Selasa, 13 Mei 2008

Paradigma Pembelajaran Rekontruksionisme

Paradigma Pembelajaran Rekontruksionisme
Imam Hanafi, MA


Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya adalah membantu peserta didik untuk menjadi generasi yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman, dan lainnya. Pendidikan juga membawa misi untuk melibatkan peserta didik pada persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Rasanya sudah sangat sering kita dengarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pendidikan nasional. Kata-kata ekstrem pun sering terluapkan; konon pendidikan nasional Indonesia telah gagal menjalankan misinya untuk membentuk manusia-manusia yang cakap dan berkepribadian serta membangun bangsa yang berkarakter. Konon pendidikan hanya bisa menghasilkan koruptor, kolutor, provokator, dan manusia-manusia tak berbudi lainnya.
Ekstremitas tersebut tentu tidak sepenuhnya benar meskipun ada bagian yang tidak salah. Adalah benar bahwa sebagian koruptor, kolutor, provokator serta manusia-manusia yang tidak berbudi lainnya adalah orang-orang yang berpendidikan, bahkan sebagian di antaranya berpendidikan tinggi. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa seluruh hasil pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi, adalah buruk. Karena Pendidikan itu sendiri merupakan sebuah proses tiada henti, sebuah proses yang selalu menyisakan berbagai persoalan, meskipun ia selalu memberikan konsep-konsep baru tentang bagaimana membangun dan mengembangkan kualitas manusia. Di sini, pendidikan menempati posisi penting, ketika secara “tulus” ia mejadikan manusia sebagai subyek yang merdeka, sebagai sosok yang tidak “kosong” dari pengalaman-pengalaman yang telah dia ciptakan sendiri.
Secara epistemologis, kelemahan beberapa pemikiran klasik adalah ketika ia menganggap pengetahuan sudah ada dan sudah jadi, lalu ia menempatkan “sosok guru” sebagai seseorang yang paling tahu. Sehingga tugas guru adalah mentransfer pengetahuan itu, kedalam otak peserta didik. Maka peserta didik tinggal membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu apa adanya.

Konteks Sejarah Lahirnya Filsafat Rekontruksionisme
Sebagaimana Perennialisme, filsafat Rekontruksionisme juga hendak menyatakan bahwa budaya modern telah mengalami krisis.
[1] Ia berusaha merombak tata susunan lama dan membangun konsep baru mengenai pola hidup kebudayaan yang lebih bercorak modern.[2] Bagi keduanya, keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terpengaruh oleh kehancuran, kebingungan, dan keragu-raguan.[3] Akan tetapi, filsafat Rekontruksionisme tidak sependapat dengan “pola kerja” yang dibangun oleh Perennialisme yang mencoba “bernostalgia” dengan kebudayaan abad pertengahan. Filsafat Rekontruksionisme lebih memilih pada usaha dan membina sebuah konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia, restore to the original form.[4]
Kata Rekontruksionisme itu sendiri, mempunyai akar kata dari bahasa Inggris, rekontruct, yang berarti menyusun kembali. Yaitu melakukan perombakan dan menyusun kembali pola-pola lama menjadi pola-pola baru yang lebih meodern. Secara historis, lahirnya Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in Philosophy.[5] Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat.[6]
Pada tahun 1932, George Counts (1889 – 1974)[7] ia mengktik praktik-praktik sekolah yang telah mengabdikan ketidaksamaan-ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras, kelas, dan etnik.[8] Ia menegaskan bahwa skolah-sekolah menengah umum telah menjadi milik orang-orang berkelas sosial tinggi dan keluarga yang berkecukupan.
Melalui tulisannya yang berjudul Dare the School Build a New Social Order?, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan Progresifisme yang telah gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia menegaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered approach) tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20.
Ringkasnya, kemunculan filsafat Rekontruksionisme ini berangkat dari kondisi masyarakat Amerika pada khususnya dan masyarakat industri pada umumnya, yang semakin meninggalkan sebuah tatanan dunia yang diidam-idamkan. Perkembangan ilmu, teknologi dan industrialisasi pada satu sisi memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan, akan tetapi disisi lain ia telah menimbulkan pengaruh-pengaruh yang negatif. Masyarakat yang tenang, tentram, damai, pelan-pelan telah tergiring pada keterasingan. Ada yang menganggap, kondisi ini karena adanya sifat loises faire, kompetisi yang terlalu berlebihan sehingga bermuara pada pemenuhan kepentingan individual dari pada kepentingan sosial, pada masyarakat Amerika. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan di bidang ekonomi, yang semula berbentuk individual interprenurship dirubah kearah coorperative yang bersendikan konsep kerja sama kolektif. Konsep ini, kemudian mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Keadaan ini, meyakinkan para pemikir pendidikan bahwa pendidikan perlu mempunyai konsep dan peran yang positif dalam mengadakan rekontruksi masyarakat. Dan masyarakat yang direkontruksi ini, hendaknya lebih mengutamakan kebersamaan dari pada kepentingan-kepentingan individu.
[9]

Pandangan Filsafat Rekontruksionisme tentang Pengetahuan
Secara umum, filsafat Rekontruksionisme merupakan sebuah paham anti-esensialisme, yang menekankan kepada penciptaan budaya dan sejarah. Filsafat Rekontruksionisme bertentangan dengan paham universal dan penjelasan biologis terhadap obyek atau kejadian. Misalnya identitas merupakan suatu diskursus kontruksionisme yang tidak berkaitan dengan benda. Artinya, identitas bukan merupakan suatu entitas universal, melainkan merupakan suatu ciptaan kultural atau secara spesifik merupakan diskursus yang kontruktif. Bagi filsafat Rekontruksionisme, yang terpenting adalah pribadi sebagai bentukan budaya, karena pribadi terbentuk dari materi budaya, seperti bahasa dan praktik budaya lainnya dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula.
[10]
Sementara ia memandang pengetahuan merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar.[11] Misalnya, pengetahuan siswa tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang sderhana, tidajk lengkap, dan semakin dia dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing, sehingga pengetahuannya tentang kucing akan semakin lengkap. Contoh lain misalnya sering terjadi seorang guru sudah berulang-ulang menjelaskan kepada muridnya suatu bahan pelajaran, namun murid tersebut salah menangkap. Fenomena ini menguatkan klaim para penganut filsafat rekonstruktivisme yang menekankan bahwa murid telah mengkonstruksi (membentuk) sendiri pengetahuan mereka.
Para penganut Rekontruksionisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru
Kaum Rekontruksionisme menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan akan air. Menurut von Glaserfeld, tokoh filsafat Rekontruksionisme di AS, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan pengalaman mereka.
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang kita konstruksikan.
Bagi kaum Rekontruksionisme, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang rekonstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi rekonstruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Lalu bagaimana dengan soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita bentuk itu benar? Rekontruksionisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dalam viabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Apakah pengetahuan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam persoalan yang berkaitan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum.
Yang membatasi konstruksi pengetahuan Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat jelas peranan pengalaman dan percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan, gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu disebut ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan pengetahuan.

Tori Belajar dalam Rekontruksionisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar rekonstruksionisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
[12]
Menurut Piaget, seorang anak belajar melalui pengalaman kongkritnya dengan cara merefleksikan pengalamannya. Ketia ia menemukan pengalaman baru, anak akan menyesuaikan dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Karakteristik perkembangan berfikir anak berbeda-beda menurut tahapan usianya, dan tahapan ini berimplikasi pada perbedaan cara belajar anak dan cara mengajar guru. Oleh karena itu, kurikulum musti dirancang sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh anak sebelumnya secara konkrit, sehingga ank mampu melakukannya dan selanjutnya secara bertahap anak diperkenalkan kepada konsep dan kompetensi baru. Tidak heran jika kemudian ada yang mengatakan bahwa Rekontruksionisem pada dasarnya mengajartkan anak “Bagaimana belajar yang efektif”.[13]
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai Rekontruksionisme pertama[14] menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.[15] Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.[16]
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.[17]
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan Rekontruksionisme, Driver dan Bell
[18] mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan rekonstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.
[19]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
[20]
Berbeda dengan Rekontruksionisme kognitif ala Piaget, Rekontruksionisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang.[21] Dalam penjelasan lain Tanjung mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.[22]
Adapun implikasi dari teori belajar Rekontruksionisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar Rekontruksionisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.[23]
Prinsip pembelajaran Rekontruksionisme ini telah banyak mempengaruhi pendidikan sain dan matematika di Amerika, Eropa dan Australia sejak awal 1980-an.[24] Segi pengetahuan dipandang sebagai suatu yang non obyektif-temporer dan selalu berubah. Belajar menjadi suatu proses penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, kegiatan kolaboratif, refleksi dan interprestasi individu. Hasil belajar bergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi pribadi. Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek, perspektif yang dipakai, sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik. Suatu kegagalan dan kesuksesan dilihat sebagai beda interpretasi yang patut dihargai dan sukses belajar sangat ditentukan oleh kebebasan siswa melakukan pengaturan dari dalam diri siswa. Tujuan pembelajaran adalah belajar how to learn. Penyajian isi KBM fakta diinterpretasi untuk mengkonstruksikan pemahaman individu melalui interaksi sosial.
Untuk mendukung kualitas pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data primer, bahan manipulatif dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan kesimpulan. Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif, keterampilan intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban divergen dan pemecahan ganda. Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan belajar mengajar dengan penugasan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata sekaligus sebagai evaluasi proses untuk memecahkan masalah.
Selama ini masyarakat kita berada dalam suatu budaya dimana belajar dipandang sebagai suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukan sekadar fasilitator, melainkan sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Pembelajaran yang sedang dikampanyekan, disosialisasikan justru berbeda dengan pandangan tersebut. Belajar adalah suatu proses dimana siswa memproduki pengetahuan. Siswa menyusun pengetahuan, membangun makna (meaning making), serta mengkonstruksi gagasan. Pada dasarnya teori Rekontruksionisme menekankan bahwa belajar adalah meaning making atau membangun makna, sedang mengajar adalah schaffolding atau memfasilitasi.
Secara sederhana, paradigma pembelajaran Rekontruksionisme adalah :
Dari
Menjadi
Mengajar
Indoktrinasi
Guru sebagai dubyek
Mengumpulkan pengetahuan
Belajar
Partisipatif sebagai fasilitator dan mediator
Siswa sebagai Subyek
Menemukan pengetahuan dan mengembangkan kerangka berfikir

Oleh karena itu skenario suatu pembelajaran maupun kegiatan belajar mengajar yang hanya terhenti pada tahapan dimana siswa mengumpulkan data dan memperoleh informasi dari luar yakni guru, narasumber, buku, laboratorium dan lingkungan ke dalam ingatan siswa saja, belumlah cukup, karena siswa masih berada pada tingkatan mengkonsumsi pengetahuan. Karena itu perlu langkah-langkah yang menunjukkan tindakan siswa mengkonstruksi gagasan untuk memproduksi pengetahuan. Langkah-langkah inilah yang sedang disosialisasikan dua tahun terakhir.

Filsafat Pendidikan ; Antara Rekontruksionisme dan Obyektivisme

Paradigma Pendidikan Objektivisme berdasarkan tanggapan bahwa wujud pengetahuan berada di luar persepsi manusia. Menurut pandangan ini, fungsi sains ialah untuk memastikan pengetahuan disampaikan secara objektif. Proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menalarkan pengetahuan dari pendidik kepada murid. Sementara pengetahuan sains dalam perspektif Rekontruksionisme adalah memberikan penjelasan yang paling sesuai dalam menguraikan fenomena yang diperhatikan.
Ahli objektivisme berpendapat bahwa sebuah ketetapan tentang apa yang perlu dipelajari dan siapa yang pantas mengajar adalah dibuat oleh “pakar” yang semestinya mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan murid banyal tidak dapat melihat keperluan belajar sebagaimana yang dilihat oleh pihak “pakar”. Model autoritarian ini menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat penting dalam kelas. Murid dan juga orang awam beranggapan guru mempunyai seabrek jawaban bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan murid yang produktif dan berpengetahuan luas.
Para ahli Rekontruksionisme menganggap bahwa setiap peserta didik mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. Penekanan sangat diberikan kepada peserta didik dengan memberikan peluang untuk membentuk kemahiran dan pengetahuan di mana mereka menghubungkan dan mengkaitkan pengalaman masa lalu mereka dengan kegunaan masa depen. Peserta didik bukan hanya diberikan dengan fakta-fakta saja, sebaliknya Rekontruktsionisme memberikan penekanan kepada proses berfikir dan kemantapan berkomunikasi. Di sini peserta didik, diajak untuk memahami dan menjelaskan bagaimana makna belajar bagi mereka sendiri.
Melalui penggunaan paradigma rekonstruksionisme, guru perlu mengubah peranannya dalam bidang sains. Guru mungkin akan berperan sebagai pelajar atau penyelidik. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana murid membina konsep atau pengetahuan. Justeru itu guru akan memperolehi pemahaman untuk membina dan mengubah kecerdasan serta berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahwa proses pembinaan dan pengubahan suatu konsep merupakan satu proses berkelanjutan dalam kehidupan.
Dalam paradigma rekonstruksionisme, murid menganggap peranan guru sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh disesuaikan dan boleh dirubah. Mereka juga sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri dalam menggunakan berbagai cara untuk memproses sesuatu dan menyelesaikan sebuah masalah. Dengan kata lain, guru berperan sebagai seorang fasilitator dan pembimbing. Hubungan guru dengan peserta didik diandaikan seperti relasi antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing dan membantu murid mempelajari sesuatu pelajaran dengan bermakna. Guru tidak boleh belajar untuk peserta didik. Peserta didik yang mengembangkan pemahamannya sendiri.
Kebanyakan teknik penilaian juga didasarkan pada paradigma objektivisme. Dalam proses penilaian, peserta didik akan diuji dan harus sesuai dengan jawaban yang dikehendaki oleh seorang guru. Mereka juga dianggap memiliki penafsiran yang sama dengan guru tentang apa yang dikehendaki dalam soalan. Oleh karena itu, soal-soal ujian tidak sebenarnya menguji kefahaman dan pengetahuan murid, tetapi hanya menguji kemahiran murid untuk dijadikan bekal atau modal terhadap jawaban yang dikehendaki oleh guru saja.
Menurut teori rekonstruksionisme, penilaian harus mencakup cara dalam menyelesaikan masalah dengan sebab-sebab dan pengetahuan. Teknik-teknik penilaian yang demikian itu adalah peta konsep, portfolio, ujian prestasi dan ujian pemahaman.
Pandangan ahli rekonstruksionisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah berbeda dengan ahli objektivisme. Ahli rekonstruksionisme menganggap guru berperan sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin peserta didik dengan sempurna. Peserta didik diterima sebagi individu yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang berbeda di mana setiap individu itu diangap penting dalam proses pembelajaran dan perlu diberi perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat keputusan sendiri tentang persoalan-persoaln yang akan mereka pelajari. Melalui proses ini, mereka akan lebih tersentuh, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktivitas pembelajaran mereka.
Sebaliknya ahli objektivisme berpendapat bahwa guru harus berperan sebagai “pengawal disiplin” kelas. Murid tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan. Mereka yang melanggar akan mendapat hukuman.
Proses pembelajaran yang berdasarkan pada rekonstruksionisme memberikan peluang bagi guru untuk memilih prinsip-prinsip pembelajaran yang sesuai dan dapat menentukan sendiri waktu yang diperlukan untuk memperolehi sesuatu konsep atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai pemahaman orang lain supaya pemahamannya tentang suatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi.
Rekontruksionisme medasarkan diri pada bahwa contruction of understanding is the core element in a highly complex process atau alternative interpretation of social phenomena are rarely considered.
[25] Oleh sebab itu, paradigma rekontruksionisme sebagai metode pembelajaran tidak hanya diberlakukan pada mata pelajaran tertentu saja, akan tetapi menjadi model pembelajaran secara umum, terutama untuk mencapai “subject matter objectivies”. Dalam proses inilah, maka pengalaman dan kenyataan (konsepsualisasi dan kontektualisasi) bagi rekontruksionisme, menjadi bahan dasar pembelajaran yang sangat penting.

Penutup

Dalam pengertian Rekontruksionisme, belajar adalah suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang aktif berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di sini hanyalah membantu agar proses rekonstruksi itu berjalan. Guru bukan mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi membantu agar anak didik membentuk pengetahuannya.
Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktivan murid untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan, lingkungan, dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu. Murid diberi kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah, tanpa dihambat. Dengan dibiasakan berpikir sendiri dan mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi pribadi yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational. Dalam pengertian Rekontruksionisme, murid tidak dianggap sebagai suatu tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Murid dipahami sebagai subyek yang sudah membawa "pengertian awal" akan sesuatu sebelum mereka mulai belajar secara formal. Bahkan seorang murid klas 1 SD pun sudah membawa pengetahuan awal mengenai macam-macam hal yang dalam tarafnya berlaku untuk memecahkan persoalan. Pengetahuan awal tersebut, meski kadang sangat naif atau tidak cocok dengan pengertian para ahli, perlu diterima dan nanti dibimbing untuk semakin sesuai dengan pemikiran para ahli. Pemikiran mereka itu meski naif, bukanlah salah; tetapi terbatas berlakunya.
Pihak guru dituntut pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat memahami jalan pikiran anak. Guru menantang, mempertajam, dan menunjukkan apakah jalan pikiran murid benar. Guru tidak mengklaim bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah yang sama dengannya. Kesalahan pemikiran anak diterima sebagai landasan kemajuan. Bukankah perkembangan semua ilmu mulai dari kesalahan? Wallahu A’lam Bi al-Showab.

[1] M. Noor Syaam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, (Surabaya : Usaha Nasional. 1988), hlm. 340.
[2] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 1997), hlm. 97.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hlm 133.
[5] Muhmida Yeli, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekanbaru: LSFK2P. 2005), hlm. 193.
[6] Ibid.
[7] George Counts adalah Profesor di Teacher College, Columbia University (1927 – 1950), ia juga senator Amerika Serikat pada tahun 1952 – 1960 dan mantan anggota aktif di National Committee of the American Civil Liberties Union pada tahun 1940 – 1973. lihat Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan ; Sebuah Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 153 – 154.
[8] Ibid, hlm. 153.
[9] Imam Barnadib, Kearah Perspektif Baru Pendiikan, (Jakarta DEPDIKBUD, 1988), hlm. 45.
[10] HAR. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, (Jakarta : Kompas, 2005), hlm 302.
[11] Paul Suoarno, dkk. Reformasi Pendidikan ; Sebuah Rekomendasi, (Yogyakarta : Kanisius, 2001) hlm. 15.
[12] Ruseffendi,. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. (Bandung: Tarsito. 1988), hlm. 132.
[13] Ratna Megawangidkk, Pendidikan Holistiok. (Jakarta : Indonesia Herritage Foundation. 2005) hlm. 45.
[14] Dahar, Teori-Teori Belajar. (Jakarta: Erlangga. 1989), hlm. 159.
[15] Ruseffendi, op cit, hlm. 133.
[16] Paul Suparno,. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. (Yogyakarta: Kanisius. 1996), hlm 7
[17] Poedjiadi, Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. (Bandung: Yayasan Cendrawasih. 1999), hlm. 61.
[18] Sebagaimana dikutip oleh C. Susan, dkk,. Learning to Teach in the Secondary School. (London: Routledge. 1995), hlm. 222.
[19] Hudoyo, H. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. (Malang: IKIP Malang. 1990), hlm 5.
[20] Lihat Ruseffendi, loc Cit.
[21] Pudjiadi, op cit, hlm. 62.
[22] R.M. Tanjung, Efektivitas pembelajaran Biologi yang Berdasarkan pada Prinsip Belajar Konstruktis. (Makalah Komprehensif. PPS IKIP Malang. Tidak Diterbitkan.1998). hlm. 7.
[23] Lihat Pudjiadi, op cit, hlm. 63.
[24] Di Indonesia juga mulai dikenalkan tentang bagaimana Rekontruksionisme ini menjadi basis pembelajaran bagi mata pelajaran Matematika. Lihat tulisan Sri Subarinah, “Pengembangan Rancangan Mata Kuliah Geometri Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Kontruktivisme Pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mataram” Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 052, Januari 2005.
[25] Lihat Djohar MS, Pendidikan Strategik ; Alternatif untuk pendidikan masa depan, (Yogyakarta : LESFI. 2003) hlm 91 – 92.

Tidak ada komentar: