Selasa, 13 Mei 2008

Pendidikan Islam Dalam Ranah Filsafat
(Melihat Epistemologi Metafisis dalam Pendidikan Islam)
Imam Hanafi, MA


Pengantar
Ketika kita berbicara tentang pendidikan, terutama ketika mengkaji cita-cita dan tujuan pendidikan. kurikulum, serta metode pembelajara, maka tidak akan terlepas dari filsafat. Karena filsafat menempati posisi sentral (The Mother of Science) dalam khasanah perkembangan ilmu pengetahuan umat manusia. Fakta secara implisit maupun eksplisit, menunjukkan bahwa setiap ide, keputusan, atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pendidikan, tidak akan terlepas dari filsafat, lebih-lebih ketika pendidikan berbicara mengenai hakikat manusia, baik jasmaniah maupun ruhaniyyah secara menyeluruh.[1]
John Dewe menegaskan bahwa yang menjadi landasan pemikiran pendidikan adalah filsafat.[2] Hal ini, mungkin berangkat dari asumsi bahwa pada mulanya filsafatlah yan mencoba memformulasikan suatu sistem untuk menjawab persoalan-persoalan dalam pendidikan, terutama pada wilayah filosofis. Bahkan Iqbal sendiri mengamini ketika filsafat monadisme Leibnitz, berpengaruh luas pada pendidikan.[3] Secara sederhana monadisme menganggap bahwa pusat kesadaran dan kekuatan spritual atau energi adalah monad. Setiap minad mempresentasikan satu mikrokosmos yang akan merefleksikan berbagai tingkat kesempurnaan yang terdapat dalam alam. Nah, alam yang terdiri dari monad-monad ini adalah hasil dari keharmonisan rencana Tuhan (Devine plan), tetapi manusia tidak bisa menerima beberapa realitas tertentu, seperti unsur kejahatan dan kematian yang sebenarnya bagian dari rencana Tuhan tersebut.
Jika, filsafat dipandang dan diperlukan untuk menyiapkan kerangka dasar (frame work) bagi pemantapan cita-cita atau tujuan pendidikan, kurikulum, serta metode pembelajaran, maka pandangan mengenai metafisika (yang merupakan kajian filsafat dalam dunia tasawuf) menjadi penting untuk dibahas. Oleh karena itu, alur dari tulisan ini nanti akan berujung pada pembahasan bagaimana epistemologi (pendidikan) Islam mengenai metafisika. Meskipun nanti akan membahas pula beberapa perkembangan pemikiran filsafat Barat mengenai pendidikan.
Perdebatan Epistemologis dalam Filsafat

Epistemologi seringkali diartikan sebagai “the branch of philosopy which investigates the origins, structure, methods and validity of knowledge”[4] Dengan kata lain, epistemologi merupakan bagian filsafat yang membahas secara mendalam mengenai hakikat dan kebenaran sebuah pengetahuan, serta metode dan sistem untuk memperoleh pengetahuan.[5]
Pada dasarnya, terdapat dua aliran besar dalam epistemologi. Pertama, Idealisme, yang kemudian diteruskan oleh kelompok rasionalisme. Aliran ini, sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, Matrealisme, justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua[6]. Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Matrealisme dimotori oleh Aristoteles.
Plato (427 – 347 SM) bersiteguh, bahwa ide adalah hakikat dari yang tampak. Karena, dia beranggapan bahwa sesuatu yang tampak (fenomena) selalu mengalami perubahan, padahal sesuatu yang hakiki semestinya harus kekal. Oleh karenanya, Ide ini bukan hanya sekedar gagasan yang ada pada pikiran an sich, melainkan sebagai sumber untuk membimbing pikiran manusia.[7] Penegasan Plato ini, kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), yang sering disebut sebagai bapak aliran rasionalism sekaligus sebagai pelopor filsafat modern, dengan semboyan Cagito ergo sum. Titik tolak dari keharusan berfikir ini adalah keraguan. Untuk menghilangkan prasangka-prasangka sebelum terjadinya proses berfikir, agar ada jaminan bahwa hasil pemikiran itu benar, maka Descartes mengharuskan untuk menjadikan rasio atau pikiran sebagai satu-satunya instansi yang memberikan bimbingan.[8]
Sementara itu, Aristoteles (382 – 322 SM), yang merupakan murid dari Plato, menyanggah dengan tegas, teori yang diajukan oleh Plato tersebut. Menurutnya, ide-ide bawaan atau innate idea, sebenarnya tidak ada. Sungguhpun dia menyadari bahwa fenomena atau realitas itu selalu berubah, akan tetapi dengan penyelidikan dan pengamatan yang terus menerus terhadap benda-benda konkrit, maka akal akan dapat mengabstraksikan idea dari benda tersebut.[9] Dari asumsi inilah, kemudian empirisme memperkuat tesis Aristoteles tersebut. Thomas Hobbes (1588 – 1679 M) misalnya, menganggap bahwa yang ada hanyalah bersifat bendawi, artinya keberadaan realitas benda tidak tergantung pada gagasan manusia.
Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah setiap kebenaran selalu didasarkan pada alam metafisis tidak dapat diterima. Sementara kebenaran agama, yang sumber kebenarannya didasarkan pada realitas metafisis, tidak mendapat porsi yang sempurna (untuk tidak mengatakan tidak sama sekali) dalam pandangan matrealisme-empiris tersebut.
Tarik menarik antara Idealisme dan Matrealisme ini, kemudian melahirkan dua corak pemikiran filsafat baru. Pertama, Rasionalisme Kritis, yang dipelopori oleh Imanuel Kant. Dia lalu menggabungkan pengetahuan a la rasionalisme dan empirisme dengan sintesis a priori. Kant membagi pengetahuan kepada empat tingkatan. Pertama, pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Kedua, pengetahuan yang didapat dari pengalaman (a posteriori). Ketiga, pengetahuan yang didapat melalui analisis (analisis). Keempat, pengetahuan yang didasarkan kepada hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang bisanya terpisah (sintesis). Jika rasionalisme hanya sampai pada pengetahuan analitis a priori, maka matrealisme hanya sampai pada analitis a posteriori. Oleh karena itu, menurut Kant, untuk mencapai pengetahuan yang universal dan hakiki harus dilakukan adalah sintesis a priori, yaitu proses penggabungan dari rasionalisme dan empirisme.[10]
Aliran Kedua, yang muncul sebagai kritik atas Idealisme dan Matrealisme adalah Intuisionisme, yang dipelopori oleh Henry Bergson. Aliran ini mencoba menengarai antara pengetahuan diskursif (knowledge of), yaitu pengetahuan yang didapat melalui simbol-simbol lahiriah dari realitas, dengan pengetahuan intuitif (knowledge about), yakni mpengetahuan yang diperoleh melalui usaha untuk mengatasi hal-hal yang bersifat lahiriah dari pengetahuan simbolis. Dalam khazanah pemikiran filsafat-sufistik, aliran ini banyak dikembangkan. Misalnya Iqbal, yang memposisikan intuisi sebagai salah satu sumber sentral dalam mencari hakikat kebenaran atau pengetahuan. Meskipun, dia sering merujuk pengertian intuisi ini pada Jalaluddin Rumi, tetapi pada kesempatan lain dia juga mengikuti Bergson tersebut, yang oleh dia disebut sebagai “a higher kind of intellect”[11]
Dalam pendidikan, filsafat empirisme melahirkan filsafat Progresifisme.[12]. Salah satu tokohnya adalah John Locke yang terkenal dengan teori Tabula Rasa-nya. Kelompok ini beranggapan bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu sangat bergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak didik. Maka, aliran ini telah melahirkan beberapa pendekatan dalam pendidikan. Pertama, Asosionisme. Yaitu pengetahuan dalam pendidikan didapat melalui penginderaan dan pengamatan. Jadi proses pendidikan didasarkan pada upaya pemberian kesan-kesan terhadap indera. Kedua, Behaviorisme. Kelompok ini, meyakini bahwa pengetahuan akan kita dapat hanya dengan proses penanaman kondisi. Sehingga, teori ini sangat dikenal dengan stimulus dan respon. Ketiga, Koneksionisme, yang sebenarnya mempertegas teori Behaviorisme, tetapi dia lebih menekankan peran perasaan terhadap berhasil atau tidaknya proses belajar.
Sementara pandangan idealisme, berimplikasi pada pengunggulan terhadap dimensi ruhaniah manusia sebagai kunci kesadaran dalam memahami realitas.[13] Selanjutnya, idealisme hanya mampu mengenal ruhani diri sendiri dalam memahami realitas lain. Maka, pendekatan yang dipakai biasanya hanya melalui intropeksi.[14]
Dalam filosafat pendidikan ada beberapa aliran yang bertolak belakan dengan empirisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa setiap manusia memiliki pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk. Kemudian ada yang menganggap bahwa tidak seorang pun yang mempunyai potensi buruk. Inilah kemudian melahirkan Naturalisme dan Nativisme. Kedua pandangan ini justru menegasikan upaya pendidikan dalam melakukan proses pembelajaran. Karena, cukuplah seleksi alam yang akan menempa seseorang.
Selanjutnya, Abraham Maslow, mencoba mensinergikan antara Empirisme dan Naturalisme, yang kemudian dikenal dengan teori Konvergensi. Yaitu menganggap bahwa manusia berkembang atas pengaruh bakat-bakat atau kemampuan dasariah maupun dipengaruhi oleh lingkungan yang disengaja. Artinya, manusia ditentukan oleh factor dasar dan ajar. Keduanya saling bersinergi secara interaktif.



Epistemologi Metafisis dalam Pendidikan Islam
Rasionalisme dalam Islam seringkali ditujukan pada Mu’tazilah sebagai aliran teologi yang paling banyak menggunakan rasio ketimbang aliran teologi lainnya.[15] Bahkan dia menganggap bahwa semua ilmu harus sesuai dengan teori akal.[16] Dan dia sering digambarkan sebagai cikal-bakal kelompok modern dalam dunia pemikiran Islam.
Akan tetapi, baik Rasionalisme Kritis Kant maupun “Rasionalisme” Islam, mereka tidak pernah sampai pada keserbamungkinan metafisis.[17] Sehingga proses transendensi manusia akan Tuhan yang metafisis, menjadi tidak bermakna. Hal ini, sangat berbeda dengan tradisi tasawuf yang menjadikan spritualitas sebagai proyeksi esoteris dalam mencari Kebenaran Ilahiyyah. Menurut tradisi tasawuf ini, Realitas yang dijadikan sebagai tujuan pencapaian kepuasan spritual, tidak dapat dijelaskan dalam bentuk apapun, dia tidak bergantung pada metode penginderaan maupun pikiran. Meskipun demikian, bukan berarti intuisi akan berpisah dengan pikiran. Tetapi justru berhubungan secara organik.[18]
Pembahasan mengenai metafisika merupakan ilmu pengetahuan tentang keabadian,[19] yang sebenarnya adalah bagian dasar dari garis besar doktrin sufisme.[20] Yaitu, sebuah sistem terpadu yang secara positif menerangkan hakikat Realitas yang sebenarnya, melalui penggabungan akal dan pengalaman “intuitif” dengan tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, yang terdapat pada suprarasional dan transempirikal kesadaran manusia.[21]
Kepastian tentang makna dan hakikat realitas yang hanya disandarkan pada analisis rasional, hanya mengantarkan kita pada spekulasi filosofis dan akan memberikan ending pada kajian mengenai alam sebagai sesuatu yang berahir pada alam itu sendiri. Sementara metafisika sufi membedakan antara esensi dan eksistensi pada dataran rasional, sedangkan pada dataran hakikat “Eksistensi (Wujud) itulah yaneg menjadi “esensi” segala sesuatu dan “esensi” atau “quiditas” (mahiyyah) pada hakikatnya merupakan sejumlah akibat dari Eksistensi”.[22] Realitas itu adalah Eksistensi Mutlak yang tidak lain adalah Kebenaran (al-Haqq, Truth), salah satu aspek Allah swt.[23] Realitas wujud yang partikular ini, senantiasa ada disebabkan oleh dinamika Tuhan yang selalu berkesinambungan (God continuous dynamic) dan aktivitas Tuhan yang senantiasa menciptakan kembali (constant activity of re-creating) sesuatu yang serupa meskipun tidak sama. Wujud partikular ini, tentunya memiliki “watak” yang sangat berbeda dengan dengan karakter Eksistensi Mutlaq yang selamanya Qadim.
Dalam istilah Ibn ‘Arabi, proses ini sebagai Tanzih (transendensi) dan Tasybih (imanensi). Tanzih merupakan “pengkudusan” Dzat Ilahi yang Mutlak, sebagai Hakikat dari segala realitas. Dari-Nya semua wujud berasal dan kepada-Nya semua wujud kembali (inna lillahi wa inna ilaihi rajiun). Sementara Tasybih merupakan proses “penampakan” (tajalli) Tuhan melalui asma dan sifat-sifat Ilahi, yang tersimpan dalam alam semesta.[24]
Ketika alam mampu menerima “penampakan” Tuhan dalam dirinya, sehingga menjadi cermin Tuhan dialam semesta ini, maka ia berposisi sebagai mikrocosmos atau jagad cilik. Dan hanya manusialah sebenarnya yang mampu menerima pelimpahan wewenang ke-khalifah-an Allah di alam semesta ini, sementara yang lain tidak.[25] Dengan demikian, secara potensial manusia mampu merefleksikan atau memantulkan seluruh sifat Ilahi.[26] Sebab secara spritual manusia manusia memiliki kelebihan dengan makhluq lain.[27]
Konsep metafisis ini, jelas akan berpengaruh pada pola berfikir seseorang, dimana pengetahuan tentang Tuhan tidak hanya didasarkan pada wilayah kognitif semata, melainkan pengalaman intuitif dan kesadaran terhadap eksistensi diri dan dunia luar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Allah dalam Hadits Qudsinya “siapa yang mengetahui dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”.[28] Atau dalam bahasa al-Qur’an, Allah menyebutkan Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami yang ada dilangit dan yang ada dalam diri mereka sendiri…..[29] Oleh karena itu, pengetahuan tentang Tuhan disebut sebagai ma’rifah (gnosis atau iluminasi spritual), bukan ‘ilm (sains ataupun pengetahuan yang bersumber pada rasio).
Tuhan dengan demikian, adalah dasar dari dan pencipta segala sesuatu, Yang Maha Tinggi dan Maha Berkuasa, yang senantiasa merealisasikan keinginan-Nya melalui penciptaan, penghancuran, dan penciptaan kembali secara terus menerus, sehingga terjadi pengejawantahan dan pengindividuasian berbagi kemungkinan yang terkandung dalam Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang tidak terbatas. Dari Hakikat Diri dan akibat aktivitas-Nya inilah, semua yang terkandung dialam ini memperoleh keadaan yang selalu berubah dan keadaan yang tetap atau permanen. Sayangnya, keperubahan dalam realitas manusiawi (melalui rasionalitasnya) dapat dengan “mudah” dikenali, tatapi wilayah kepermanenan yang menjadi realitas hakiki dari segala sesuatu hanya bisa dikenali melalui pengalaman intuisi.
Pada satu sisi, Tuhan Mutlak dengan segala ke-Esa-an dan Transendensi-Nya, sebagai wilayah yang berada pada limitasi yang tidak terbatas oleh pengetahuan alam dan manusia. Di sisi lain, Tuhan yang “menitahkan” potensi-potensi primordial kepada manusia, yang menampakkan asma-asma-Nya melalui penciptaan-Na, adalah realitas-realitas yang menjadi inter-relasi antara Dia dan ciptaan-Nya. Jika yang pertama hanya mampu didapat melalui pengalaman intuitif, maka yang kedua melalui akal dan usaha intelektual. Akan tetapi, akal butuh persiapan spritual untuk sampai kepada hakikat kebenaran tentang inter-relasi Tuhan dan segala ciptaan-Nya. Sehingga, wajar jika para pemikir Yunani, meskipun menguasai persoalan-persoalan intelektual secara mendalam, tetapi mereka belum sampai pada pengetahuan tentang inter-relasi Tuhan dan segala ciptaan-Nya.
Jika selama ini, ilmu pengetahuan lebih menekankan pada pendekatan indrawi dan rasionalitas, yang kemudian bermuara pada pengkayaan aspek materi,[30] maka lebih jauh al-Qur’an sebenarnya telah memperkenalkan pengetahuan mengenai metafisika, selain yang bersifat fisik. Tuhan dalam kaca mata Imanuel Kant misalnya, hanya bisa diketahui dengan melalui argumen moralitas (practical reason, akal praksis) bukan melalui penalaran kritis-analisis (akal murni, pure reason).[31] Dalam Islam, pengalaman yang mampu melahirkan prinsip-prinsip etika adalah dengan melalui “hati nurani”,[32] yaitu dengan melalui cara mengasah hati (riyadhah),[33] agar dapat merasakan dan menangkap pengetahuan yang terdalam. Inilah sebenarnya pengetahuan paripurna, yaitu pengetahuan mengenai Allah (dalam bahasa al-Attas Ma’rifah).
Realitas metafisis ini, bagaimanapun merupakan kajian ilmu pengetahuan yang universal. Karena ia akan berbicara tentang pengetahuan puncak, yang mencakup segala sesuatu, yang menjadikan kita kepada paradigma yang ilahiyyah, paradigma yang mengembalikan prinsip-prinsip etika pembelajaran pada Keesaan Allah. Sebuah paradigma yang mengunggulkan dimensi spritualitas, paradigma yang melatih kita untuk selalu mengasah dimensi ruhaniyyah kita. Inilah, yang akan mendorong Pendidikan pada semangat long life education, pendidikan sepanjang masa. Karena “pencarian kepada al-Haq” pada hakikatnya adalah proses tiada henti.
Spritualitas Sufistik ; Anasir Baru Bagi Pendidikan Islam
Istilah spritualitas sering diartikan “miring” oleh banyak kalangan, terutama para pemikir muslim, karena istilah ini dikonotasikan kepada tradisi spritualitas Kristen. Tetapi, menurut Nasr, istilah spritualitas menunjukkan makna ruhaniyyah dalam bahasa Arab, dan memiliki arti ma’nawiyyah dalam bahasa Persianya.[34] Semua itu berarti menunjukkan hal-hal batin yang hakiki dan interioritas (bagian dalam), sebagai lawan dari “yang kasat mata”. Selain itu, spritualitas diartikan sebagai bentuk kesempurnaan moral dan kemurahan jiwa sejauh menyangkut umat manusia, sebagai entitas dari kedekatan manusia dengan Penciptanya.[35] Meskipun demikian spritualitas tidak begitu saja dimaknai sesuatu yang bersifat esoteris, yang merupaka lawan dari eksoteris. Ia memang sangat dekat dengan esoteris (al-Batiniyyah), tapi ia juga sangat dekat dengan eksoteris Islam, seperti hukum, teologi, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan.
Esensi dari spritualitas Islam adalah realisasi dari ke-Esa-an Alla, mematuhi segala kehendak dan Hukum-Hukum Allah (sunnatullah), yang kesemuanya terkadung dalam al-Qur’an dengan segala sakramentalnya, melalui “bimbingan” dan teladan Nabi yang termanifestasi dalam al-Hadits dan al-Sunnah.
Dalam lintas spritualitas Islam, tradisi tasawuf atau sufi memiliki akar yang sangat mendasat dengan spritualitas Islam. Hal ini, dapat dilihat beberapa tulisan tentang spritualitas Islam, selalu merujuk pada khasanah tasawuf Islam. Di lihat dari proses penghambaan (abd al-Lah) mereka kepata Tuhannya, mereka sangat mengunggulkan kesucian dan kemuliaan hatinya. Sehingga mereka (selalu menklaim) mampu sedekat mungkin dengan Tuhan. Gambaran ketataatan, ini sebenarnya dapat kita lihat dalam al-Qur’an “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan semua orang yang memanggil (berdo’a) jika Aku di panggil. (QS. Al-Baqarah :186). Di ayat lain Allah pun menegaskan bahwa “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana kamu menghadap, disitu ada ‘wajah’ Tuhan. (QS. Al-Baqarah : 115). Itu semua adalah metafora dari keniscayaan seseorang akan kedekatannya denga Tuhan.
Salah satu hadits Qudsi (kudus, suci) yang dijadikan landasan oleh kaum Sufi adalah “hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekati dirinya kepada-Ku, melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia, dan apabila Kucintai dia, maka Akulah Pendengar dengan apa yang ia dengar, mata dengan apa yang ia melihat, dan tengan dengan apa yang ia pegang, serta kaki dengan apa ia berjalan.[36] Hadis ini menunjukan akar spritual Islam yang bersumber langsung dari Tuhan. Inilah prototype kehidupan spritual dan kedalaman batin dengan Tuhan, yang menjadikan Nabi sebagai sumber spritualitas Islam, dan menjadikan Dzikr (mengingat Allah terus menerus) sebagai kesatuan dalam setiap ritme kehidupan. Disinilah urgensi tradisi sufi, untuk dijadikan sebagai basis spritualitas dalam pendidikan Islam.
Dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal, Danah Zohar dan Ian Marshal,[37] secara terbuka mengutip puisi Jalaludin al-Rumi untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya.[38] Di sini, khazanah sufi telah mampu mempengaruhi tradisi psikologi Barat Modern, ditengah kegalauan mereka akan kedamaian spritual. Hal ini pula semakin mempertegas betapa kayanya khazanah tradisi spritualitas Islam.[39]
Cerdas secara spritual, merupakan kecerdasan yang berada pada bagian diri yang terdalam, kedalaman hati (deep insight), pemahaman dan kearifan berfikir. Kecerdasan spritual juga akan memberikan kesadaran yang akan mendorong kita tidak saja untuk mengakui nilai-nilai “suci” tetapi juga secara kreatif akan menemukan nilai-nilai baru. Sehingga tidak heran jika Danah Zohar dan Ian Marshal, menyebut kecerdasan ini sebagai The Ultimate Intelligensi, puncak kecerdasan.
Kecerdasan ini, justru hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Sehingga basisnya adalah self its self (fithrah dalam Islam) dimana ia dituntut untuk mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu ia berasal, “perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjidatau dalam bahasa kaum Perennialis “alam surgawi”, dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Dengan konsep dasar (fithrah) yang termanifestasi dalam konsep “perjanjian primordial” inilah,[40] menjadi modal bagi manusia untuk menjadikan kebaikan (tauhid, keesaan Tuhan) sebagai basis bagi semua prilaku manusia.[41] Oleh karena itu, manusia musti berada pada kondisi “bersih” secara spritual.
Menjadikan kecerdasan sufistik, sebagai basis pembelajaran dalam pendidikan Islam, merupakan sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia. Tidak heran jika kemudian, Kuntowijoyo pernah merekomendasikan untuk memasukkan khazanah sufi kedalam pendidikan Islam. Karena Sufi telah mampu mentransendensikan hodup manusia, juga kekayaan yang terkandung didalamnya, yang sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.[42] Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sastra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik.[43] Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (Ilahi Rabbi).
Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.

Bagian akhir
Ketika Rasulullah menerima Firman Tuhan yang pertama kali, Nabi pada saat itu sedang melakukan kontemplasi metafisis, karena kebobrokan mental manusia pada saat itu, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim as. ketika sedang bersepekulasi metafisis tentang hakikat Kebenaran (al-Haq). Maka dari proses seperti itulah sebenarnya, akan “menuntut” Allah untuk menunjukkan tanda-tanda-Nya, Vestigial Dei, di alam semesta, dan didalam jiwa manusia yang terdalam.
Proses ini, jelas membutuhkan sikap ketulusan dan ketundukan (istilah ini menurut Nurcholis Madjid semakna dengan kata Islam) kepada Allah. Karena seringkali manusia mengabaikan “rencana” Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai teomorfosis diri-Nya. Pengeejawantahan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia ini adalah misalnya Tuhan Hidup (al-Hayy), maka manusia diberi kehidupan. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang (al-Rahman dan al-Rahim), karena itu manusia diberi potensi pengasih dan penyayang. Meskipun kesempurnaan tetap milik-Nya yang Mutlak.
Oleh karena itu, semuanya butuh pensucian batin, memperkaya diri dengan kebersihan jiwa. Sebagaimana sebuah cermin, manusia barulah cermin kasar yang setiap saat perlu dibersihkan dan digosok, agar selalu bersih. Istilah ini sebenarnya mirip dengan konsep al-Iman Yazid wa Yanqush, dimana iman mengalami fluktuasi yang kadang baik (taqwa), dan kadang tidak (fujur). Setelah bersih, barulah ia mampu memantulkan sifat-sifat Ilahi tersebut secara sempurna, yang oleh tradisi sufi disebut sebagai al-Insan al-Kamil. Wallahu a’lam bi al-Shawab.


[1] Wan Mohd. Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam (trj). (Bandung : Mizan. 2003) hlm 78.
[2] Barnadib. Filsfat Pendidikan; Sistem dan Metode, (Yogyakarta : Andi Ofset. 1994) hlm. 15.
[3] Hal ini dapat dilihat dari tulisan K. G. Saiyidain. Iqbal’s Education Philosophy, (Lahore : Muhammad asyraf. 1990)h. vii.
[4] Mieska Muhammad Amin. Apistemologi Islam. (Jakarta : UI Press. 1983) hlm. 3.
[5] Harold H. Titus, dkk. Persoalan-Persoalan Filsafat (trj). (Jakarta : Bulan Bintang. 1984) hlm. 187 – 188.
[6] L. O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, (tjm). (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1987) hlm 143.
[7] Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta : Kanisius. 1992), hlm. 40.
[8] Ibid, hlm. 22.
[9] Ibid, hlm. 55
[10] lihat Kattsoff. Op Cit, hlm 146. Bandingkan teori Ibn Taymiyyah dalam membentuk pengetahuan. Menurutnya, indera berperan sebagai sumber yang berhubungan langsung dengan materi yang pada akhirnya melahirkan hakikat objek. Maka, akal akan berperan sebagai perantara dalam menghubungkan satu objek dengan objek lainnya, yang dihasilkan oleh indra. Objek pertama yang langsung diamati oleh indra, oleh Ibn Taymiyyah disebut sebagai al-Syahid, dan objek yang kedua, al-Ghaib. Lihat Muhammad Husny al-Zayyin. Mantiq Ibn Taymiyyah wa Manhayjuh al-Fikr, (Baerut : al-Maktabah al-Islami. 1979) hlm. 158.
[11] Muhammad Iqbal. The Recontruction of Religiou Thought in Islam. (New Delhi : Kitab Bhavan. 1981) hlm. 3.
[12] Filsafat ini, sangat dipengaruhi oleh filsafat Pragmatisme, yang diperkenalkan oleh William James dan John Dewey. Pragmatisme sangat menitik beratkan pada manfaat hidup praktis. Lihat Harold H. Titus. Op Cit, hlm. 340 – 343.
[13] Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta : media pratama. 1997) hlm. 84.
[14] Ibid.
[15] lihat Harun Nasution, Islam Rasional ; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan. 1995) hlm, 129. bandingkan dengan pernyataan Kazuo Shimogaki, yang mengalamatkan aliran rasionalisme ini pada kelompok al-Yasr al-Islam (Kiri Islam). Lihat Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modenisme dan Postmodernisme ; Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, (trj), (Yogyakarta : LkiS. 1993) hlm 7.
[16] Tentang asal-usul Mu’tazilah. Lihat A. Hanafi. Theologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang. 1989) hlm 157.
[17] Salah satu pernyataan Kant adalah metafisik itu tidak mungkin. Lihat Muhammad Baqir ash-Shadr. Falsafatuna. (Bandung : Mizan. 1992) hlm. 29.
[18] Danusiri. Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996), hlm. 34 – 35.
[19] SH. Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. (trj). (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1991) hlm 100.
[20] Imam Chanafie al-Jauhari. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global. (Yogyakarta : Ittaqa Press. 1999) hlm. 108.
[21] Bandingkan pengertian ini dengan Syed Naquib al-Attas dalam bukunya A Commentary on The Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kualalumpur : Kementrian Kebudayaan. 1986) hlm. 465.
[22] Syed Naquib al-Attas. Intuition of Existence : A Fundamental Basis of Islamic Metaphisics. (Kualalumpur : ISTAC. 1990) hlm. 6.
[23] Ibid, hlm. 7.
[24] SH. Nasr. Three Muslim Sages. (Cambridge : Harvard University Press. 1969) hlm. 107.
[25] Komaruddin Hidayat. “Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri” dalam Budhy-Munawar Rahman (ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta : Paramadina. 1995) hlm. 192.
[26] Lihat Mulyadi Kartanegara. Panorama Filsafat Islam. ; Sebuah Refleksi Aoutobiografi (Bandung : Mizan. 2002) hlm. 53.
[27] Ibid.
[28] Hadist ini sering dikenal dengan man ‘arofa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu.
[29] Q.S. al-Fushilat : 53.
[30] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an ; Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan. 1996), hlm 63.
[31] Lihat kajian M. Amin Abdullah dalam disertasinya yang membahas tentang filsafat etika Imanual Kant ini, khususnya pada Bab II, sub A. “Kant’s Critique of Pure Reason”. M. Amin Abdullah. The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant (Ankara : Turkiye Diyanet Vakfi Yayinlari, 1992) hlm 47 – 51.
[32] Istilah “hati nurani” ini sebenarnya mengandung makna yang sangat esensial, yaitu esensi kebaikan yang disebabkan oleh sesuatu dalam diri manusia yang bersifat cahaya (nurani), yang akan membimbing seseorang kearah kebaikan. Ini adalah kelanjutan dari ayat Qur’an yang menyebutkan “Maka luruskanlah dirimu kepada agama (yang benar), mengikuti kecendrungan kepada kebenaran, sesuai dengan fithrah Allah yang telah menciptakan manusia dalam fithrah itu. Tidak boleh ada perubahan dalam sesuatu yang diciptakan (ditetapkan) Tuhan. Itulah tujuan agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. al-Rum : 30). Fithra atau kejadian asal yang suci pada diri manusia itulah yang memberinya “kemampuan bawaan dari lahir dan intuisi untuk mengetahui benar salah, sejati dan palsu, dan dengan begitu akan mampu merasakan kehadiran Tuhan dan keesaan-Nya. Lebih jauh lihat Muhammad Asad. The Message of The Qur’an. (Gibraltar : Dar al-Andalus. 1980), khususnya catatan kaki nomor 27.
[33] al-Syaibani membagi sumber pokok pengetauan menjadi tiga, Indera, akal, intuisi, ilmu, dan wahyu. Nah, intuisi inilah yang mampu memberikan arah baru akan sentuhan rasa dan emosi, yang akan menjadikan kita lebih cerdas dalam beriteraksi dengan sesama maupun kepada Tuhan. Omar Muhammad al-Taumi al-Syaukani, Falsafah Pendidikan Islam, (trj). (Jakarta : Bulan Bintang. 1979) hlm. 271 – 176.
[34] SH. Nasr. Spritualitas dan Sni dalam Islam. (trj) (Bandung : Mizan. 1993) hlm. 16. terutama pada footnote 9.
[35] Bandingkan dengan SH. Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis ; Spritualitas Islam, (trj), (Bandung : Mizan. 2002) hlm xxii.
[36] Hadits ini penulis kutip dari buku SH. Nasr. Islam ; Antara Cita dan Fakta, (trj). (Yogyakarta : Pusaka. 2001) hlm 57.
[37] Danah Zohar dan Ian Marshal. SQ ; Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk memahami Hidup (trj). (Bandung : Mizan. 2000)
[38] Teks lengkapnya baca halaman 9.
[39] Lihatlah misalnya pada abad III – VII H, kreatifitas dan dinamika sufistik telah mampu memberikan inspirasi pada pemikir-pemikir, baik dibidang filsafat, kalam, dan hukum. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Tufail, Suhrawardi, al-Ghazali, bahkan tokoh-tokoh ahli kimia dan fisika ; al-Iraqi, Jubir Ibn Hayyan (penggali pertama ilmu aljabar), dan al-Razi (ahli Ilmu Optik) adalah orang-orang sufi. Begitu pula Nash al-Din at-Thusi dan Ibn Bana’ al-Marakusyi. Bahkan spritualitas Sufistik telah mempengaruhi peradaban materal. Hampir setiap bentuk seni mulai puisi, sajak cerita-cerita,sampai pada bentuk arsitektur ; masjid, Istana memperlihatkan keterpaduan dengan sufi. Pengaruh ini dapat dilihat dalam buku SH. Nasr. Spritualitas dan Seni Islam. (Bandung : Mizan. 1993).
[40] Yang dimaksud dengan “perjanjian primordial” ini adalah suatu ikatan janji yang terjadi pada zaman azali dengan Tuhan dan manusia, bahwa manusia primordial mengakui Dia sebagai Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam ayat “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari tulang selangkangan mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri, (dan Allah berkata) “bukankah Aku adalah Tuhanmu sekalian?”, mereka semua menjawab “ya, benar, kami semua menjadi saksi”..(QS. Al-A’raf : 172).
[41] Munzir Hitami. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. (Pekanbaru : Infinite. 2004) hlm 11 – 14.
[42] Kuntowijoyo menyebutkan ; “Substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), Rajâ’ (sangat berharap), Qonâ’ah (menerima pemberian Allah), Tawakkal ((pasrah), Syukûr, Ikhlâs dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct theaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh Nabi, para Shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan, demikian juga sejarah, mitos dan sastra”. Lihat Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998).
[43] Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, hlm 184.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Penetapan Kurikulum Nasional;
Analisis Atas Kurikulum Muatan Lokal
Imam Hanafi, MA


Pengantar
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan, yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan pada dasarnya juga “belajar”, tetapi lebih ditentukan oleh instink. Sedangkan bagi manusia, belajar berarti sebuah rangkaian kegiatan atau aktifitas menuju “pendewasaan” guna menuju kehidupan yang lebih bermakna.[1]
Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat yang akan datang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan oleh pendidikan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.[2]
Nah, kurikulum menjadi sangat penting dan menempati posisi yang cukup signifikan dalam pendidikan, sebab sangat berkaitan dengan penentuan arah, isi (content), dan proses pendidikan yang pada ahirnya sangat menentukan kualifikasi lulusan sebuah lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan, baik dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Semua orang sangat berkepentingan dengan kurikulum, sebab ketika kita berposisi sebagai orang tua, sebagai warga masyarakat, sebagai pemimpin, akan selalu mengharapkan kepada anak-anak muda kita untuk menjadi tumbuh dan berkembang yang lebih baik, lebih cerdas, lebih berkemampuan. Makalah berikut akan mencoba mendiskusikan tentang “perjalanan” kurikulum di Indonesia, khususnya pada kebijakan pemerintah tentang kurikulum Muatan Lokal.
Kurikulum dan Pendidikan ; Sebuah Perspektif
Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dari seluruh kegiatan pendidikan. Bahkan ada yang berpendapan bahwa kurikulum ini merupakan “rel” yang sangat menentukan akan kemana pendidikan diarahkan. Kurikulum menentukan jenis dan kuantitas pengetahuan serta pengalaman yang memungkinkan seorang lulusan memiliki wawasan global.
Meskipun yang dimaksud kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu.
[3]. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan sekedar rencana pelajaran. Akan tetapi kurikulum merupakan semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[4] Dengan kata lain, kurikulum mestinya mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun jam diluar jam belajar, sepanjang itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu, muncullah istilah extra-kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan diluar jam belajar dalam kelas.
Akan tetapi yang lebih penting dalam pengembangan sebuah kurikulum adalah sarana modern yang dapat menunjang terjadinya proses pembelajaran yang optimal. Kemudian lingkungan hidup sekolah, perpustakaan umum, museum, kegiatan-kegiatan budaya yang beraneka ragam, merupakan sarana penunjang dalam proses pendidikan
[5]
Jika di Irlandia, pemerintahnya menyediakan sarana dan menanggung gaji dari para gurunya baik swasta maupun negeri, maka hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia yang lebih menekankan pada pengalihan tanggungjawab ke pihak sekolah dalam hal “pelaksanaan” kurikulum saja. Sekolah hanya menjadi “pesuruh” dari ide-ide “kepentingan” politik.
Masa depan yang dibawa oleh proses globalisasi adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan Ilmu pengetahuan (knowledge based socity). Masyarakat yang didasarkan pada penemuan-penemuan yang meningkatkan taraf hidup manusia. Maka sikap inovatif merupakan syarat yang perlu dikembangkan dalam pendidikan modern. Dengan demikian, proses pengembangan kurikulum mestinya diarahkan pada sikap-sikap inovatif, sikap meneliti, sikap yang selalu “meragukan” penemuan-penemuan hari ini, dan mengikhtiarkan penemuan-penemuan yang lebih baik.
Perubahan Kurikulum yang ada di Indonesia, dari Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah memnberikan implikasi yang cukup signifakan dalam perjalanan pendidikan di Indonesia. Secara paradigmatic, perubahan yang terjadi adalah dari paradigma sentarlistik menjadi desentralistik, dari berbasis content menjadi berbasis competent, dari teacher-centered teaching menjadi student-centered teaching, dan dari parsialistik menjadi holistic, yaitu keterpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Perubahan-perubahan tersebut, memunculkan sikap optimistic pada sebagian pihak, tetapi ada juga yang merasa pesimis, karena khawatir pelaksanaan KBK ini hanya berhenti pada tataran “nama”, sementara “isinya” masih “menyusu” pada kurikulum 1994. Kekhawatiran ini wajar jika dihadapkan pada sebuah realitas bahwa model pembelajaran yang berlangsung masih menekankan pada pola-pola lama, karena meskipun Kurikulumnya baru tetapi orang-orangnya masih itu-itu juga dan yang diajarkan masih itu-itu juga. Margaret Mead pernah menuliskan sesuatu yang sangat menyakitkan “Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, oleh karenanya ia melarangku untuk sekolah”.
[6]
Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah mengembangkan aktivitas dan kreatifitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Keberhasilan dalam proses pembelajaran ini dapat diukur sejauhmana pendidik mampu menciptakan iklim yang “memerdekakan”.[7] Suasana pembelajaran kita, masih jauh darj target tersebut. Peserta didik masih dihantui oleh berbagai situasi ancaman, situasi emosional dam otoriter pendidik, situasi ketatnya jam belajar, dan seterusnya.
Kritik yang diajukan terhadap kurikulum 1975, 1984, dan 1994 yang ada dinegara kita adalah mata pelajaran dan materi kurikulum dirasa terlalu padat. Akibatnya, peserta didik terlalu berat menerima beban materi yang diajarkan. Padatnya kurikulum berimplikasi pada padatnya informasi pada buku teks. Kurikulum yang begitu sarat materi, mendorong guru semakin “bernafsu” untuk membahas habis seluruh pokok bahasan dengan tatap muka di kelas.
Pada proses selanjutnya, materi-materi pelajaran di “sesakkan” sedemikian rupa ke otak-otak peserta didik. Kesadaran untuk maju dicoba melalui media pengembangan dan pola-pola penciptaan keresahan, ancaman, dan bahkan hukuman oleh guru. Sekolah, pada akhirnya telah kehilangan ruh kanalisasi diri, etos kesepahaman, ekspresi dan aktualisasi pemikiran. Kesenangan pada proses pembelajaran, berubah “drastis” menjadi kebingungan, kenyamanan belajar pada akhirnya tidak lagi ditemukan di kelas. Inilah yang menjadi kegelisahan oleh para pemikir pendidikan, Kurt Singger menyebutnya sebagai “Pedagogi hitam”. Sinisme senada juga muncul dari Ivan Illich, yang menyuarakan proyek “deschooling sociaty” (masyarakat bebas dari sekolah). Kemudian Everett Reimer, meneriakkan “the end of school” , Paulo Friere dengan “pedagogy of the opressed”-nya, serta “the end of education” dari ‘celotehan’ Neill Postman.
Usaha sekolah dalam melakukan proses pembelajaran, juga sangat mengunggulkan supremasi kognisi. Sehingga, orientasi pembelajarannya adalah bagaimana guru berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan seluruh bahan atau materi, demi mengejar ulangan umum bersama, demi mencapai nilai yang tinggi dalam menghadapi ujian akhir atau bersaing dalam menempuh ujian masuk Perguruan Tinggi. Maka, pendidikan afeksi dan kompetensi peserta didik dalam melakukan interaksi antar sesama, sungguh menjadi terabaikan.
Sementara itu didalam dunia yang semakin terbuka saat ini, pengalaman manusia adalah tanpa batas, tanpa akhir dan semakin terakumulasi dimasa depan dalam dunia yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based socity). Adalah sangat tidak mungkin merumuskan semua pengalaman manusia, baik yang telah lalu maupun yang akan datang dalam kurikulum formal. Oleh karena itu, didalam pendidikan formal (sekolah) tidaklah mungkin diajarkan berbagai kompetensi atau “ranah” dalam pendidikan di sekolah, yang akan digunakan oleh peserta didik dalam menghadapi kehidupan akan datang.
Kehidupan itu sendiri, pada hakikatnya kehidupan yang terbuka, karenanya kompetensi yang saat ini di agung-agungkan, pada suatu saat akan usang (entropy) untuk hari esok. Yang perlu adalah pengenalan dan penguasaan terhadap berbagai dasar ketrampilan hidup yang telah terakumulasi didalam kebudayaan manusia dan yang diperkirakan akan memberikan manfaat bagi kehidupan untuk masa depan yang belum menentu.
Dengan demikian, kurikulum bukanlah untuk mempersiapkan penguasaan ketrampilan untuk hidup, melainkan dasar-dasar ketrampilan untuk menghadapi hidup yang terbuka. Kurikulum berdasarkan kompetensi (KBK) ataupun kurikulum untuk kehidupan (curriculum for life) yang berkembang di Indonesia saat ini, merupakan sebuah keniscayaan. Karena kurikulum disusun untuk mempersiapkan peserta didik menuju kearah kompetensi kehidupan yang terbuka.
[8]

Kebijakan Kurikulum Muatan Lokal
Lima Sekolah Menengah Pertama (SMP) penyelenggara terbatas (minipiloting) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Jawa Tengah, mengeluhkan beberapa persoalan berkait dengan penyelenggaraan KBK. Persoalan utama yang dihadapi adalah struktur kurikulum. Perubahan jumlah jam pelajaran dari 45 jam pelajaran pada Kurikulum 1994/1999 menjadi 38 jam pada Kurikulum 2004 sangat memengaruhi pengaturan jadwal.
[9]
Persoalan Pertama adalah penentuan muatan lokal (mulok). Jam pelajaran mulok yang berkurang dari empat jam menjadi tiga jam pelajaran, membawa dampak pada pengaturan penjadwalan. Akibatnya pada beberapa sekolah terdapat guru mulok yang terpaksa 'nganggur' karena jamnya dipangkas..
Persoalan Kedua, model penilaian. Di dalam KBK penilaian tidak dilakukan pada ranah pengetahuan (kognitif) saja, melainkan juga pada sikap (afektif) dan tindakan (psikomotorik). Persoalannya, para guru masih belum terbiasa dengan pola penilaian yang semacam itu. Guru masih mengalami kerepotan ketika harus menilai pada tiga ranah itu, ditambah dengan komentar perihal kelebihan dan kekurangan siswa.
Persoalan Ketiga, soal sarana/prasarana yang tersedia di sekolah. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai. Padahal, beberapa mata pelajaran semacam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menuntut adanya komputer di Sekolah. Belum lagi, penyelenggaraan pembelajaran di luar kelas (outdoor) yang menuntut biaya operasional lebih besar.
Persoalan selanjutnya, masih adanya wacana ulangan umum bersama pada beberapa daerah untuk menentukan nilai akhir siswa. Menurut Muslikh, implementasi perubahan orientasi dari materi ke proses, membuat ulangan umum bersama yang hanya menitikberatkan pada aspek kognisi menjadi tidak relevan.
Terlepas dari beberapa persoalan diatas, Kurikulum Muatan Lokal pada kasus diatas justru mengalami pengurangan jam pelajaran, sementara implikasi dari Undang-Undang tentang upaya desentralisasi atau otonomi kurikulum adalah pemberian keluasan pihak Sekolah untuk mengelola dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri, termasuk Kurikulum Muatan Lokal.
Persoalan yang sering muncul dalam pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal adalah pemahaman bahwa pengembangan Kurikulum Muatan Lokal seringkali dimaknai dengan pemberian materi bahasa daerah an sich.
[10] Padahal yang sangat perlu dikembangkan dalam Kurikulum Muatan Lokal adalah Daerah mestinya mengupayakan buku-buku penunjang yang bertujuan menjelaskan materi pelajaran sesuai situasi alam dan sosial-budaya setempat. Dengan demikian siswa bisa memahami pelajaran sesuai situasi yang dilihatnya sehari-hari. Karena substansi dari pengembangan Kurikulum Muatan Lokal adalah upaya untuk membekali pengetahuan dan keterampilan kepada siswa sesuai kondisi sumber daya alam dan situasi sosial ekonomi setempat.
Kurikulum 1994 memberikan alokasi waktu 20 persen untuk pengembangan kurikulum muatan lokal. Tetapi ketika Kanwil P dan K di masing-masing daerah kurang mampu dalam menjabarkan konsep itu, maka pelaksanaan kurikulum muatan lokal menjadi semakin “amburadul”. Hal ini disebabkan ketiadaan keberanian bagi pimpinan sekolah untuk berpendapat lain. Di samping kurang peka dalam membaca potensi masing-masing daerah, pihak kanwil juga mau gampangnya saja, dengan melakukan penyeragaman agar mudah mengontrol. Sedangkan bagi guru, karena tidak tahu, malas belajar, dan takut menanggung risiko, mereka jalani saja apa yang sudah dijuklakkan dan dijukniskan. Tidak heran bila Prof. Dr. Fauzia Hafidz, yang terlibat dalam penggodokan kurikulum muatan lokal yang sungguh beda dengan konsep semula, yaitu bagaimana mengembangkan potensi lokal tempat murid berada, kecewa. Lebih mengecewakan lagi bila materi pelajaran itu dipakai sebagai dasar untuk kenaikan kelas atau kelulusan.
Padahal apresiasi terhadap mapel bahasa Daerah tersebut akan segera berubah dengan adanya ketentuan bahwa bahasa Daerah bukanlah mapel muatan lokal. Ketentuan pertama adalah UU RI No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan 8 Juli 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No 78). Pada Pasal 37 ayat (1) dinyatakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga,keterampilan/ kejuruan, dan muatan lokal.
Selanjutnya dalam Penjelasan atas UU RI No 20 Th 2003 tersebut (Tambahan Lembaran Negara RI Th 2003 No 4301) khususnya Pasal 37 ayat (1) tentang butir bahasa dijelaskan sebagai berikut: Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: satu, bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional. Dua, bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik. Tiga, bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa daerah ; Satu, merupakan mapel wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dua, memiliki kedudukan yang sama dengan mapel bahasa nasional dan bahasa asing. Tiga, memiliki fungsi yang sama pentingnya dengan fungsi bahasa nasional dan bahasa asing.
Dengan uraian di atas semakin jelas bahwa mapel bahasa Daerah merupakan mapel wajib di sekolah dasar dan menengah, nilainya dalam rapor memiliki kedudukan yang sama dengan nilai mapel bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (bahasa asing lainnya), serta mapel bahasa Daerah bukan mulok yang patut direndahkan atau disepelekan.
Yang menjadi persoalan kemudaian adalah materi kurikulum yang mana yang termasuk mulok? Penjelasan UU RI No 20 Th 2003 Pasal 37 ayat (1) - yang tercantum dalam Tambahan Lembaran Negara RI Th 2003 No 4301 - menyatakan bahwa bahan kajian muatan lokal dimaksudkan untuk membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mapel yang disebut mulok adalah mapel yang memuat bahan kajian khas potensi atau identitas daerah. Misalnya, keterampilan ukir (mulok Kabupaten Jepara). Keterampilan Batik (mulok Kabupaten/ Kota Pekalongan dan Kota Surakarta). Kerajinan kuningan (mulok Juwana/ Kab. Pati) dsb.
Oleh sebab itulah maka Dachnel pernah menyarankan, bahwa muatan kurikulum dalam pengadaan buku ikut disesuaikan. Misalnya, kurikulum untuk sekolah dasar (SD), 80 persen muatan lokal, 20 persen skala nasional. Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP)-sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), 50 persen muatan lokal, 50 muatan nasional. Muatan lokal untuk SD harus dominan, karena alam pikiran murid SD masih lebih terbatas pada lingkungan alam sekitarnya. Sementara untuk SLTP-SLTA, muatan lokal dan nasional sudah harus seimbang, karena alam pikirannya sudah lebih luas, baik skala lokal dan nasional.
[11]

KBK dan Tantangan Muatan Lokal ; Menimbang KTSP
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di SMP mulai tahun ini membawa konsekuensi pada perubahan struktur program pengajaran. Jika semula alokasi jam pelajaran 44 x 45 menit, sekarang menjadi 38 x 45 menit per minggu. Perinciannya, 36 jam untuk kurikulum nasional, 2 jam untuk muatan lokal. Dari sinilah persoalan baru muncul. Dengan pengurangan alokasi waktu, mata pelajaran yang tergolong mutan lokal terkena dampaknya. Karena alokasi waktunya berkurang, guru-gurunya terpaksa atau dipaksa dialihfungsikan.
Sekadar mengingatkan, Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar, penilaian berbasis kelas, kegiatan belajar-mengajar, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
[12]
Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan penjabaran UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena itu, lantas ada perubahan pengelolaan pendidikan dari sentralistik ke desentralistik. Desentralistik pengelolaan pendidikan dituangkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003.
Kurikulum perlu didesentralisasikan, terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaan lewat penyesuaian dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Apabila pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diperhatikan secara saksama, muatan kurikulum nasional masih sangat dominan. Sebab, secara kuantitatif, 36 jam untuk kurikulum nasional, sedangkan muatan lokal hanya mendapat porsi 2 jam.
Jika muatan lokal dianggap sebagai wahana atau sarana bagi pengembangan potensi daerah, maka jelas alokasi waktu pembelajaran itu sangat kurang. Semestinya pengembangan potensi-potensi daerah dalam bidang pendidikan dialokasikan pada mata pelajaran muatan lokal. Penerapan KBK hendaknya jangan sampai menyimpang dari pelaksanaan otonomi daerah, terutama dalam bidang pendidikan.
Oleh sebab itu, lahirlah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan hasil penyempurnaan dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang menekankan pada standar isi dan standar kompetensi lulusan. Kelebihan KTSP adalah memberi alokasi waktu pada kegiatan pengembangan diri siswa. Siswa tidak melulu mengenal teori, tetapi diajak untuk terlibat dalam sebuah proses pengalaman belajar siswa dan pengembangan potensi masing-masing daerah. Pada bagian inilah, Kota Bandung akan mencoba mengembangkan alokasi waktu pengembangan diri yang tertuang dalam KTSP untuk pelajaran muatan lokal (mulok) seperti pendidikan lingkungan hidup (PLH) yang kini sedang dibicarakan. Karena Pencapaian akhir dari PLH adalah melahirkan siswa yang sadar dan berperilaku bersih, tertib, dan mengutamakan keindahan lingkungan.
[13]
Indikator pencapaian hasil KTSP menurut, dapat dilihat dari hasil akhir (lulusan) kurikulum tersebut saat mengikuti ujian nasional (UN). Sedangkan untuk dapat melihat sejauhmana tingkat keberhasilan pelaksanaan KTSP sebagai kurikulum baru dapat dilihat pada 3-5 tahun mendatang. Sebab pelaksanaan KTSP hanya dilakukan di kelas 1-4 SD dan kelas 3 SMP/SMA/SMK, sedangkan lulusan tahun depan masih menggunakan kurikulum KBK tahun 2004.[14]

Penutup
Tahun ajaran 2006/2007 ini muncul kurikulum baru yaitu KTSP (kurikulum tingkat satuan pelajaran). KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dibuat oleh sekolah yang mengacu pada standar isi yang diterbitkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang dilaksanakan oleh setiap pendidikan berdasarkan potensi dan kebutuhan satuan pendidikan di daerah masing-masing.
Dalam kurikulum baru ini, pihak sekolah memiliki hak dan wewenang membuat dan mengembangkan kurikulum tersebut. Hal ini tentu para guru yang harus aktif dan kreatif dalam menentukan langkah-langkah pembuatan dan pengembangan kurikulum tersebut. Karena dalam KTSP, guru yang berhak sepenuhnya menentukan penilaian kepada anak didik, bukan pihak-pihak yang tidak tahu tentang kualitas kemampuan anak didik (student's skill quality).
Meskipun KTSP tidak jauh berbeda dengan kurikulum 2004, tapi hal ini berdampak pada metode pengajaran dan penyampaian materi yang sulit untuk mencapai tahap kesempurnaan. Hal ini disebabkan sering berubahnya kurikulum, sedangkan implementasi kurikulum lama belum sepenuhnya dimengerti dan dipahami, apalagi dilaksanakan dengan baik.
Oleh sebab itulah, pemerintah harus secara bijak menentukan arah pendidikan ini agar murid sebagai masyarakat yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak bingung dengan sistem ataupun program yang sudah ditetapkan pemerintah. Permasalahannya, bagaimana mencari celah-celah dalam pelaksanaan Kurikulum tersebut untuk mampu mengembangkan potensi daerah pada peserta didik, tanpa harus bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan kurikulum baru itu. Itu tantangan mendesak yang harus segera dijawab poleh para stakeholders pendidikan……


[1] M. Rusli Karim. “Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Tiara Wacana., 1991), hlm. 27.
[2] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung : Al Maarif. 1980), hlm. 90.
[3] Badri Yatim, dkk.. Sejarah Perkembangan Madrasah, (Jakarta : Depag. 2000), hlm. 77.
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosdakarya . 1992), hlm. 53.
[5] H. A. R. Tilaar, 2005. Manifesto Pendidikan Nasional ; Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, (Jakarta : Kompas. 2005), hlm. 116 – 119.

[6] J. C. Tukiman Taruna, “Pedas dan Pakem ; Komitmen dan Revolusi Pembelajaran” dalam Basis No, 07 – 08, Tahun ke-51, Juli – Agustus 2002, hlm. 68.
[7] Djohar, Pendidikan Strategi ; Alternatif untuk Pendidikan masa Depan,(Yogyakarta : LESDI. 2003), hlm. 153.
[8] J. Dross. Dari KBK Hingga Ke MBS, (Jakarta : Kompas, 2005), hlm. 57.
[9] Kompas, Kamis 26 Agustus 2004.
[10] Lihat hasil penelusuran Kompas, Kamis, 7 November 2002 yang diuungkapkan oleh Kepala Bidang Pengembangan Kurikulum Pendidikan Guru dan Perguruan Tinggi bahwa dengan alasan kekurangan buku-buku, seringkali mulok dimaknai dengan pengajaran bahasa Daerah. Lihat juga Kekecewaan Darmaningtyas atas kebijakan dari masing-masing Daerah, terutama di Daerah DIY yang menjadikan Bahasa Jawa dan Karawitan sebagai Mulok di sekolah-sekolah, lalu di Bekasi yang mengajarkan Bahasa Sunda pada Muatan Lokal.
[11] Dachnel Kamars adalah pakar manajemen pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP). Lihat Kompas, Senin 11 November 2002.
[12] Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
[13] Pikiran Rakyat, Senin, 30 Oktober 2006
[14] Pikiran Rakyat, Senin, 30 Oktober 2006

Paradigma Pembelajaran Rekontruksionisme

Paradigma Pembelajaran Rekontruksionisme
Imam Hanafi, MA


Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya adalah membantu peserta didik untuk menjadi generasi yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman, dan lainnya. Pendidikan juga membawa misi untuk melibatkan peserta didik pada persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Rasanya sudah sangat sering kita dengarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pendidikan nasional. Kata-kata ekstrem pun sering terluapkan; konon pendidikan nasional Indonesia telah gagal menjalankan misinya untuk membentuk manusia-manusia yang cakap dan berkepribadian serta membangun bangsa yang berkarakter. Konon pendidikan hanya bisa menghasilkan koruptor, kolutor, provokator, dan manusia-manusia tak berbudi lainnya.
Ekstremitas tersebut tentu tidak sepenuhnya benar meskipun ada bagian yang tidak salah. Adalah benar bahwa sebagian koruptor, kolutor, provokator serta manusia-manusia yang tidak berbudi lainnya adalah orang-orang yang berpendidikan, bahkan sebagian di antaranya berpendidikan tinggi. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa seluruh hasil pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi, adalah buruk. Karena Pendidikan itu sendiri merupakan sebuah proses tiada henti, sebuah proses yang selalu menyisakan berbagai persoalan, meskipun ia selalu memberikan konsep-konsep baru tentang bagaimana membangun dan mengembangkan kualitas manusia. Di sini, pendidikan menempati posisi penting, ketika secara “tulus” ia mejadikan manusia sebagai subyek yang merdeka, sebagai sosok yang tidak “kosong” dari pengalaman-pengalaman yang telah dia ciptakan sendiri.
Secara epistemologis, kelemahan beberapa pemikiran klasik adalah ketika ia menganggap pengetahuan sudah ada dan sudah jadi, lalu ia menempatkan “sosok guru” sebagai seseorang yang paling tahu. Sehingga tugas guru adalah mentransfer pengetahuan itu, kedalam otak peserta didik. Maka peserta didik tinggal membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu apa adanya.

Konteks Sejarah Lahirnya Filsafat Rekontruksionisme
Sebagaimana Perennialisme, filsafat Rekontruksionisme juga hendak menyatakan bahwa budaya modern telah mengalami krisis.
[1] Ia berusaha merombak tata susunan lama dan membangun konsep baru mengenai pola hidup kebudayaan yang lebih bercorak modern.[2] Bagi keduanya, keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terpengaruh oleh kehancuran, kebingungan, dan keragu-raguan.[3] Akan tetapi, filsafat Rekontruksionisme tidak sependapat dengan “pola kerja” yang dibangun oleh Perennialisme yang mencoba “bernostalgia” dengan kebudayaan abad pertengahan. Filsafat Rekontruksionisme lebih memilih pada usaha dan membina sebuah konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia, restore to the original form.[4]
Kata Rekontruksionisme itu sendiri, mempunyai akar kata dari bahasa Inggris, rekontruct, yang berarti menyusun kembali. Yaitu melakukan perombakan dan menyusun kembali pola-pola lama menjadi pola-pola baru yang lebih meodern. Secara historis, lahirnya Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in Philosophy.[5] Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat.[6]
Pada tahun 1932, George Counts (1889 – 1974)[7] ia mengktik praktik-praktik sekolah yang telah mengabdikan ketidaksamaan-ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras, kelas, dan etnik.[8] Ia menegaskan bahwa skolah-sekolah menengah umum telah menjadi milik orang-orang berkelas sosial tinggi dan keluarga yang berkecukupan.
Melalui tulisannya yang berjudul Dare the School Build a New Social Order?, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan Progresifisme yang telah gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia menegaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered approach) tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20.
Ringkasnya, kemunculan filsafat Rekontruksionisme ini berangkat dari kondisi masyarakat Amerika pada khususnya dan masyarakat industri pada umumnya, yang semakin meninggalkan sebuah tatanan dunia yang diidam-idamkan. Perkembangan ilmu, teknologi dan industrialisasi pada satu sisi memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan, akan tetapi disisi lain ia telah menimbulkan pengaruh-pengaruh yang negatif. Masyarakat yang tenang, tentram, damai, pelan-pelan telah tergiring pada keterasingan. Ada yang menganggap, kondisi ini karena adanya sifat loises faire, kompetisi yang terlalu berlebihan sehingga bermuara pada pemenuhan kepentingan individual dari pada kepentingan sosial, pada masyarakat Amerika. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan di bidang ekonomi, yang semula berbentuk individual interprenurship dirubah kearah coorperative yang bersendikan konsep kerja sama kolektif. Konsep ini, kemudian mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Keadaan ini, meyakinkan para pemikir pendidikan bahwa pendidikan perlu mempunyai konsep dan peran yang positif dalam mengadakan rekontruksi masyarakat. Dan masyarakat yang direkontruksi ini, hendaknya lebih mengutamakan kebersamaan dari pada kepentingan-kepentingan individu.
[9]

Pandangan Filsafat Rekontruksionisme tentang Pengetahuan
Secara umum, filsafat Rekontruksionisme merupakan sebuah paham anti-esensialisme, yang menekankan kepada penciptaan budaya dan sejarah. Filsafat Rekontruksionisme bertentangan dengan paham universal dan penjelasan biologis terhadap obyek atau kejadian. Misalnya identitas merupakan suatu diskursus kontruksionisme yang tidak berkaitan dengan benda. Artinya, identitas bukan merupakan suatu entitas universal, melainkan merupakan suatu ciptaan kultural atau secara spesifik merupakan diskursus yang kontruktif. Bagi filsafat Rekontruksionisme, yang terpenting adalah pribadi sebagai bentukan budaya, karena pribadi terbentuk dari materi budaya, seperti bahasa dan praktik budaya lainnya dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula.
[10]
Sementara ia memandang pengetahuan merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar.[11] Misalnya, pengetahuan siswa tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang sderhana, tidajk lengkap, dan semakin dia dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing, sehingga pengetahuannya tentang kucing akan semakin lengkap. Contoh lain misalnya sering terjadi seorang guru sudah berulang-ulang menjelaskan kepada muridnya suatu bahan pelajaran, namun murid tersebut salah menangkap. Fenomena ini menguatkan klaim para penganut filsafat rekonstruktivisme yang menekankan bahwa murid telah mengkonstruksi (membentuk) sendiri pengetahuan mereka.
Para penganut Rekontruksionisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru
Kaum Rekontruksionisme menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan akan air. Menurut von Glaserfeld, tokoh filsafat Rekontruksionisme di AS, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan pengalaman mereka.
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang kita konstruksikan.
Bagi kaum Rekontruksionisme, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang rekonstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi rekonstruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Lalu bagaimana dengan soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita bentuk itu benar? Rekontruksionisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dalam viabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Apakah pengetahuan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam persoalan yang berkaitan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum.
Yang membatasi konstruksi pengetahuan Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat jelas peranan pengalaman dan percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan, gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu disebut ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan pengetahuan.

Tori Belajar dalam Rekontruksionisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar rekonstruksionisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
[12]
Menurut Piaget, seorang anak belajar melalui pengalaman kongkritnya dengan cara merefleksikan pengalamannya. Ketia ia menemukan pengalaman baru, anak akan menyesuaikan dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Karakteristik perkembangan berfikir anak berbeda-beda menurut tahapan usianya, dan tahapan ini berimplikasi pada perbedaan cara belajar anak dan cara mengajar guru. Oleh karena itu, kurikulum musti dirancang sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh anak sebelumnya secara konkrit, sehingga ank mampu melakukannya dan selanjutnya secara bertahap anak diperkenalkan kepada konsep dan kompetensi baru. Tidak heran jika kemudian ada yang mengatakan bahwa Rekontruksionisem pada dasarnya mengajartkan anak “Bagaimana belajar yang efektif”.[13]
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai Rekontruksionisme pertama[14] menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.[15] Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.[16]
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.[17]
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan Rekontruksionisme, Driver dan Bell
[18] mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan rekonstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.
[19]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
[20]
Berbeda dengan Rekontruksionisme kognitif ala Piaget, Rekontruksionisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang.[21] Dalam penjelasan lain Tanjung mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.[22]
Adapun implikasi dari teori belajar Rekontruksionisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar Rekontruksionisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.[23]
Prinsip pembelajaran Rekontruksionisme ini telah banyak mempengaruhi pendidikan sain dan matematika di Amerika, Eropa dan Australia sejak awal 1980-an.[24] Segi pengetahuan dipandang sebagai suatu yang non obyektif-temporer dan selalu berubah. Belajar menjadi suatu proses penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, kegiatan kolaboratif, refleksi dan interprestasi individu. Hasil belajar bergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi pribadi. Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek, perspektif yang dipakai, sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik. Suatu kegagalan dan kesuksesan dilihat sebagai beda interpretasi yang patut dihargai dan sukses belajar sangat ditentukan oleh kebebasan siswa melakukan pengaturan dari dalam diri siswa. Tujuan pembelajaran adalah belajar how to learn. Penyajian isi KBM fakta diinterpretasi untuk mengkonstruksikan pemahaman individu melalui interaksi sosial.
Untuk mendukung kualitas pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data primer, bahan manipulatif dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan kesimpulan. Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif, keterampilan intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban divergen dan pemecahan ganda. Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan belajar mengajar dengan penugasan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata sekaligus sebagai evaluasi proses untuk memecahkan masalah.
Selama ini masyarakat kita berada dalam suatu budaya dimana belajar dipandang sebagai suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukan sekadar fasilitator, melainkan sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Pembelajaran yang sedang dikampanyekan, disosialisasikan justru berbeda dengan pandangan tersebut. Belajar adalah suatu proses dimana siswa memproduki pengetahuan. Siswa menyusun pengetahuan, membangun makna (meaning making), serta mengkonstruksi gagasan. Pada dasarnya teori Rekontruksionisme menekankan bahwa belajar adalah meaning making atau membangun makna, sedang mengajar adalah schaffolding atau memfasilitasi.
Secara sederhana, paradigma pembelajaran Rekontruksionisme adalah :
Dari
Menjadi
Mengajar
Indoktrinasi
Guru sebagai dubyek
Mengumpulkan pengetahuan
Belajar
Partisipatif sebagai fasilitator dan mediator
Siswa sebagai Subyek
Menemukan pengetahuan dan mengembangkan kerangka berfikir

Oleh karena itu skenario suatu pembelajaran maupun kegiatan belajar mengajar yang hanya terhenti pada tahapan dimana siswa mengumpulkan data dan memperoleh informasi dari luar yakni guru, narasumber, buku, laboratorium dan lingkungan ke dalam ingatan siswa saja, belumlah cukup, karena siswa masih berada pada tingkatan mengkonsumsi pengetahuan. Karena itu perlu langkah-langkah yang menunjukkan tindakan siswa mengkonstruksi gagasan untuk memproduksi pengetahuan. Langkah-langkah inilah yang sedang disosialisasikan dua tahun terakhir.

Filsafat Pendidikan ; Antara Rekontruksionisme dan Obyektivisme

Paradigma Pendidikan Objektivisme berdasarkan tanggapan bahwa wujud pengetahuan berada di luar persepsi manusia. Menurut pandangan ini, fungsi sains ialah untuk memastikan pengetahuan disampaikan secara objektif. Proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menalarkan pengetahuan dari pendidik kepada murid. Sementara pengetahuan sains dalam perspektif Rekontruksionisme adalah memberikan penjelasan yang paling sesuai dalam menguraikan fenomena yang diperhatikan.
Ahli objektivisme berpendapat bahwa sebuah ketetapan tentang apa yang perlu dipelajari dan siapa yang pantas mengajar adalah dibuat oleh “pakar” yang semestinya mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan murid banyal tidak dapat melihat keperluan belajar sebagaimana yang dilihat oleh pihak “pakar”. Model autoritarian ini menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat penting dalam kelas. Murid dan juga orang awam beranggapan guru mempunyai seabrek jawaban bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan murid yang produktif dan berpengetahuan luas.
Para ahli Rekontruksionisme menganggap bahwa setiap peserta didik mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. Penekanan sangat diberikan kepada peserta didik dengan memberikan peluang untuk membentuk kemahiran dan pengetahuan di mana mereka menghubungkan dan mengkaitkan pengalaman masa lalu mereka dengan kegunaan masa depen. Peserta didik bukan hanya diberikan dengan fakta-fakta saja, sebaliknya Rekontruktsionisme memberikan penekanan kepada proses berfikir dan kemantapan berkomunikasi. Di sini peserta didik, diajak untuk memahami dan menjelaskan bagaimana makna belajar bagi mereka sendiri.
Melalui penggunaan paradigma rekonstruksionisme, guru perlu mengubah peranannya dalam bidang sains. Guru mungkin akan berperan sebagai pelajar atau penyelidik. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana murid membina konsep atau pengetahuan. Justeru itu guru akan memperolehi pemahaman untuk membina dan mengubah kecerdasan serta berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahwa proses pembinaan dan pengubahan suatu konsep merupakan satu proses berkelanjutan dalam kehidupan.
Dalam paradigma rekonstruksionisme, murid menganggap peranan guru sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh disesuaikan dan boleh dirubah. Mereka juga sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri dalam menggunakan berbagai cara untuk memproses sesuatu dan menyelesaikan sebuah masalah. Dengan kata lain, guru berperan sebagai seorang fasilitator dan pembimbing. Hubungan guru dengan peserta didik diandaikan seperti relasi antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing dan membantu murid mempelajari sesuatu pelajaran dengan bermakna. Guru tidak boleh belajar untuk peserta didik. Peserta didik yang mengembangkan pemahamannya sendiri.
Kebanyakan teknik penilaian juga didasarkan pada paradigma objektivisme. Dalam proses penilaian, peserta didik akan diuji dan harus sesuai dengan jawaban yang dikehendaki oleh seorang guru. Mereka juga dianggap memiliki penafsiran yang sama dengan guru tentang apa yang dikehendaki dalam soalan. Oleh karena itu, soal-soal ujian tidak sebenarnya menguji kefahaman dan pengetahuan murid, tetapi hanya menguji kemahiran murid untuk dijadikan bekal atau modal terhadap jawaban yang dikehendaki oleh guru saja.
Menurut teori rekonstruksionisme, penilaian harus mencakup cara dalam menyelesaikan masalah dengan sebab-sebab dan pengetahuan. Teknik-teknik penilaian yang demikian itu adalah peta konsep, portfolio, ujian prestasi dan ujian pemahaman.
Pandangan ahli rekonstruksionisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah berbeda dengan ahli objektivisme. Ahli rekonstruksionisme menganggap guru berperan sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin peserta didik dengan sempurna. Peserta didik diterima sebagi individu yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang berbeda di mana setiap individu itu diangap penting dalam proses pembelajaran dan perlu diberi perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat keputusan sendiri tentang persoalan-persoaln yang akan mereka pelajari. Melalui proses ini, mereka akan lebih tersentuh, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktivitas pembelajaran mereka.
Sebaliknya ahli objektivisme berpendapat bahwa guru harus berperan sebagai “pengawal disiplin” kelas. Murid tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan. Mereka yang melanggar akan mendapat hukuman.
Proses pembelajaran yang berdasarkan pada rekonstruksionisme memberikan peluang bagi guru untuk memilih prinsip-prinsip pembelajaran yang sesuai dan dapat menentukan sendiri waktu yang diperlukan untuk memperolehi sesuatu konsep atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai pemahaman orang lain supaya pemahamannya tentang suatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi.
Rekontruksionisme medasarkan diri pada bahwa contruction of understanding is the core element in a highly complex process atau alternative interpretation of social phenomena are rarely considered.
[25] Oleh sebab itu, paradigma rekontruksionisme sebagai metode pembelajaran tidak hanya diberlakukan pada mata pelajaran tertentu saja, akan tetapi menjadi model pembelajaran secara umum, terutama untuk mencapai “subject matter objectivies”. Dalam proses inilah, maka pengalaman dan kenyataan (konsepsualisasi dan kontektualisasi) bagi rekontruksionisme, menjadi bahan dasar pembelajaran yang sangat penting.

Penutup

Dalam pengertian Rekontruksionisme, belajar adalah suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang aktif berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di sini hanyalah membantu agar proses rekonstruksi itu berjalan. Guru bukan mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi membantu agar anak didik membentuk pengetahuannya.
Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktivan murid untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan, lingkungan, dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu. Murid diberi kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah, tanpa dihambat. Dengan dibiasakan berpikir sendiri dan mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi pribadi yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational. Dalam pengertian Rekontruksionisme, murid tidak dianggap sebagai suatu tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Murid dipahami sebagai subyek yang sudah membawa "pengertian awal" akan sesuatu sebelum mereka mulai belajar secara formal. Bahkan seorang murid klas 1 SD pun sudah membawa pengetahuan awal mengenai macam-macam hal yang dalam tarafnya berlaku untuk memecahkan persoalan. Pengetahuan awal tersebut, meski kadang sangat naif atau tidak cocok dengan pengertian para ahli, perlu diterima dan nanti dibimbing untuk semakin sesuai dengan pemikiran para ahli. Pemikiran mereka itu meski naif, bukanlah salah; tetapi terbatas berlakunya.
Pihak guru dituntut pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat memahami jalan pikiran anak. Guru menantang, mempertajam, dan menunjukkan apakah jalan pikiran murid benar. Guru tidak mengklaim bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah yang sama dengannya. Kesalahan pemikiran anak diterima sebagai landasan kemajuan. Bukankah perkembangan semua ilmu mulai dari kesalahan? Wallahu A’lam Bi al-Showab.

[1] M. Noor Syaam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, (Surabaya : Usaha Nasional. 1988), hlm. 340.
[2] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 1997), hlm. 97.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hlm 133.
[5] Muhmida Yeli, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekanbaru: LSFK2P. 2005), hlm. 193.
[6] Ibid.
[7] George Counts adalah Profesor di Teacher College, Columbia University (1927 – 1950), ia juga senator Amerika Serikat pada tahun 1952 – 1960 dan mantan anggota aktif di National Committee of the American Civil Liberties Union pada tahun 1940 – 1973. lihat Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan ; Sebuah Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 153 – 154.
[8] Ibid, hlm. 153.
[9] Imam Barnadib, Kearah Perspektif Baru Pendiikan, (Jakarta DEPDIKBUD, 1988), hlm. 45.
[10] HAR. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, (Jakarta : Kompas, 2005), hlm 302.
[11] Paul Suoarno, dkk. Reformasi Pendidikan ; Sebuah Rekomendasi, (Yogyakarta : Kanisius, 2001) hlm. 15.
[12] Ruseffendi,. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. (Bandung: Tarsito. 1988), hlm. 132.
[13] Ratna Megawangidkk, Pendidikan Holistiok. (Jakarta : Indonesia Herritage Foundation. 2005) hlm. 45.
[14] Dahar, Teori-Teori Belajar. (Jakarta: Erlangga. 1989), hlm. 159.
[15] Ruseffendi, op cit, hlm. 133.
[16] Paul Suparno,. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. (Yogyakarta: Kanisius. 1996), hlm 7
[17] Poedjiadi, Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. (Bandung: Yayasan Cendrawasih. 1999), hlm. 61.
[18] Sebagaimana dikutip oleh C. Susan, dkk,. Learning to Teach in the Secondary School. (London: Routledge. 1995), hlm. 222.
[19] Hudoyo, H. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. (Malang: IKIP Malang. 1990), hlm 5.
[20] Lihat Ruseffendi, loc Cit.
[21] Pudjiadi, op cit, hlm. 62.
[22] R.M. Tanjung, Efektivitas pembelajaran Biologi yang Berdasarkan pada Prinsip Belajar Konstruktis. (Makalah Komprehensif. PPS IKIP Malang. Tidak Diterbitkan.1998). hlm. 7.
[23] Lihat Pudjiadi, op cit, hlm. 63.
[24] Di Indonesia juga mulai dikenalkan tentang bagaimana Rekontruksionisme ini menjadi basis pembelajaran bagi mata pelajaran Matematika. Lihat tulisan Sri Subarinah, “Pengembangan Rancangan Mata Kuliah Geometri Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Kontruktivisme Pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mataram” Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 052, Januari 2005.
[25] Lihat Djohar MS, Pendidikan Strategik ; Alternatif untuk pendidikan masa depan, (Yogyakarta : LESFI. 2003) hlm 91 – 92.