Minggu, 11 Mei 2008

Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire
Studi Atas Buku Pedagogy of Opressed Karya Paulo Friere
Imam Hanafi, MA
Pengantar
Disadari atau tidak, sebagian besar dari kita selama ini mendefinisikan pendidikan dengan hal-hal yang bersifat formal. Orang masuk institusi sekolah untuk mendapatkan pengakuan masyarakat bahwa ia seorang yang "berpendidikan". Sebaliknya, bagi orang yang tidak mampu masuk institusi sekolah -- karena alasan apapun -- maka dia disebut "tidak berpendidikan". Kecenderungan yang baru adalah, mereka yang tidak lolos seleksi masuk ke "sekolah favorit" identik dengan kebodohan.
Cara pandang semacam inilah yang akhirnya menjebak kita di ujung jalan buntu. Suatu keadaan di mana kita seolah-olah tidak berdaya menghadapi kungkungan sistem yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Kita bisa mengamati dan mengalami langsung bagaimana paniknya para orang tua mencari dan memperebutkan kursi tempat belajar bagi putera/puteri mereka di sekolah dasar, di sekolah lanjutan tingkat pertama, di sekolah lanjutan tingkat akhir, dan kemudian di perguruan-perguruan tinggi.
Sebagian orang tua dapat merasakan, bagaimana dunia seolah-olah mau "kiamat", ketika hari itu mereka dihadapkan pada pertanyaan, "Bagaimana jika anak saya tidak mendapatkan kursi tempat belajar?" Dan kemudian, "Bagaimana mungkin putera-puteri kita dapat menjalani kehidupan yang pantas di masa depan kalau dia tidak bersekolah?"
Maka sebagian orang tua merasa bangga ketika putera/puterinya mendapatkan tempat di "sekolah favorit" dan sebagian lagi agak kecewa, walaupun masih merasa sedikit lega, ketika putera/puterinya hanya memperoleh tempat belajar di sekolah-sekolah "nomor dua" atau "nomor tiga" di bawah sekolah-sekolah favorit itu. Demi kebanggaan dan perasaan lega itu, para orang tua mati-matian menggali sumber daya mereka untuk memperjuangkan tempat bagi anaknya bersekolah.
Demi pengakuan masyarakat dan kepastian masa depan anaknya itu, apa artinya berjam-jam mengantre kesempatan melobi guru dan kepala sekolah, apa artinya meminjam uang atau membuka tabungan, atau menelefon sana-sini untuk secarik katabelece dan rekomendasi. Yang penting, "anak saya sekolah".

Tentang Paulo Friere
Freire dilahirkan dalam keluarga
kelas menengah di Recife, Brasil. Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Freire mulai belajar di
Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.
Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikand an Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian
Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan [1] (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.
Pada 1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh
kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya ribuat lingkaran budaya di seluruh negeri.
Pada 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah mengasingkan diri untuk waktu singkat di
Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima tahun untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.
Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor tamu di
Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru diterbitkan di Brasil pada 1974 (karena perseteruan politik antara serangkaian pemerintahan diktatur militer yang otoriter dengan Freire yang Kristen sosialis ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses liberalisasi.
Setelah setahun di
Cambridge, Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus di Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Pada masa itu Freire bertindak sebagai penasihat untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan Mozambik.
Pada 1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke sana pada 1980. Freire bergabung dengan
Partai Buruh (Brasil (PT) di kota São Paulo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa dari 1980 hingga 1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São Paulo.
Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araújo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal. Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang
pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire. Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997. Beberapa penghargaan yang diperoleh oleh Friere adalah ; Penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk Pembangunan Internasional Penghargaan bagi Pendidik Kristen Terkemuka bersama istrinya, Elza Penghargaan UNESCO 1986 untuk Pendidikan untuk Perdamaian
Paulo Freire menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang bukan hanya dari pendekatan yang klasik dari
Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti kolonialis. Malah, dalam banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat dibaca sebagai perluasan dari atau jawaban terhadap buku Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya memberikan penduduk pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang tradisional) dan anti kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya para kolonis).

“Pendidikan Kaum Tertindas”
Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire." Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane).
Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.
Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.
Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.
Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.
Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.
Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
Pada bab pertama dalam buku ini, Paulo Friere membahas mengenai kebutuhan akan suatu pendidikan bagi kaum tertindas. Pokok penting dalam kehidupan manusia, menurut Paulo Friere adalah humanisasi. Humanisasi dan dehumanisasi merupakan satu kesatuan yang selalu berkelindan dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana menegekakkan humanisasi itu dalam setiap lini kehidupan manusia. Karena tantangan terberat bagi humanisasi adalah ketidak adilan, eksploitasi, dan kekerasan kaum penindas.
Ketika upaya humanisai yang dilakukan oleh kaum tertindas berhasil, maka ketika itu pula mereka tidak boleh menjadi penindas. Kekhawatiran akan munculnya “penindas-penindas baru” dari kaum “tertindas” ini, muncul karena kaum tertindas telah menginternalisasikanj dalam dirinya kaum penindas. Persepsi mereka ini hanya terbatas pada dua gambaran ; yaitu menindas atau tertindas.
Agar kesadaran akan humanisasi ini muncul dengan baik, maka diperlukan pemahaman mengenai relasi antara penindas dan yang tertindas. Pada posisi inilah, lalu kebutuhan akan pendidikan bagi kaum tertindas sangat diperlukan. Mereka harus memahami sifat-sifat dari kaum tertindas yang selalu memaksakan pilihan-pilihannya kepada kaum tertindas, sementara kaum tertindas meragukan akan kebebasan. Bahkan kaum tertindas mengalami konflik ketika mereka dihadapkan pada pilihan antara ; menjadi dirinya sendiri atau menjadi orang lain (kaum penindas), antara menolak gambaran kaum penindas atau menerimanya, antara mengikut perintah yang sudah digariskan kaum penindas atau mengambil keputusan sendiri, antara menjadi penonton atau sebagai pelaku, antara berbicara atau bungkam.
Dalam bab kedua, Paulo Friere membahas tentang proses pendidikan kaum tertindas. Paulo Friere menyebut proses pendidikan selama ini sebagai “sistem bank”. Dalam sistem ini guru menjadi suibyek yang memiliki pengetahuan yang didisikan pada murid. Murid adalah “cawan” dan obyek yang menjadi tempat deposito “pengetahuan” sang guru. Dalam proses belajar yang seperti ini, jelas tidak terjadi komunikasi “dua arah” antara guru dan murid. Praktik pendidikan seperti inilah yang menjadi model pelanggengan akan struktur penindasan, yaitu yang tertindas (murid) dan yang menindas (guru).
Oleh karena itu, Paulo Friere menawarkan konsep “Problem Posing Education’ yang akan memungkinkan munculnya konsientasi, yaitu proses yang melibatkan antara guru dan murid sebagai subyek dalam pendidikan, mereka disatukan oleh subyek yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang difikirkan, tetapi berfikir bersama. Pengetahuan yang sejati bagi Paulo Friere adalah keharusan untuk melakukan penemuan kembali melalui penyelidikan terus menerus atas dunia, dengan dunia, dan dengan sesama. Pada proses inilah, guru dan murid harus secara serempak menjadi guru dan murid sekaligus. Maka, dialog menjadi sebuah keniscayaan dalam proses pendidikan.
Dalam “Problem posing education” ini, guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan dan mitra yang melibatkan diri dan mampu merangsang daya pemikiran kritis murid-muridnya. Dengan demikian, kedua belah pihak bersama-sama memperkembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis dirinya sendiri dan dunia dimana dan dengan mana mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukan merupakan realitas yang statis, tetapi sebuah proses yang “menjadi” (be caming), makhluk yang belum selesai, yang berada dalam dan dengan kenyataan yang belum selesai. “Problem posing education” senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia dan kemudian menuntut sebuah jawaban terhadap tantangan tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan adalah keterlibatan.
Sementara dalam bab ketiga, Paulo Friere membicarakan tentang dialog sebagai unsure penting dalam pendidikan kaum tertindas. Inti dialog adalah “kata”. Sedangkan kata mempunyai dua dimensi ; Refleksi dan Aksi, yang berada dalam interaksi radikal. Karena sebuah kata tanpa refleksi hanya menjadi aktifisme, sementara kata tanpa aksi hanya akan menjadi verbalisme. Maka muncullah praksis, sebagai keterpaduan antara aksi dan refleksi. Dialog adalah pertemuan dengan manusia melalui kata dengan tujuan “memberi nama kepada dunia”. Dialog tidak mungkin muncul diantara manusia yang menyangkal hak untuk berbicara dan dialog tidak mungkin pula terjadi diantara manusia yang dirampas haknya untuk ber-“kata”.
Akan tetapi, dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun kebudayaannya lebih rendah, memberlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain dapat mengajar kita. Dialog menuntut akan kepercayaan yang besar bahwa manusia pada hakikatnya sebagai subyek, yang harus mengerjakan dan mengubah dunia, dan karenanya manusia selalu bergerak menuju kemungkinan-kemungkinan yang selalu baru. Dialog juga meniscayakan akan cinta kasih yang mendalam terhadap dunia dan manusia.
Di bab terakhir, Friere menunjukkan bahwa teori pendidikan dialogic bertentangan dengan teori tindakan antidialogik. Tindakan dialogic mengetengahkan sikap kooperati, dimana antara tertindas dan penindas bersatu dalam usaha memacu proses pembebasan. Sedangkan antidialogik, biasanya ditandai dengan usaha menguasai manusia, membuat manusia itu tunduk, pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga tetap selalu menjadi tertindas. Sementara suasana dialogis membangun kesatuan bagi pembebasan melalui perombakan struktur sosial-budaya yang menindas.
Demikianlah pokok-pokok isi buku Pedagogy of the Oppressed, dimana kebebasan dan pemberdayaan menjadi sebuah keharusan, dan kebebasan ini hanya mungkin tercapai dengan usaha pembebasan dari ketidak-adilan dan penindasan yang bersifat structural. Maka, humanisasi menjadi bahsan kunci dari buku ini.
Sehubungan dengan cita-cita menjadikan pendidikan sebagai pratik pemberdayaan, dalam kaitan ini ada beberapa pemikiran yang tentu saja masih dibutuhkan kajian, diskusi dan renungan yang lebih mendalam yaitu: Pertama, pendidikan sebagai praktik pemberdayaan, di mana visi pendidikan menjadikan manusia sebagai basis utama atau titik sentral. Untuk itu perlu direkonstruksi secara mendasar tentang kerangka pandang filosofis kita dalam melihat keberadaan manusia. Cara pandang manusia yang bersifat reduktif, sudah waktunya kita tinggalkan dan menggantinya dengan cara pandang lebih mendasar dan yang dapat mempertahankan keutuhan manusia yaitu dengan mengelaborasi konsep tentang manusia Indonesia seutuhnya dalam kerangka pandang tujuan pendidikan nasional yang lebih optimal.
Kedua, pendidikan merupakan institusi yang bercorak teleologis. Artinya, mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai, maka perlu dilakukan reformulasi tujuan pendidikan agar lebih khusus dan konkrit, pendidikan lebih mengarah kepada praktik pemberdayaan manusia yang lebih optimal.
Ketiga, inti kegiatan pendidikan adalah belajar mengajar. Betapa pun baiknya filsafat pendidikan, tetapi jika tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan proses belajar mengajar yang baik, maka pendidikan dapat dikatakan mengalami kegagalan semenjak proses paling awal. Terhadap kegiatan proses belajar ini sudah saatnya dikembangkan wawasan imansipatoris, di mana peserta didik diberikan cukup keleluasaan dalam mengaktualisasi potensi kediriannya. Yang ingin dikembangkan dalam proses belajar mengajar dengan konsep emansipatoris, adalah hubungan yang berdasarkan kemitraan antara pendidik dan peserta didik.
Keempat, sering kita menyaksikan peserta didik teralinasi dari kehidupan sosial dan karena itu kurang memiliki kepekaan dalam membaca realitas sosial. Akibatnya, peserta didik kehilangan kekuatan di tengah derasnya perubahan. Hal ini disebabkan, peserta didik kita tidak diajak berpikir induktif imperik dan kritis tentang realitas sosial yang ada di sekitarnya.
John Dewey merekomendasikan tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sistem pendidikan. Pertama, hakikat dan kebutuhan peserta didik. Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat. Ketiga, masalah pokok yang digumuli peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat.
Jika inti kehidupan masyarakat ada perubahan, maka dengan mendekatkan pendidikan terhadap masyarakat, diharapkan manusia yang dihasilkan dari pendidikan mampu berada pada posisi sentral dalam perubahan yang terjadi dan mampu pula mengarahkan serta mengendalikan perubahan itu. Pendidikan seperti inilah barangkali yang memiliki perspektif pemberdayaan

Catatan Akhir ; Sebuah refleksi
Pelajaran yang bisa ditarik dari pemikiran Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?
Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo?
Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan :
Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.
Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah, bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?
Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.
Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara telah diamanati UUD?
Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil.
Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi. Saya pesimistis jika kedua kelompok itu telah terakomodir secara maksimal dalam RUU Sisdiknas. Jarang sekali mereka disinggung dalam perdebatan RUU ini. Karena itu, sudah saatnya kita memperhatikan sungguh-sungguh masa depan kedua kelompok ini. Pendidikan kita sudah seharusnya berpihak kepada mereka, bukan mengabdi kepentingan masyarakat dominan. Wallahu a’lam bi al-Showab

Tidak ada komentar: