada standar isi yang diterbitkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang dilaksanakan oleh setiap pendidikan berdasarkan potensi dan kebutuhan satuan pendidikan di daerah masing-masing.
Dalam kurikulum baru ini, pihak sekolah memiliki hak dan wewenang membuat dan mengembangkan kurikulum tersebut. Hal ini tentu para guru yang harus aktif dan kreatif dalam menentukan langkah-langkah pembuatan dan pengembangan kurikulum tersebut. Karena dalam KTSP, guru yang berhak sepenuhnya menentukan penilaian kepada anak didik, bukan pihak-pihak yang tidak tahu tentang kualitas kemampuan anak didik (student's skill quality).
Meskipun KTSP tidak jauh berbeda dengan kurikulum 2004, tapi hal ini berdampak pada metode pengajaran dan penyampaian materi yang sulit untuk mencapai tahap kesempurnaan. Hal ini disebabkan sering berubahnya kurikulum, sedangkan implementasi kurikulum lama belum sepenuhnya dimengerti dan dipahami, apalagi dilaksanakan dengan baik.
Oleh sebab itulah, pemerintah harus secara bijak menentukan arah pendidikan ini agar murid sebagai masyarakat yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak bingung dengan sistem ataupun program yang sudah ditetapkan pemerintah. Permasalahannya, bagaimana mencari celah-celah dalam pelaksanaan Kurikulum tersebut untuk mampu mengembangkan potensi daerah pada peserta didik, tanpa harus bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan kurikulum baru itu. Itu tantangan mendesak yang harus segera dijawab poleh para stakeholders pendidikan……


[1] M. Rusli Karim. “Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Tiara Wacana., 1991), hlm. 27.
[2] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung : Al Maarif. 1980), hlm. 90.
[3] Badri Yatim, dkk.. Sejarah Perkembangan Madrasah, (Jakarta : Depag. 2000), hlm. 77.
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosdakarya . 1992), hlm. 53.
[5] H. A. R. Tilaar, 2005. Manifesto Pendidikan Nasional ; Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, (Jakarta : Kompas. 2005), hlm. 116 – 119.

[6] J. C. Tukiman Taruna, “Pedas dan Pakem ; Komitmen dan Revolusi Pembelajaran” dalam Basis No, 07 – 08, Tahun ke-51, Juli – Agustus 2002, hlm. 68.
[7] Djohar, Pendidikan Strategi ; Alternatif untuk Pendidikan masa Depan,(Yogyakarta : LESDI. 2003), hlm. 153.
[8] J. Dross. Dari KBK Hingga Ke MBS, (Jakarta : Kompas, 2005), hlm. 57.
[9] Kompas, Kamis 26 Agustus 2004.
[10] Lihat hasil penelusuran Kompas, Kamis, 7 November 2002 yang diuungkapkan oleh Kepala Bidang Pengembangan Kurikulum Pendidikan Guru dan Perguruan Tinggi bahwa dengan alasan kekurangan buku-buku, seringkali mulok dimaknai dengan pengajaran bahasa Daerah. Lihat juga Kekecewaan Darmaningtyas atas kebijakan dari masing-masing Daerah, terutama di Daerah DIY yang menjadikan Bahasa Jawa dan Karawitan sebagai Mulok di sekolah-sekolah, lalu di Bekasi yang mengajarkan Bahasa Sunda pada Muatan Lokal.
[11] Dachnel Kamars adalah pakar manajemen pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP). Lihat Kompas, Senin 11 November 2002.
[12] Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
[13] Pikiran Rakyat, Senin, 30 Oktober 2006
[14] Pikiran Rakyat, Senin, 30 Oktober 2006

Tidak ada komentar: