Rabu, 07 Mei 2008

Epistemologi Intuitif

Epistemologi Intuitif ;Memperbincangkan Epistemologi ‘Irfani
PengantarSegala Kebenaran harusnya diketahui dan dinyatakan dan juga dibenarkan. Kebenaran itu sendiri (sebenarnya) tidak memerlukan hal, karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku(Paul Natorp)Pada dasarnya, filsafat mencoba untuk mencari kebenaran, sebuah usaha yang selalu membawa klaim-klaim dari para pembawanya, agar menjadi valid dan tetap selalu dipakai disetiap zaman. Akan tetapi, hal itu harus berangkat dari pertarungan yang panjang, yang melampaui dimensi ruang, tempat dan lokalitas pemikiran seorang filosof. Dari pencarian kebenaran tersebut, tentu akan selalu ada mata rantai filsafat yang pada dataran praksisnya menjadi abadi. Yaitu manifestasi dari tesis-antitesis, aksi-reaksi, dan kontruksi-rekontruksi atau dekontruksi.Oleh karena itu, kebenaran akan selalu menjadi sementara (hypo-knowledge), yang pada suatu saat akan “berselingkuh” dalam bentuk beragam rupa, sesuai dengan parameter dan indikator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidental, lokalitas, kontekstualitas, maupun karena lemahnya “jari-jari” kebenaran tersebut mencengkeram suatu zaman. “Perselingkuhan” atau bahkan pertentangan sama sekali, dari satu kebenaran ke kebenaran lainnya, merupakan dialektika dan dinamika tersendiri dalam diri filsafat.Makalah ini mencoba melakukan eksplorasi lebih jauh pada perdebatan “pencarian” pengetahuan, yang selama ini berputar pada wilayah rasionalisme dan empirisme yang sangat menghegemoni pemiran filsafat selama berabad-abad. Dan makalah ini, tidak membuka kembali perdebatan itu, meskipun ada sedikit “kata pembuka” untuk menguraikan lebih lanjut munculnya intuisi sebagai salah satu “media” bagi proses penemuan pengetahuan.

Pertarungan Epistemologi dalam Sejarah ; Peta awal Kelahiran IntuisionismeEpistemologi seringkali diartikan sebagai “the branch of philosopy which investigates the origins, structure, methods and validity of knowledge” Dengan kata lain, epistemologi merupakan bagian filsafat yang membahas secara mendalam mengenai hakikat dan kebenaran sebuah pengetahuan, serta metode dan sistem untuk memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya, terdapat dua aliran besar dalam epistemologi. Pertama, Idealisme, yang kemudian diteruskan oleh kelompok rasionalisme. Aliran ini, sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, Matrealisme, justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua . Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Matrealisme dimotori oleh Aristoteles.Plato (427 – 347 SM) bersiteguh, bahwa ide adalah hakikat dari yang tampak. Karena, dia beranggapan bahwa sesuatu yang tampak (fenomena) selalu mengalami perubahan, padahal sesuatu yang hakiki semestinya harus kekal. Oleh karenanya, Ide ini bukan hanya sekedar gagasan yang ada pada pikiran an sich, melainkan sebagai sumber untuk membimbing pikiran manusia. Penegasan Plato ini, kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), yang sering disebut sebagai bapak aliran rasionalism sekaligus sebagai pelopor filsafat modern, dengan semboyan Cagito ergo sum. Titik tolak dari keharusan berfikir ini adalah keraguan. Untuk menghilangkan prasangka-prasangka sebelum terjadinya proses berfikir, agar ada jaminan bahwa hasil pemikiran itu benar, maka Descartes mengharuskan untuk menjadikan rasio atau pikiran sebagai satu-satunya instansi yang memberikan bimbingan. Sementara itu, Aristoteles (382 – 322 SM), yang merupakan murid dari Plato, menyanggah dengan tegas, teori yang diajukan oleh Plato tersebut. Menurutnya, ide-ide bawaan atau innate idea, sebenarnya tidak ada. Sungguhpun dia menyadari bahwa fenomena atau realitas itu selalu berubah, akan tetapi dengan penyelidikan dan pengamatan yang terus menerus terhadap benda-benda konkrit, maka akal akan dapat mengabstraksikan idea dari benda tersebut. Dari asumsi inilah, kemudian empirisme memperkuat tesis Aristoteles tersebut. Thomas Hobbes (1588 – 1679 M) misalnya, menganggap bahwa yang ada hanyalah bersifat bendawi, artinya keberadaan realitas benda tidak tergantung pada gagasan manusia.Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah setiap kebenaran selalu didasarkan pada alam metafisis tidak dapat diterima. Sementara kebenaran agama, yang sumber kebenarannya didasarkan pada realitas metafisis, tidak mendapat porsi yang sempurna (untuk tidak mengatakan tidak sama sekali) dalam pandangan matrealisme-empiris tersebut. Tarik menarik antara Idealisme dan Matrealisme ini, kemudian melahirkan dua corak pemikiran filsafat baru. Pertama, Rasionalisme Kritis, yang dipelopori oleh Imanuel Kant. Dia lalu menggabungkan pengetahuan a la rasionalisme dan empirisme dengan sintesis a priori. Kant membagi pengetahuan kepada empat tingkatan. Pertama, pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Kedua, pengetahuan yang didapat dari pengalaman (a posteriori). Ketiga, pengetahuan yang didapat melalui analisis (analisis). Keempat, pengetahuan yang didasarkan kepada hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang bisanya terpisah (sintesis). Jika rasionalisme hanya sampai pada pengetahuan analitis a priori, maka matrealisme hanya sampai pada analitis a posteriori. Oleh karena itu, menurut Kant, untuk mencapai pengetahuan yang universal dan hakiki harus dilakukan adalah sintesis a priori, yaitu proses penggabungan dari rasionalisme dan empirisme. Aliran Kedua, yang muncul sebagai kritik atas Idealisme dan Matrealisme adalah Intuisionisme, yang dipelopori oleh Henry Bergson. Aliran ini mencoba menengarai antara pengetahuan diskursif (knowledge of), yaitu pengetahuan yang didapat melalui simbol-simbol lahiriah dari realitas, dengan pengetahuan intuitif (knowledge about), yakni pengetahuan yang diperoleh melalui usaha untuk mengatasi hal-hal yang bersifat lahiriah dari pengetahuan simbolis. Dalam khazanah pemikiran filsafat-sufistik, aliran ini banyak dikembangkan. Misalnya Iqbal, yang memposisikan intuisi sebagai salah satu sumber sentral dalam mencari hakikat kebenaran atau pengetahuan. Meskipun, dia sering merujuk pengertian intuisi ini pada Jalaluddin Rumi, tetapi pada kesempatan lain dia juga mengikuti Bergson tersebut, yang oleh dia disebut sebagai “a higher kind of intellect” Struktur dan Cara Kerja IntuisiKetika kita akan mencoba menelusuri dan mencari ilmu atau pengetahuan, maka kita akan mengambil dan mengolah bahan-bahan ilmu itu dari sumbernya, sehingga akan menjadi “berilmu”. Lalu, proses penelusuran dan pencarian itu, jelas membutuhkan “seperangkat” media untuk mampu mencerap sebuah ilmu. Nah, pertarungan antara rasionalisme, yang memainkan hegemoni akal, dan empirisme, yang menonjolkan peran indrawi, merupakan diskursus panjang tentang pencarian itu.Problem yang terjadi pada ranah rasionalisme dan empirisme adalah ketidakmampuannya dalam menangkap eksperensiasi dari sesuatu. Jika rasionalisme berhenti pada wilayah akal dan tidak sampai pada wilayah “supra akal”, sementara empirisme melahirkan pengetahuan yang parsial dan terbatas oleh ruang dan waktu, maka intuisi menjadi “gerbang” bagi adanya pengetahuan eksperensial.Menurut Henry Bergson, alam ini ada dua ; alam Indrawi dan alam Intuisi. Jika yang pertama bisa diamati dan bisa dieksperimentasi oleh ilmu pengetahuan, maka yang kedua sangat menekankan dimensi kejiwaan. Pada dimensi ini, kita akan mendapatkan sebuah pengetahuan absolut. Dimana kita berada pada ruang yang terpisah jauh dengan wilayah rasio dan empiris yang menipu.Sementara Iqbal, memposisikan wilayah intusi ini pada wilayah qalb atau fuad. Artinya, yang menjadi wilayah kerja intusi adalah berada pada struktur heart (hati). Karena ia berada pada heart, maka pengetahuan intuitif ini, baik dalam pengertian kecerdasan (al-hads) maupun dalam pengertian pengelaman pencerahan (al-wijdan, Illuminatif), adalah sampainya jiwa pada makna atau sampainya makna dalam jiwa. Sehingga, bagi Iqbal, cara mengambil ilmu dari sumbernya adalah melalui ilham, dan sebagai penerimanya adalah intuisi. Maka, kerja sama antara pancaindra, akal dan intuisi, merupakan kemutlakan seseorang dalam memperoleh pengetahuan. Ia tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling melengkapi. Contoh berikut adalah bagaimana struktur kerja antara pancaindra, akal dan intuisi. Iqbal memberikan contoh, ketika seseorang melihat langit, yang kemudian berkesimpulan bahwa “langit itu biru”, merupakan hasil dari kesan kesadaran. Karena warna “biru” pada langit bukanlah kualitas pada langit. Hal ini, menandaskan bahwa akal berposisi memberikan keputusan bahwa langit itu “biru”, sementara indera sangat bergantung pada intuisi sehingga menimbulkan kesadaran batin.Peran ilham dalam melakukan “penyingkapan-penyingkapan” kesadaran batin, sebenarnya telah banyak di sitir oleh kaum sufi dalam mendapatkan ilmu hudhuri, yaitu proses pencarian pengetahuan melalui hati (heart). Kaum sufi menegaskan bahwa manusia akan mencapai istisyraq (pencerahan) dan istilham (ketersingkapan), jika ia mampu mencapai manazil al-sa’irin (kedudukan-kedudukan para pejalan), kesadaran diri (yaqzhah), tobat (tawbah), mawas diri (muhasabah), perenungan (tafakkur), mengingat Allah (tadzakkur), dan lain sebagainya. Menurut mereka, jika mata (bashar) hanya mampu mengindera obyek yang dekat dan tidak terlekati oleh kotoran dan hijab, maka mata kesadaran dan mata-batin (bashirah) akan mampu mengetahui obyek yang jauh dan mampu menyingkapkan kotoran dan hijab.
Epistemologi ‘Irfani ; Antara Bayani dan BurhaniPerbedaan pendekatan dalam mempelajari dan memahami sesuatu, terkadang juga melahirkan berbagai kesimpulan yang berbeda. Demikian pula dalam studi Islam, munculnya berbagai mazdhab sepanjang sejarah Islam, menunjukkan bahwa sebagian Ulama’, baik Muhadditsin, Mufassirin, maupun Fuqaha’, bahkan kaum Sufi dan Filosof, memiliki tipologi atau pendekatan pemikiran tersendiri dalam membangun kerangka berfikirnya, yang nantinya akan melahirkan produk-produk ijtihad-nya yang berbeda satu dengan yang lainnya.Istilah epistemologi ‘Irfani, yang kemudian dibarengi dengan bayani, dan burhani, banyak dikembangkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri. Epistemologi bayani, menurut al-Jabiry, didukung oleh corak berfikir fikih dan kalam. Model ini, lebih menekan otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah usul fiqh klasik, sementara sumber-sumber lain seperti alam (kauniyyah), akal (aqliyyah), dan intuisi (wijdaniyyah), terpinggirkan. Sehingga, isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual, tidak tersentuh pada model ini.Jika, sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, maka epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-ilm al-hushuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan melalui peremis-premis logika atau al-mantiq. Dan ilmu ini, telah banyak disebut pertamakali oleh Ibn Rusyd. Tolak ukur validitas keilmuannya, epistemologi ini menekankan akan adanya korespondensi, yaitu kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam (al-mutabaqah baina al-‘aql wa nizam al-tabi’ah). Juga koherensi, keruntutan dan keteraturan berfikir logis.Sementara istilah epistemologi ‘irfani, muncul dikalangan kaum sufi, yang sangat menekankan pengalaman (experience). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tiada ternilai harganya. Ketika sesorang menghadapi fenomena alam yang mengagumkan, sehingga dalam lubuk hatinya akan dapat mengetahui Dzat Yang Maha Segalanya, oleh karenanya orang tidak perlu menunggu “teks” untuk melakukan eksplorasi pengetahuan.Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam ini, biasanya disebut sebagai al-Ilm al-Hudhuri (direct experience). Semua pengalaman tersebut, dapat “dirasakan” langsung oleh seluruh umat manusia tanpa memandang ras, budaya, dan agama. Oleh karena itu, validitas kebenaran epistemologi ‘irfani ini hanya dapat dirasakan dan dihayati langsung (al-ru’yah al-mubasyirah). Sehingga, sekat-sekat bahasa, ras, kultur, etnik, golongan, dan paham yang terbangun dalam epistemologi bayani, dicoba diketipakan oleh epistemologi ‘irfani.Maka, hubungan antara “subyek” dan “obyek” bukannya bersifat subyektif, sebagaimana yang terjadi pada tradisi bayani, dan bukan pula bersifat obyektif, seperti biasa ditanamkan pada tradisi burhani, melainkan inter-subyektif. Dalam pengertian ini, pemaknaan dalam studi agama, lebih dimaknai secara batiniyyah. Berikut adalah skema antara tradisi epistemologi keilmuan Bayani, Irfani dan Burhani :
“Wilayah Kerja” Epistemologi Bayani Irfani BurhaniSumber Nas/otoritas teks Pengalaman Alam, sosial, humanitasMetode Ijtihadiyyah - al-dzauqiyyah- riyadhah, mujahadah, dll- penghayatan batin Abstraksi Pendekatan - Bahasa- Pola fikir deduktif, dengan berpangkal pada teks. (istinbatiyyah)- Fikih dan Kalam Psiko-gnosis, intuitif, al-Qalb. Filosofis-SaintisKerangka teori al-Lafz-al-Ma’na - zahir – batin- haqiqi – majazi - al-mantiq- silogismea – bb – ca – c Fungsi dan peran akal Justifikasi-repetitif-taqlidi(Pengukuhan kebenaran otoritas teks) Partisipatif-al-hads wa al-wijdan Heuristik-Analitik-KritisModel argumentasi Dogmatik Esoterik dan Wijdaniyyah Demonstratif, eksploratif, verifikatif, eksplanatifTolak ukur validitas Keserupaan antara teks dengan ralitas Empati, simpati, dan undestending others KorespondensiKoherensiPragmatig Prinsip-prinsip dasar - infisal (discontinue- tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada hukum kausalitas- analogi deduktif ; qiyas. Al-ma’rifah Prinsip kausalitaskepastianPenganut Teolog, fuqaha’, ahli nahwu Kaum sufi FilosofIlmuanHubungan Subyek Obyek Subyektif Inter subyektif Obyektif

PenutupSehebat apapun sebuah pengetahuan, atau “hasil” ijtihad, pasti akan berhadapan dengan kompleksitas persoalan yang terus berkembang. Dan semakin ia tertutup dengan “pengetahuan” diluarnya, justru semakin kelihatan kekakuan dan eksklusivitasnya. Dan bila ini terjadi, maka hasilnya bukanlah enrichment dan development (Pengayaan dan pengembangan keilmuan) tetapi adalah penyempitan willayah horizon keilmuan itu sendiri. Lalu bagaimana dengan kita? Nah….Wallahu A’lam bi al-Showab.
Daftar PustakaMieska Muhammad Amin. 1983. Epistemologi Islam. Jakarta : UI Press.
Harold H. Titus, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat (trj). Jakarta : Bulan Bintang.
L. O. Kattsoff. 1987. Pengantar Filsafat, (tjm). Yogyakarta : Tiara Wacana.
Harun Hadiwijono. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : Kanisius Muhammad Husny al-Zayyin. 1979. Mantiq Ibn Taymiyyah wa Manhayjuh al-Fikr, Baerut : al-Maktabah al-Islami. 1979
Muhammad Iqbal. 1981. The Recontruction of Religiou Thought in Islam. New Delhi : Kitab Bhavan.
Ali Abdul Azhim, 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu ; Perspektif al-Qur’an, Bandung : CV. Rosda.
Jujun S. Suriasumantri. 1999. Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantas Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Ibn Manzur. 1990. Lisan al-Arab, jilid III. Beirut : Dar al-Fikr.
Wan Mohd. Nor Wan Daud. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam (trj). (Bandung : Mizan.
Sukardi (ed). 2000. kuliah – Kuliah Tasawuf, Bandung : Pustaka Hidayah.
M. Amin Abdullah. “Al-Ta’wil al-Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci” dalam M. Amin Abdullah, dkk. 2002. Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, Yogyakarta : Panitia Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga.

Tidak ada komentar: