Selasa, 13 Mei 2008

Pendidikan Islam Dalam Ranah Filsafat
(Melihat Epistemologi Metafisis dalam Pendidikan Islam)
Imam Hanafi, MA


Pengantar
Ketika kita berbicara tentang pendidikan, terutama ketika mengkaji cita-cita dan tujuan pendidikan. kurikulum, serta metode pembelajara, maka tidak akan terlepas dari filsafat. Karena filsafat menempati posisi sentral (The Mother of Science) dalam khasanah perkembangan ilmu pengetahuan umat manusia. Fakta secara implisit maupun eksplisit, menunjukkan bahwa setiap ide, keputusan, atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pendidikan, tidak akan terlepas dari filsafat, lebih-lebih ketika pendidikan berbicara mengenai hakikat manusia, baik jasmaniah maupun ruhaniyyah secara menyeluruh.[1]
John Dewe menegaskan bahwa yang menjadi landasan pemikiran pendidikan adalah filsafat.[2] Hal ini, mungkin berangkat dari asumsi bahwa pada mulanya filsafatlah yan mencoba memformulasikan suatu sistem untuk menjawab persoalan-persoalan dalam pendidikan, terutama pada wilayah filosofis. Bahkan Iqbal sendiri mengamini ketika filsafat monadisme Leibnitz, berpengaruh luas pada pendidikan.[3] Secara sederhana monadisme menganggap bahwa pusat kesadaran dan kekuatan spritual atau energi adalah monad. Setiap minad mempresentasikan satu mikrokosmos yang akan merefleksikan berbagai tingkat kesempurnaan yang terdapat dalam alam. Nah, alam yang terdiri dari monad-monad ini adalah hasil dari keharmonisan rencana Tuhan (Devine plan), tetapi manusia tidak bisa menerima beberapa realitas tertentu, seperti unsur kejahatan dan kematian yang sebenarnya bagian dari rencana Tuhan tersebut.
Jika, filsafat dipandang dan diperlukan untuk menyiapkan kerangka dasar (frame work) bagi pemantapan cita-cita atau tujuan pendidikan, kurikulum, serta metode pembelajaran, maka pandangan mengenai metafisika (yang merupakan kajian filsafat dalam dunia tasawuf) menjadi penting untuk dibahas. Oleh karena itu, alur dari tulisan ini nanti akan berujung pada pembahasan bagaimana epistemologi (pendidikan) Islam mengenai metafisika. Meskipun nanti akan membahas pula beberapa perkembangan pemikiran filsafat Barat mengenai pendidikan.
Perdebatan Epistemologis dalam Filsafat

Epistemologi seringkali diartikan sebagai “the branch of philosopy which investigates the origins, structure, methods and validity of knowledge”[4] Dengan kata lain, epistemologi merupakan bagian filsafat yang membahas secara mendalam mengenai hakikat dan kebenaran sebuah pengetahuan, serta metode dan sistem untuk memperoleh pengetahuan.[5]
Pada dasarnya, terdapat dua aliran besar dalam epistemologi. Pertama, Idealisme, yang kemudian diteruskan oleh kelompok rasionalisme. Aliran ini, sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, Matrealisme, justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua[6]. Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Matrealisme dimotori oleh Aristoteles.
Plato (427 – 347 SM) bersiteguh, bahwa ide adalah hakikat dari yang tampak. Karena, dia beranggapan bahwa sesuatu yang tampak (fenomena) selalu mengalami perubahan, padahal sesuatu yang hakiki semestinya harus kekal. Oleh karenanya, Ide ini bukan hanya sekedar gagasan yang ada pada pikiran an sich, melainkan sebagai sumber untuk membimbing pikiran manusia.[7] Penegasan Plato ini, kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), yang sering disebut sebagai bapak aliran rasionalism sekaligus sebagai pelopor filsafat modern, dengan semboyan Cagito ergo sum. Titik tolak dari keharusan berfikir ini adalah keraguan. Untuk menghilangkan prasangka-prasangka sebelum terjadinya proses berfikir, agar ada jaminan bahwa hasil pemikiran itu benar, maka Descartes mengharuskan untuk menjadikan rasio atau pikiran sebagai satu-satunya instansi yang memberikan bimbingan.[8]
Sementara itu, Aristoteles (382 – 322 SM), yang merupakan murid dari Plato, menyanggah dengan tegas, teori yang diajukan oleh Plato tersebut. Menurutnya, ide-ide bawaan atau innate idea, sebenarnya tidak ada. Sungguhpun dia menyadari bahwa fenomena atau realitas itu selalu berubah, akan tetapi dengan penyelidikan dan pengamatan yang terus menerus terhadap benda-benda konkrit, maka akal akan dapat mengabstraksikan idea dari benda tersebut.[9] Dari asumsi inilah, kemudian empirisme memperkuat tesis Aristoteles tersebut. Thomas Hobbes (1588 – 1679 M) misalnya, menganggap bahwa yang ada hanyalah bersifat bendawi, artinya keberadaan realitas benda tidak tergantung pada gagasan manusia.
Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah setiap kebenaran selalu didasarkan pada alam metafisis tidak dapat diterima. Sementara kebenaran agama, yang sumber kebenarannya didasarkan pada realitas metafisis, tidak mendapat porsi yang sempurna (untuk tidak mengatakan tidak sama sekali) dalam pandangan matrealisme-empiris tersebut.
Tarik menarik antara Idealisme dan Matrealisme ini, kemudian melahirkan dua corak pemikiran filsafat baru. Pertama, Rasionalisme Kritis, yang dipelopori oleh Imanuel Kant. Dia lalu menggabungkan pengetahuan a la rasionalisme dan empirisme dengan sintesis a priori. Kant membagi pengetahuan kepada empat tingkatan. Pertama, pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Kedua, pengetahuan yang didapat dari pengalaman (a posteriori). Ketiga, pengetahuan yang didapat melalui analisis (analisis). Keempat, pengetahuan yang didasarkan kepada hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang bisanya terpisah (sintesis). Jika rasionalisme hanya sampai pada pengetahuan analitis a priori, maka matrealisme hanya sampai pada analitis a posteriori. Oleh karena itu, menurut Kant, untuk mencapai pengetahuan yang universal dan hakiki harus dilakukan adalah sintesis a priori, yaitu proses penggabungan dari rasionalisme dan empirisme.[10]
Aliran Kedua, yang muncul sebagai kritik atas Idealisme dan Matrealisme adalah Intuisionisme, yang dipelopori oleh Henry Bergson. Aliran ini mencoba menengarai antara pengetahuan diskursif (knowledge of), yaitu pengetahuan yang didapat melalui simbol-simbol lahiriah dari realitas, dengan pengetahuan intuitif (knowledge about), yakni mpengetahuan yang diperoleh melalui usaha untuk mengatasi hal-hal yang bersifat lahiriah dari pengetahuan simbolis. Dalam khazanah pemikiran filsafat-sufistik, aliran ini banyak dikembangkan. Misalnya Iqbal, yang memposisikan intuisi sebagai salah satu sumber sentral dalam mencari hakikat kebenaran atau pengetahuan. Meskipun, dia sering merujuk pengertian intuisi ini pada Jalaluddin Rumi, tetapi pada kesempatan lain dia juga mengikuti Bergson tersebut, yang oleh dia disebut sebagai “a higher kind of intellect”[11]
Dalam pendidikan, filsafat empirisme melahirkan filsafat Progresifisme.[12]. Salah satu tokohnya adalah John Locke yang terkenal dengan teori Tabula Rasa-nya. Kelompok ini beranggapan bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu sangat bergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak didik. Maka, aliran ini telah melahirkan beberapa pendekatan dalam pendidikan. Pertama, Asosionisme. Yaitu pengetahuan dalam pendidikan didapat melalui penginderaan dan pengamatan. Jadi proses pendidikan didasarkan pada upaya pemberian kesan-kesan terhadap indera. Kedua, Behaviorisme. Kelompok ini, meyakini bahwa pengetahuan akan kita dapat hanya dengan proses penanaman kondisi. Sehingga, teori ini sangat dikenal dengan stimulus dan respon. Ketiga, Koneksionisme, yang sebenarnya mempertegas teori Behaviorisme, tetapi dia lebih menekankan peran perasaan terhadap berhasil atau tidaknya proses belajar.
Sementara pandangan idealisme, berimplikasi pada pengunggulan terhadap dimensi ruhaniah manusia sebagai kunci kesadaran dalam memahami realitas.[13] Selanjutnya, idealisme hanya mampu mengenal ruhani diri sendiri dalam memahami realitas lain. Maka, pendekatan yang dipakai biasanya hanya melalui intropeksi.[14]
Dalam filosafat pendidikan ada beberapa aliran yang bertolak belakan dengan empirisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa setiap manusia memiliki pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk. Kemudian ada yang menganggap bahwa tidak seorang pun yang mempunyai potensi buruk. Inilah kemudian melahirkan Naturalisme dan Nativisme. Kedua pandangan ini justru menegasikan upaya pendidikan dalam melakukan proses pembelajaran. Karena, cukuplah seleksi alam yang akan menempa seseorang.
Selanjutnya, Abraham Maslow, mencoba mensinergikan antara Empirisme dan Naturalisme, yang kemudian dikenal dengan teori Konvergensi. Yaitu menganggap bahwa manusia berkembang atas pengaruh bakat-bakat atau kemampuan dasariah maupun dipengaruhi oleh lingkungan yang disengaja. Artinya, manusia ditentukan oleh factor dasar dan ajar. Keduanya saling bersinergi secara interaktif.



Epistemologi Metafisis dalam Pendidikan Islam
Rasionalisme dalam Islam seringkali ditujukan pada Mu’tazilah sebagai aliran teologi yang paling banyak menggunakan rasio ketimbang aliran teologi lainnya.[15] Bahkan dia menganggap bahwa semua ilmu harus sesuai dengan teori akal.[16] Dan dia sering digambarkan sebagai cikal-bakal kelompok modern dalam dunia pemikiran Islam.
Akan tetapi, baik Rasionalisme Kritis Kant maupun “Rasionalisme” Islam, mereka tidak pernah sampai pada keserbamungkinan metafisis.[17] Sehingga proses transendensi manusia akan Tuhan yang metafisis, menjadi tidak bermakna. Hal ini, sangat berbeda dengan tradisi tasawuf yang menjadikan spritualitas sebagai proyeksi esoteris dalam mencari Kebenaran Ilahiyyah. Menurut tradisi tasawuf ini, Realitas yang dijadikan sebagai tujuan pencapaian kepuasan spritual, tidak dapat dijelaskan dalam bentuk apapun, dia tidak bergantung pada metode penginderaan maupun pikiran. Meskipun demikian, bukan berarti intuisi akan berpisah dengan pikiran. Tetapi justru berhubungan secara organik.[18]
Pembahasan mengenai metafisika merupakan ilmu pengetahuan tentang keabadian,[19] yang sebenarnya adalah bagian dasar dari garis besar doktrin sufisme.[20] Yaitu, sebuah sistem terpadu yang secara positif menerangkan hakikat Realitas yang sebenarnya, melalui penggabungan akal dan pengalaman “intuitif” dengan tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, yang terdapat pada suprarasional dan transempirikal kesadaran manusia.[21]
Kepastian tentang makna dan hakikat realitas yang hanya disandarkan pada analisis rasional, hanya mengantarkan kita pada spekulasi filosofis dan akan memberikan ending pada kajian mengenai alam sebagai sesuatu yang berahir pada alam itu sendiri. Sementara metafisika sufi membedakan antara esensi dan eksistensi pada dataran rasional, sedangkan pada dataran hakikat “Eksistensi (Wujud) itulah yaneg menjadi “esensi” segala sesuatu dan “esensi” atau “quiditas” (mahiyyah) pada hakikatnya merupakan sejumlah akibat dari Eksistensi”.[22] Realitas itu adalah Eksistensi Mutlak yang tidak lain adalah Kebenaran (al-Haqq, Truth), salah satu aspek Allah swt.[23] Realitas wujud yang partikular ini, senantiasa ada disebabkan oleh dinamika Tuhan yang selalu berkesinambungan (God continuous dynamic) dan aktivitas Tuhan yang senantiasa menciptakan kembali (constant activity of re-creating) sesuatu yang serupa meskipun tidak sama. Wujud partikular ini, tentunya memiliki “watak” yang sangat berbeda dengan dengan karakter Eksistensi Mutlaq yang selamanya Qadim.
Dalam istilah Ibn ‘Arabi, proses ini sebagai Tanzih (transendensi) dan Tasybih (imanensi). Tanzih merupakan “pengkudusan” Dzat Ilahi yang Mutlak, sebagai Hakikat dari segala realitas. Dari-Nya semua wujud berasal dan kepada-Nya semua wujud kembali (inna lillahi wa inna ilaihi rajiun). Sementara Tasybih merupakan proses “penampakan” (tajalli) Tuhan melalui asma dan sifat-sifat Ilahi, yang tersimpan dalam alam semesta.[24]
Ketika alam mampu menerima “penampakan” Tuhan dalam dirinya, sehingga menjadi cermin Tuhan dialam semesta ini, maka ia berposisi sebagai mikrocosmos atau jagad cilik. Dan hanya manusialah sebenarnya yang mampu menerima pelimpahan wewenang ke-khalifah-an Allah di alam semesta ini, sementara yang lain tidak.[25] Dengan demikian, secara potensial manusia mampu merefleksikan atau memantulkan seluruh sifat Ilahi.[26] Sebab secara spritual manusia manusia memiliki kelebihan dengan makhluq lain.[27]
Konsep metafisis ini, jelas akan berpengaruh pada pola berfikir seseorang, dimana pengetahuan tentang Tuhan tidak hanya didasarkan pada wilayah kognitif semata, melainkan pengalaman intuitif dan kesadaran terhadap eksistensi diri dan dunia luar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Allah dalam Hadits Qudsinya “siapa yang mengetahui dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”.[28] Atau dalam bahasa al-Qur’an, Allah menyebutkan Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami yang ada dilangit dan yang ada dalam diri mereka sendiri…..[29] Oleh karena itu, pengetahuan tentang Tuhan disebut sebagai ma’rifah (gnosis atau iluminasi spritual), bukan ‘ilm (sains ataupun pengetahuan yang bersumber pada rasio).
Tuhan dengan demikian, adalah dasar dari dan pencipta segala sesuatu, Yang Maha Tinggi dan Maha Berkuasa, yang senantiasa merealisasikan keinginan-Nya melalui penciptaan, penghancuran, dan penciptaan kembali secara terus menerus, sehingga terjadi pengejawantahan dan pengindividuasian berbagi kemungkinan yang terkandung dalam Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang tidak terbatas. Dari Hakikat Diri dan akibat aktivitas-Nya inilah, semua yang terkandung dialam ini memperoleh keadaan yang selalu berubah dan keadaan yang tetap atau permanen. Sayangnya, keperubahan dalam realitas manusiawi (melalui rasionalitasnya) dapat dengan “mudah” dikenali, tatapi wilayah kepermanenan yang menjadi realitas hakiki dari segala sesuatu hanya bisa dikenali melalui pengalaman intuisi.
Pada satu sisi, Tuhan Mutlak dengan segala ke-Esa-an dan Transendensi-Nya, sebagai wilayah yang berada pada limitasi yang tidak terbatas oleh pengetahuan alam dan manusia. Di sisi lain, Tuhan yang “menitahkan” potensi-potensi primordial kepada manusia, yang menampakkan asma-asma-Nya melalui penciptaan-Na, adalah realitas-realitas yang menjadi inter-relasi antara Dia dan ciptaan-Nya. Jika yang pertama hanya mampu didapat melalui pengalaman intuitif, maka yang kedua melalui akal dan usaha intelektual. Akan tetapi, akal butuh persiapan spritual untuk sampai kepada hakikat kebenaran tentang inter-relasi Tuhan dan segala ciptaan-Nya. Sehingga, wajar jika para pemikir Yunani, meskipun menguasai persoalan-persoalan intelektual secara mendalam, tetapi mereka belum sampai pada pengetahuan tentang inter-relasi Tuhan dan segala ciptaan-Nya.
Jika selama ini, ilmu pengetahuan lebih menekankan pada pendekatan indrawi dan rasionalitas, yang kemudian bermuara pada pengkayaan aspek materi,[30] maka lebih jauh al-Qur’an sebenarnya telah memperkenalkan pengetahuan mengenai metafisika, selain yang bersifat fisik. Tuhan dalam kaca mata Imanuel Kant misalnya, hanya bisa diketahui dengan melalui argumen moralitas (practical reason, akal praksis) bukan melalui penalaran kritis-analisis (akal murni, pure reason).[31] Dalam Islam, pengalaman yang mampu melahirkan prinsip-prinsip etika adalah dengan melalui “hati nurani”,[32] yaitu dengan melalui cara mengasah hati (riyadhah),[33] agar dapat merasakan dan menangkap pengetahuan yang terdalam. Inilah sebenarnya pengetahuan paripurna, yaitu pengetahuan mengenai Allah (dalam bahasa al-Attas Ma’rifah).
Realitas metafisis ini, bagaimanapun merupakan kajian ilmu pengetahuan yang universal. Karena ia akan berbicara tentang pengetahuan puncak, yang mencakup segala sesuatu, yang menjadikan kita kepada paradigma yang ilahiyyah, paradigma yang mengembalikan prinsip-prinsip etika pembelajaran pada Keesaan Allah. Sebuah paradigma yang mengunggulkan dimensi spritualitas, paradigma yang melatih kita untuk selalu mengasah dimensi ruhaniyyah kita. Inilah, yang akan mendorong Pendidikan pada semangat long life education, pendidikan sepanjang masa. Karena “pencarian kepada al-Haq” pada hakikatnya adalah proses tiada henti.
Spritualitas Sufistik ; Anasir Baru Bagi Pendidikan Islam
Istilah spritualitas sering diartikan “miring” oleh banyak kalangan, terutama para pemikir muslim, karena istilah ini dikonotasikan kepada tradisi spritualitas Kristen. Tetapi, menurut Nasr, istilah spritualitas menunjukkan makna ruhaniyyah dalam bahasa Arab, dan memiliki arti ma’nawiyyah dalam bahasa Persianya.[34] Semua itu berarti menunjukkan hal-hal batin yang hakiki dan interioritas (bagian dalam), sebagai lawan dari “yang kasat mata”. Selain itu, spritualitas diartikan sebagai bentuk kesempurnaan moral dan kemurahan jiwa sejauh menyangkut umat manusia, sebagai entitas dari kedekatan manusia dengan Penciptanya.[35] Meskipun demikian spritualitas tidak begitu saja dimaknai sesuatu yang bersifat esoteris, yang merupaka lawan dari eksoteris. Ia memang sangat dekat dengan esoteris (al-Batiniyyah), tapi ia juga sangat dekat dengan eksoteris Islam, seperti hukum, teologi, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan.
Esensi dari spritualitas Islam adalah realisasi dari ke-Esa-an Alla, mematuhi segala kehendak dan Hukum-Hukum Allah (sunnatullah), yang kesemuanya terkadung dalam al-Qur’an dengan segala sakramentalnya, melalui “bimbingan” dan teladan Nabi yang termanifestasi dalam al-Hadits dan al-Sunnah.
Dalam lintas spritualitas Islam, tradisi tasawuf atau sufi memiliki akar yang sangat mendasat dengan spritualitas Islam. Hal ini, dapat dilihat beberapa tulisan tentang spritualitas Islam, selalu merujuk pada khasanah tasawuf Islam. Di lihat dari proses penghambaan (abd al-Lah) mereka kepata Tuhannya, mereka sangat mengunggulkan kesucian dan kemuliaan hatinya. Sehingga mereka (selalu menklaim) mampu sedekat mungkin dengan Tuhan. Gambaran ketataatan, ini sebenarnya dapat kita lihat dalam al-Qur’an “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan semua orang yang memanggil (berdo’a) jika Aku di panggil. (QS. Al-Baqarah :186). Di ayat lain Allah pun menegaskan bahwa “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana kamu menghadap, disitu ada ‘wajah’ Tuhan. (QS. Al-Baqarah : 115). Itu semua adalah metafora dari keniscayaan seseorang akan kedekatannya denga Tuhan.
Salah satu hadits Qudsi (kudus, suci) yang dijadikan landasan oleh kaum Sufi adalah “hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekati dirinya kepada-Ku, melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia, dan apabila Kucintai dia, maka Akulah Pendengar dengan apa yang ia dengar, mata dengan apa yang ia melihat, dan tengan dengan apa yang ia pegang, serta kaki dengan apa ia berjalan.[36] Hadis ini menunjukan akar spritual Islam yang bersumber langsung dari Tuhan. Inilah prototype kehidupan spritual dan kedalaman batin dengan Tuhan, yang menjadikan Nabi sebagai sumber spritualitas Islam, dan menjadikan Dzikr (mengingat Allah terus menerus) sebagai kesatuan dalam setiap ritme kehidupan. Disinilah urgensi tradisi sufi, untuk dijadikan sebagai basis spritualitas dalam pendidikan Islam.
Dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal, Danah Zohar dan Ian Marshal,[37] secara terbuka mengutip puisi Jalaludin al-Rumi untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya.[38] Di sini, khazanah sufi telah mampu mempengaruhi tradisi psikologi Barat Modern, ditengah kegalauan mereka akan kedamaian spritual. Hal ini pula semakin mempertegas betapa kayanya khazanah tradisi spritualitas Islam.[39]
Cerdas secara spritual, merupakan kecerdasan yang berada pada bagian diri yang terdalam, kedalaman hati (deep insight), pemahaman dan kearifan berfikir. Kecerdasan spritual juga akan memberikan kesadaran yang akan mendorong kita tidak saja untuk mengakui nilai-nilai “suci” tetapi juga secara kreatif akan menemukan nilai-nilai baru. Sehingga tidak heran jika Danah Zohar dan Ian Marshal, menyebut kecerdasan ini sebagai The Ultimate Intelligensi, puncak kecerdasan.
Kecerdasan ini, justru hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Sehingga basisnya adalah self its self (fithrah dalam Islam) dimana ia dituntut untuk mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu ia berasal, “perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjidatau dalam bahasa kaum Perennialis “alam surgawi”, dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Dengan konsep dasar (fithrah) yang termanifestasi dalam konsep “perjanjian primordial” inilah,[40] menjadi modal bagi manusia untuk menjadikan kebaikan (tauhid, keesaan Tuhan) sebagai basis bagi semua prilaku manusia.[41] Oleh karena itu, manusia musti berada pada kondisi “bersih” secara spritual.
Menjadikan kecerdasan sufistik, sebagai basis pembelajaran dalam pendidikan Islam, merupakan sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia. Tidak heran jika kemudian, Kuntowijoyo pernah merekomendasikan untuk memasukkan khazanah sufi kedalam pendidikan Islam. Karena Sufi telah mampu mentransendensikan hodup manusia, juga kekayaan yang terkandung didalamnya, yang sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.[42] Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sastra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik.[43] Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (Ilahi Rabbi).
Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.

Bagian akhir
Ketika Rasulullah menerima Firman Tuhan yang pertama kali, Nabi pada saat itu sedang melakukan kontemplasi metafisis, karena kebobrokan mental manusia pada saat itu, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim as. ketika sedang bersepekulasi metafisis tentang hakikat Kebenaran (al-Haq). Maka dari proses seperti itulah sebenarnya, akan “menuntut” Allah untuk menunjukkan tanda-tanda-Nya, Vestigial Dei, di alam semesta, dan didalam jiwa manusia yang terdalam.
Proses ini, jelas membutuhkan sikap ketulusan dan ketundukan (istilah ini menurut Nurcholis Madjid semakna dengan kata Islam) kepada Allah. Karena seringkali manusia mengabaikan “rencana” Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai teomorfosis diri-Nya. Pengeejawantahan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia ini adalah misalnya Tuhan Hidup (al-Hayy), maka manusia diberi kehidupan. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang (al-Rahman dan al-Rahim), karena itu manusia diberi potensi pengasih dan penyayang. Meskipun kesempurnaan tetap milik-Nya yang Mutlak.
Oleh karena itu, semuanya butuh pensucian batin, memperkaya diri dengan kebersihan jiwa. Sebagaimana sebuah cermin, manusia barulah cermin kasar yang setiap saat perlu dibersihkan dan digosok, agar selalu bersih. Istilah ini sebenarnya mirip dengan konsep al-Iman Yazid wa Yanqush, dimana iman mengalami fluktuasi yang kadang baik (taqwa), dan kadang tidak (fujur). Setelah bersih, barulah ia mampu memantulkan sifat-sifat Ilahi tersebut secara sempurna, yang oleh tradisi sufi disebut sebagai al-Insan al-Kamil. Wallahu a’lam bi al-Shawab.


[1] Wan Mohd. Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam (trj). (Bandung : Mizan. 2003) hlm 78.
[2] Barnadib. Filsfat Pendidikan; Sistem dan Metode, (Yogyakarta : Andi Ofset. 1994) hlm. 15.
[3] Hal ini dapat dilihat dari tulisan K. G. Saiyidain. Iqbal’s Education Philosophy, (Lahore : Muhammad asyraf. 1990)h. vii.
[4] Mieska Muhammad Amin. Apistemologi Islam. (Jakarta : UI Press. 1983) hlm. 3.
[5] Harold H. Titus, dkk. Persoalan-Persoalan Filsafat (trj). (Jakarta : Bulan Bintang. 1984) hlm. 187 – 188.
[6] L. O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, (tjm). (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1987) hlm 143.
[7] Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta : Kanisius. 1992), hlm. 40.
[8] Ibid, hlm. 22.
[9] Ibid, hlm. 55
[10] lihat Kattsoff. Op Cit, hlm 146. Bandingkan teori Ibn Taymiyyah dalam membentuk pengetahuan. Menurutnya, indera berperan sebagai sumber yang berhubungan langsung dengan materi yang pada akhirnya melahirkan hakikat objek. Maka, akal akan berperan sebagai perantara dalam menghubungkan satu objek dengan objek lainnya, yang dihasilkan oleh indra. Objek pertama yang langsung diamati oleh indra, oleh Ibn Taymiyyah disebut sebagai al-Syahid, dan objek yang kedua, al-Ghaib. Lihat Muhammad Husny al-Zayyin. Mantiq Ibn Taymiyyah wa Manhayjuh al-Fikr, (Baerut : al-Maktabah al-Islami. 1979) hlm. 158.
[11] Muhammad Iqbal. The Recontruction of Religiou Thought in Islam. (New Delhi : Kitab Bhavan. 1981) hlm. 3.
[12] Filsafat ini, sangat dipengaruhi oleh filsafat Pragmatisme, yang diperkenalkan oleh William James dan John Dewey. Pragmatisme sangat menitik beratkan pada manfaat hidup praktis. Lihat Harold H. Titus. Op Cit, hlm. 340 – 343.
[13] Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta : media pratama. 1997) hlm. 84.
[14] Ibid.
[15] lihat Harun Nasution, Islam Rasional ; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan. 1995) hlm, 129. bandingkan dengan pernyataan Kazuo Shimogaki, yang mengalamatkan aliran rasionalisme ini pada kelompok al-Yasr al-Islam (Kiri Islam). Lihat Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modenisme dan Postmodernisme ; Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, (trj), (Yogyakarta : LkiS. 1993) hlm 7.
[16] Tentang asal-usul Mu’tazilah. Lihat A. Hanafi. Theologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang. 1989) hlm 157.
[17] Salah satu pernyataan Kant adalah metafisik itu tidak mungkin. Lihat Muhammad Baqir ash-Shadr. Falsafatuna. (Bandung : Mizan. 1992) hlm. 29.
[18] Danusiri. Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996), hlm. 34 – 35.
[19] SH. Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. (trj). (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1991) hlm 100.
[20] Imam Chanafie al-Jauhari. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global. (Yogyakarta : Ittaqa Press. 1999) hlm. 108.
[21] Bandingkan pengertian ini dengan Syed Naquib al-Attas dalam bukunya A Commentary on The Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kualalumpur : Kementrian Kebudayaan. 1986) hlm. 465.
[22] Syed Naquib al-Attas. Intuition of Existence : A Fundamental Basis of Islamic Metaphisics. (Kualalumpur : ISTAC. 1990) hlm. 6.
[23] Ibid, hlm. 7.
[24] SH. Nasr. Three Muslim Sages. (Cambridge : Harvard University Press. 1969) hlm. 107.
[25] Komaruddin Hidayat. “Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri” dalam Budhy-Munawar Rahman (ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta : Paramadina. 1995) hlm. 192.
[26] Lihat Mulyadi Kartanegara. Panorama Filsafat Islam. ; Sebuah Refleksi Aoutobiografi (Bandung : Mizan. 2002) hlm. 53.
[27] Ibid.
[28] Hadist ini sering dikenal dengan man ‘arofa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu.
[29] Q.S. al-Fushilat : 53.
[30] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an ; Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan. 1996), hlm 63.
[31] Lihat kajian M. Amin Abdullah dalam disertasinya yang membahas tentang filsafat etika Imanual Kant ini, khususnya pada Bab II, sub A. “Kant’s Critique of Pure Reason”. M. Amin Abdullah. The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant (Ankara : Turkiye Diyanet Vakfi Yayinlari, 1992) hlm 47 – 51.
[32] Istilah “hati nurani” ini sebenarnya mengandung makna yang sangat esensial, yaitu esensi kebaikan yang disebabkan oleh sesuatu dalam diri manusia yang bersifat cahaya (nurani), yang akan membimbing seseorang kearah kebaikan. Ini adalah kelanjutan dari ayat Qur’an yang menyebutkan “Maka luruskanlah dirimu kepada agama (yang benar), mengikuti kecendrungan kepada kebenaran, sesuai dengan fithrah Allah yang telah menciptakan manusia dalam fithrah itu. Tidak boleh ada perubahan dalam sesuatu yang diciptakan (ditetapkan) Tuhan. Itulah tujuan agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. al-Rum : 30). Fithra atau kejadian asal yang suci pada diri manusia itulah yang memberinya “kemampuan bawaan dari lahir dan intuisi untuk mengetahui benar salah, sejati dan palsu, dan dengan begitu akan mampu merasakan kehadiran Tuhan dan keesaan-Nya. Lebih jauh lihat Muhammad Asad. The Message of The Qur’an. (Gibraltar : Dar al-Andalus. 1980), khususnya catatan kaki nomor 27.
[33] al-Syaibani membagi sumber pokok pengetauan menjadi tiga, Indera, akal, intuisi, ilmu, dan wahyu. Nah, intuisi inilah yang mampu memberikan arah baru akan sentuhan rasa dan emosi, yang akan menjadikan kita lebih cerdas dalam beriteraksi dengan sesama maupun kepada Tuhan. Omar Muhammad al-Taumi al-Syaukani, Falsafah Pendidikan Islam, (trj). (Jakarta : Bulan Bintang. 1979) hlm. 271 – 176.
[34] SH. Nasr. Spritualitas dan Sni dalam Islam. (trj) (Bandung : Mizan. 1993) hlm. 16. terutama pada footnote 9.
[35] Bandingkan dengan SH. Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis ; Spritualitas Islam, (trj), (Bandung : Mizan. 2002) hlm xxii.
[36] Hadits ini penulis kutip dari buku SH. Nasr. Islam ; Antara Cita dan Fakta, (trj). (Yogyakarta : Pusaka. 2001) hlm 57.
[37] Danah Zohar dan Ian Marshal. SQ ; Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk memahami Hidup (trj). (Bandung : Mizan. 2000)
[38] Teks lengkapnya baca halaman 9.
[39] Lihatlah misalnya pada abad III – VII H, kreatifitas dan dinamika sufistik telah mampu memberikan inspirasi pada pemikir-pemikir, baik dibidang filsafat, kalam, dan hukum. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Tufail, Suhrawardi, al-Ghazali, bahkan tokoh-tokoh ahli kimia dan fisika ; al-Iraqi, Jubir Ibn Hayyan (penggali pertama ilmu aljabar), dan al-Razi (ahli Ilmu Optik) adalah orang-orang sufi. Begitu pula Nash al-Din at-Thusi dan Ibn Bana’ al-Marakusyi. Bahkan spritualitas Sufistik telah mempengaruhi peradaban materal. Hampir setiap bentuk seni mulai puisi, sajak cerita-cerita,sampai pada bentuk arsitektur ; masjid, Istana memperlihatkan keterpaduan dengan sufi. Pengaruh ini dapat dilihat dalam buku SH. Nasr. Spritualitas dan Seni Islam. (Bandung : Mizan. 1993).
[40] Yang dimaksud dengan “perjanjian primordial” ini adalah suatu ikatan janji yang terjadi pada zaman azali dengan Tuhan dan manusia, bahwa manusia primordial mengakui Dia sebagai Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam ayat “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari tulang selangkangan mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri, (dan Allah berkata) “bukankah Aku adalah Tuhanmu sekalian?”, mereka semua menjawab “ya, benar, kami semua menjadi saksi”..(QS. Al-A’raf : 172).
[41] Munzir Hitami. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. (Pekanbaru : Infinite. 2004) hlm 11 – 14.
[42] Kuntowijoyo menyebutkan ; “Substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), Rajâ’ (sangat berharap), Qonâ’ah (menerima pemberian Allah), Tawakkal ((pasrah), Syukûr, Ikhlâs dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct theaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh Nabi, para Shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan, demikian juga sejarah, mitos dan sastra”. Lihat Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998).
[43] Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, hlm 184.

Tidak ada komentar: