Kamis, 08 Mei 2008

Trimakasih Israel

Terimakasih Israel
Imam Hanafi, MA

Tiga minggu sudah, engkau “membabat habis” negeri Libanon. Lima ratus jiwa lebih engkau paksa untuk memenuhi panggilan Tuhan, yang hampir delapan puluh lima persen adalah warga sipil yang tidak berdaya yaitu anak-anak dan perempuan. Di tengah kebisuan dan ketidakberdayaan Dunia (PBB), engkau semakin tidak peduli dengan teriakan-teriakan kesakitan anak-anak manusia yang tak berdosa.
Rentetan dan dentuman roket yang engkau kirim ke Libanon dan sekitarnya, mengalahkan suara jeritan dan tangisan anak-anak dan wanita yang tengah terlelap dalam dekapan malam. Senyum yang selalu di dambakan oleh setiap warga lemah, justru engkau ganti dengan kucuran air mata.
Kondisi inilah, menjadikan Hizbullah melegitimasi kekerasan yang ia lakukan sebagai sebuah hal yang lumrah. Begitu juga warga Dunia yang masih mempunyai hati nurani atas korban kemanusiaan, akan membenarkan sikap-sikap “pembalasan” atas apa yang engkau lakukan. Karena perdamaian (bahasa politiknya “genjatan senjata”) yang mereka inginkan, justru muntahan peluru yang engkau berikan.
Tiba-tiba saya ingat akan pernyataan Nelson Mandela ketika ia melakukan pembelaan di pengadilan penghianatan Rivona. Di sana ia menyatakan “Saya dan kawan-kawan yang memulai organisasi tersebut, melakukan karena dua alasan ; Pertama, kami yakin bahwa sebagai akibat kebijakan pemerintah, kekerasan oleh rakyat Afrika menjadi tidak terhindarkan. Dan akan muncul terorisme yang dapat membuahkan penyiksaan dan permusuhan yang intensif antar ras yang berbeda dinegeri ini. Bahkan tidak dihasilkan oleh peperangan, kecuali jika kepemimpinan yang bertanggungjawab diberikan untuk menyalurkan dan mengendalikan rakyat kami. Kedua, kami merasa bahwa tanpa kekerasan tidak ada jalan yang terbuka bagi masyarakat Afrika untuk berhasil dalam perlawanan mereka melawan prinsip supremasi kaum putih. Semua cara untuk mengekspresikan oposisi yang sesuai dengan hokum terhadap prinsip ini, telah ditutup oleh undang-undang dan kami berada dalam posisi harus menerima bahwa kami lebih rendah atau kami menentang pemerintah. Maka kami memilih menentang hukum. Awalnya kami melawan hokum dengan cara menghindari terjadinya kekerasan. Tetapi ketika hal itu dinilai melawan Undang-Undang dan pemerintah menggunakan kekerasan untuk menghancurkan setiap bentuk perlawanan terhadap kebijakannya. Maka sejak saat itulah kami memutuskan menjawab kekerasan dengan kekerasan”
Begitu kira-kira pernyataan Nelson Mandela, yang berjuang untuk bangsanya. Kekerasan justru dia lawan dengan kekerasan pula, karena tidak ada jalan lain untuk melakukan perlawanan, kecuali dengan kekerasan. Meskipun pada mulanya ia berjuang untuk menegakkan hukum, yaitu memperjuangkan hak-hak warga “kulit hitam” atas dominasi kulit putih melalui jalur hokum, tetapi upaya itu justru dibalas dengan penindasan, penyiksaan, pemerkosaan, dan lainnya. Maka tidak ada jalan bagi mereka untuk melakukan perlawanan, kecuali dengan kekerasan.
Begitu juga, dengan yang engkau lakukan. Bahwa kekerasan yang kami lakukan adalah refleksi dari serangakaian kebiadaban yang engkau sebarkan atas dunia Islam. Bahwa perjuangan yang kami lakukan adalah karena dominasi yang engkau lakukan terhadap Negara-negara dunia, sehingga mereka memicingkan mata untuk menghentikan kebrutalan yang engkau lakukan. Maka jangan salahkan kami, jika kami umat Islam bersatu, berjihad bersama untuk membalas kebiadaban yang engkau lakukan.
Akan tetapi, ditengah kebiadaban yang engkau lakukan, wahai Israel, saya sangat berterimakasih atas itu semua. Dengan kebiadaban dan kebrutalan yang engkau ciptakan, telah menyadarkan kami tentang bahaya zionis yang engkau lakukan. Invasi yang telah engkau lakukan, telah mambangkitkan semangat jihad baru yang selama ini kami hanya “tersipu” untuk menyebutmu sebagai “musuh sejati”. Kami semakin sadar, bahwa membalas kesadisan yang engkau lakukan adalah sebuah jihad yang harus kami tempuh bersama.
Terimakasih Israel, engkau telah menghantarkan nyawa-nyawa kami untuk menjadi syahid (saksi akan kebiadabanmu dihadapan Tuhan). Engkau telah membangkitkan semangat martil-martil Islam, yang lebih hebat yang engkau duga, sebagaimana para mujahid kami yang menggulung kaum Komunis-Uni Soviet di Afganistan.
Terimakasih Israel, “penghianatan kemanusiaan” yang engkau tampilkan atas Libanon justru membuat kami semakin bangkit untuk menggalang solidaritas dan kebersamaan kemanusiaan, baik sesama kami umat Islam maupun terhadap agama-agama lain yang sama-sama mengutukmu.
Sekali lagi, saya mengucapkan terimakasih pada engkau Israel, bahwa apa yang selama ini engkau lakukan, yang selalu mendapat restu oleh “gedung putih”, atas Palestina, Hizbullah, dan Libanon, semakin menunjukkan bahwa engkaulah bangsa yang paling biadab di dunia ini. Dan ini semakin menepis kebenaran bahwa apa yang pernah dilakukan oleh Gus Dur, mantan Presiden RI kami, yang sempat membuat “Yayasan Bersama” dengan engkau, adalah tidak benar dan jauh dari persetujuan kami.
Teruskan perjuangan yang engkau lakukan, hingga ke Iran, Irak, Syiria, dan dunia Islam lainnya. Sehingga “memaksa” kami untuk bersatu. Jadi akan sangat wajar jika apa yang diperkirakan oleh Huntington, bahwa “perang dunia ketiga” adalah perang antar peradaban, yaitu peradaban Timur (dunia Islam) dan Barat, menjadi nyata.
Tidak ada yang lebih pedih dan menyakitkan adalah kenapa umat Islam dunia, masih tersipu-sipu untuk membantu saudaranya dibombardir oleh Israel? Kenapa bantuan yang diberikan hanya bersifat cacian dan makian? Kenapa tidak kita boikot saja, semua produk USA dan Israel serta Negara-Negara yang berlindung dibelakang Israel? Atau kita ikuti saja ajakan Mahatir Muhammad untuk tidak menggunakan dollar AS dan poundsterling dalam setiap transaksi? Kenapa harus kita menunggu suara PBB, yang jelas-jelas tidak mempunyai komitmen perdamaian? Jangan-jangan kita hanya menunggu kehancuran rakyat Libanon dan dunia Islam lainya. Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar: