tag:blogger.com,1999:blog-38415613844614750042024-02-20T02:54:13.874-08:00Hanafi, MATaqdir akhir seluruh dunia Adalah mencapi Tempat pengampunan murni dan Rahmat terbaik (Ibn ’Arabi)
Mencintai Negara, Tanpa disertai mencintai kemanusiaan sama saja dengan menyembah berhala (Erich Fromm)Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-77012715093595013692008-05-13T22:09:00.001-07:002008-05-13T22:09:47.349-07:00<div align="center">Pendidikan Islam Dalam Ranah Filsafat<br />(Melihat Epistemologi Metafisis dalam Pendidikan Islam)</div><div align="center">Imam Hanafi, MA</div><div align="justify"><br /><br />Pengantar<br />Ketika kita berbicara tentang pendidikan, terutama ketika mengkaji cita-cita dan tujuan pendidikan. kurikulum, serta metode pembelajara, maka tidak akan terlepas dari filsafat. Karena filsafat menempati posisi sentral (The Mother of Science) dalam khasanah perkembangan ilmu pengetahuan umat manusia. Fakta secara implisit maupun eksplisit, menunjukkan bahwa setiap ide, keputusan, atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pendidikan, tidak akan terlepas dari filsafat, lebih-lebih ketika pendidikan berbicara mengenai hakikat manusia, baik jasmaniah maupun ruhaniyyah secara menyeluruh.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />John Dewe menegaskan bahwa yang menjadi landasan pemikiran pendidikan adalah filsafat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Hal ini, mungkin berangkat dari asumsi bahwa pada mulanya filsafatlah yan mencoba memformulasikan suatu sistem untuk menjawab persoalan-persoalan dalam pendidikan, terutama pada wilayah filosofis. Bahkan Iqbal sendiri mengamini ketika filsafat monadisme Leibnitz, berpengaruh luas pada pendidikan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Secara sederhana monadisme menganggap bahwa pusat kesadaran dan kekuatan spritual atau energi adalah monad. Setiap minad mempresentasikan satu mikrokosmos yang akan merefleksikan berbagai tingkat kesempurnaan yang terdapat dalam alam. Nah, alam yang terdiri dari monad-monad ini adalah hasil dari keharmonisan rencana Tuhan (Devine plan), tetapi manusia tidak bisa menerima beberapa realitas tertentu, seperti unsur kejahatan dan kematian yang sebenarnya bagian dari rencana Tuhan tersebut.<br />Jika, filsafat dipandang dan diperlukan untuk menyiapkan kerangka dasar (frame work) bagi pemantapan cita-cita atau tujuan pendidikan, kurikulum, serta metode pembelajaran, maka pandangan mengenai metafisika (yang merupakan kajian filsafat dalam dunia tasawuf) menjadi penting untuk dibahas. Oleh karena itu, alur dari tulisan ini nanti akan berujung pada pembahasan bagaimana epistemologi (pendidikan) Islam mengenai metafisika. Meskipun nanti akan membahas pula beberapa perkembangan pemikiran filsafat Barat mengenai pendidikan.<br />Perdebatan Epistemologis dalam Filsafat<br /><br />Epistemologi seringkali diartikan sebagai “the branch of philosopy which investigates the origins, structure, methods and validity of knowledge”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> Dengan kata lain, epistemologi merupakan bagian filsafat yang membahas secara mendalam mengenai hakikat dan kebenaran sebuah pengetahuan, serta metode dan sistem untuk memperoleh pengetahuan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br />Pada dasarnya, terdapat dua aliran besar dalam epistemologi. Pertama, Idealisme, yang kemudian diteruskan oleh kelompok rasionalisme. Aliran ini, sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, Matrealisme, justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a>. Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Matrealisme dimotori oleh Aristoteles.<br />Plato (427 – 347 SM) bersiteguh, bahwa ide adalah hakikat dari yang tampak. Karena, dia beranggapan bahwa sesuatu yang tampak (fenomena) selalu mengalami perubahan, padahal sesuatu yang hakiki semestinya harus kekal. Oleh karenanya, Ide ini bukan hanya sekedar gagasan yang ada pada pikiran an sich, melainkan sebagai sumber untuk membimbing pikiran manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Penegasan Plato ini, kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), yang sering disebut sebagai bapak aliran rasionalism sekaligus sebagai pelopor filsafat modern, dengan semboyan Cagito ergo sum. Titik tolak dari keharusan berfikir ini adalah keraguan. Untuk menghilangkan prasangka-prasangka sebelum terjadinya proses berfikir, agar ada jaminan bahwa hasil pemikiran itu benar, maka Descartes mengharuskan untuk menjadikan rasio atau pikiran sebagai satu-satunya instansi yang memberikan bimbingan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br />Sementara itu, Aristoteles (382 – 322 SM), yang merupakan murid dari Plato, menyanggah dengan tegas, teori yang diajukan oleh Plato tersebut. Menurutnya, ide-ide bawaan atau innate idea, sebenarnya tidak ada. Sungguhpun dia menyadari bahwa fenomena atau realitas itu selalu berubah, akan tetapi dengan penyelidikan dan pengamatan yang terus menerus terhadap benda-benda konkrit, maka akal akan dapat mengabstraksikan idea dari benda tersebut.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> Dari asumsi inilah, kemudian empirisme memperkuat tesis Aristoteles tersebut. Thomas Hobbes (1588 – 1679 M) misalnya, menganggap bahwa yang ada hanyalah bersifat bendawi, artinya keberadaan realitas benda tidak tergantung pada gagasan manusia.<br />Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah setiap kebenaran selalu didasarkan pada alam metafisis tidak dapat diterima. Sementara kebenaran agama, yang sumber kebenarannya didasarkan pada realitas metafisis, tidak mendapat porsi yang sempurna (untuk tidak mengatakan tidak sama sekali) dalam pandangan matrealisme-empiris tersebut.<br />Tarik menarik antara Idealisme dan Matrealisme ini, kemudian melahirkan dua corak pemikiran filsafat baru. Pertama, Rasionalisme Kritis, yang dipelopori oleh Imanuel Kant. Dia lalu menggabungkan pengetahuan a la rasionalisme dan empirisme dengan sintesis a priori. Kant membagi pengetahuan kepada empat tingkatan. Pertama, pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Kedua, pengetahuan yang didapat dari pengalaman (a posteriori). Ketiga, pengetahuan yang didapat melalui analisis (analisis). Keempat, pengetahuan yang didasarkan kepada hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang bisanya terpisah (sintesis). Jika rasionalisme hanya sampai pada pengetahuan analitis a priori, maka matrealisme hanya sampai pada analitis a posteriori. Oleh karena itu, menurut Kant, untuk mencapai pengetahuan yang universal dan hakiki harus dilakukan adalah sintesis a priori, yaitu proses penggabungan dari rasionalisme dan empirisme.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />Aliran Kedua, yang muncul sebagai kritik atas Idealisme dan Matrealisme adalah Intuisionisme, yang dipelopori oleh Henry Bergson. Aliran ini mencoba menengarai antara pengetahuan diskursif (knowledge of), yaitu pengetahuan yang didapat melalui simbol-simbol lahiriah dari realitas, dengan pengetahuan intuitif (knowledge about), yakni mpengetahuan yang diperoleh melalui usaha untuk mengatasi hal-hal yang bersifat lahiriah dari pengetahuan simbolis. Dalam khazanah pemikiran filsafat-sufistik, aliran ini banyak dikembangkan. Misalnya Iqbal, yang memposisikan intuisi sebagai salah satu sumber sentral dalam mencari hakikat kebenaran atau pengetahuan. Meskipun, dia sering merujuk pengertian intuisi ini pada Jalaluddin Rumi, tetapi pada kesempatan lain dia juga mengikuti Bergson tersebut, yang oleh dia disebut sebagai “a higher kind of intellect”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br />Dalam pendidikan, filsafat empirisme melahirkan filsafat Progresifisme.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a>. Salah satu tokohnya adalah John Locke yang terkenal dengan teori Tabula Rasa-nya. Kelompok ini beranggapan bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu sangat bergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak didik. Maka, aliran ini telah melahirkan beberapa pendekatan dalam pendidikan. Pertama, Asosionisme. Yaitu pengetahuan dalam pendidikan didapat melalui penginderaan dan pengamatan. Jadi proses pendidikan didasarkan pada upaya pemberian kesan-kesan terhadap indera. Kedua, Behaviorisme. Kelompok ini, meyakini bahwa pengetahuan akan kita dapat hanya dengan proses penanaman kondisi. Sehingga, teori ini sangat dikenal dengan stimulus dan respon. Ketiga, Koneksionisme, yang sebenarnya mempertegas teori Behaviorisme, tetapi dia lebih menekankan peran perasaan terhadap berhasil atau tidaknya proses belajar.<br />Sementara pandangan idealisme, berimplikasi pada pengunggulan terhadap dimensi ruhaniah manusia sebagai kunci kesadaran dalam memahami realitas.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> Selanjutnya, idealisme hanya mampu mengenal ruhani diri sendiri dalam memahami realitas lain. Maka, pendekatan yang dipakai biasanya hanya melalui intropeksi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />Dalam filosafat pendidikan ada beberapa aliran yang bertolak belakan dengan empirisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa setiap manusia memiliki pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk. Kemudian ada yang menganggap bahwa tidak seorang pun yang mempunyai potensi buruk. Inilah kemudian melahirkan Naturalisme dan Nativisme. Kedua pandangan ini justru menegasikan upaya pendidikan dalam melakukan proses pembelajaran. Karena, cukuplah seleksi alam yang akan menempa seseorang.<br />Selanjutnya, Abraham Maslow, mencoba mensinergikan antara Empirisme dan Naturalisme, yang kemudian dikenal dengan teori Konvergensi. Yaitu menganggap bahwa manusia berkembang atas pengaruh bakat-bakat atau kemampuan dasariah maupun dipengaruhi oleh lingkungan yang disengaja. Artinya, manusia ditentukan oleh factor dasar dan ajar. Keduanya saling bersinergi secara interaktif.<br /><br /><br /><br />Epistemologi Metafisis dalam Pendidikan Islam<br />Rasionalisme dalam Islam seringkali ditujukan pada Mu’tazilah sebagai aliran teologi yang paling banyak menggunakan rasio ketimbang aliran teologi lainnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> Bahkan dia menganggap bahwa semua ilmu harus sesuai dengan teori akal.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a> Dan dia sering digambarkan sebagai cikal-bakal kelompok modern dalam dunia pemikiran Islam.<br />Akan tetapi, baik Rasionalisme Kritis Kant maupun “Rasionalisme” Islam, mereka tidak pernah sampai pada keserbamungkinan metafisis.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> Sehingga proses transendensi manusia akan Tuhan yang metafisis, menjadi tidak bermakna. Hal ini, sangat berbeda dengan tradisi tasawuf yang menjadikan spritualitas sebagai proyeksi esoteris dalam mencari Kebenaran Ilahiyyah. Menurut tradisi tasawuf ini, Realitas yang dijadikan sebagai tujuan pencapaian kepuasan spritual, tidak dapat dijelaskan dalam bentuk apapun, dia tidak bergantung pada metode penginderaan maupun pikiran. Meskipun demikian, bukan berarti intuisi akan berpisah dengan pikiran. Tetapi justru berhubungan secara organik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a><br />Pembahasan mengenai metafisika merupakan ilmu pengetahuan tentang keabadian,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> yang sebenarnya adalah bagian dasar dari garis besar doktrin sufisme.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> Yaitu, sebuah sistem terpadu yang secara positif menerangkan hakikat Realitas yang sebenarnya, melalui penggabungan akal dan pengalaman “intuitif” dengan tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, yang terdapat pada suprarasional dan transempirikal kesadaran manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br />Kepastian tentang makna dan hakikat realitas yang hanya disandarkan pada analisis rasional, hanya mengantarkan kita pada spekulasi filosofis dan akan memberikan ending pada kajian mengenai alam sebagai sesuatu yang berahir pada alam itu sendiri. Sementara metafisika sufi membedakan antara esensi dan eksistensi pada dataran rasional, sedangkan pada dataran hakikat “Eksistensi (Wujud) itulah yaneg menjadi “esensi” segala sesuatu dan “esensi” atau “quiditas” (mahiyyah) pada hakikatnya merupakan sejumlah akibat dari Eksistensi”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a> Realitas itu adalah Eksistensi Mutlak yang tidak lain adalah Kebenaran (al-Haqq, Truth), salah satu aspek Allah swt.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a> Realitas wujud yang partikular ini, senantiasa ada disebabkan oleh dinamika Tuhan yang selalu berkesinambungan (God continuous dynamic) dan aktivitas Tuhan yang senantiasa menciptakan kembali (constant activity of re-creating) sesuatu yang serupa meskipun tidak sama. Wujud partikular ini, tentunya memiliki “watak” yang sangat berbeda dengan dengan karakter Eksistensi Mutlaq yang selamanya Qadim.<br />Dalam istilah Ibn ‘Arabi, proses ini sebagai Tanzih (transendensi) dan Tasybih (imanensi). Tanzih merupakan “pengkudusan” Dzat Ilahi yang Mutlak, sebagai Hakikat dari segala realitas. Dari-Nya semua wujud berasal dan kepada-Nya semua wujud kembali (inna lillahi wa inna ilaihi rajiun). Sementara Tasybih merupakan proses “penampakan” (tajalli) Tuhan melalui asma dan sifat-sifat Ilahi, yang tersimpan dalam alam semesta.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a><br />Ketika alam mampu menerima “penampakan” Tuhan dalam dirinya, sehingga menjadi cermin Tuhan dialam semesta ini, maka ia berposisi sebagai mikrocosmos atau jagad cilik. Dan hanya manusialah sebenarnya yang mampu menerima pelimpahan wewenang ke-khalifah-an Allah di alam semesta ini, sementara yang lain tidak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a> Dengan demikian, secara potensial manusia mampu merefleksikan atau memantulkan seluruh sifat Ilahi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a> Sebab secara spritual manusia manusia memiliki kelebihan dengan makhluq lain.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a><br />Konsep metafisis ini, jelas akan berpengaruh pada pola berfikir seseorang, dimana pengetahuan tentang Tuhan tidak hanya didasarkan pada wilayah kognitif semata, melainkan pengalaman intuitif dan kesadaran terhadap eksistensi diri dan dunia luar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Allah dalam Hadits Qudsinya “siapa yang mengetahui dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a> Atau dalam bahasa al-Qur’an, Allah menyebutkan Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami yang ada dilangit dan yang ada dalam diri mereka sendiri…..<a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a> Oleh karena itu, pengetahuan tentang Tuhan disebut sebagai ma’rifah (gnosis atau iluminasi spritual), bukan ‘ilm (sains ataupun pengetahuan yang bersumber pada rasio).<br />Tuhan dengan demikian, adalah dasar dari dan pencipta segala sesuatu, Yang Maha Tinggi dan Maha Berkuasa, yang senantiasa merealisasikan keinginan-Nya melalui penciptaan, penghancuran, dan penciptaan kembali secara terus menerus, sehingga terjadi pengejawantahan dan pengindividuasian berbagi kemungkinan yang terkandung dalam Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang tidak terbatas. Dari Hakikat Diri dan akibat aktivitas-Nya inilah, semua yang terkandung dialam ini memperoleh keadaan yang selalu berubah dan keadaan yang tetap atau permanen. Sayangnya, keperubahan dalam realitas manusiawi (melalui rasionalitasnya) dapat dengan “mudah” dikenali, tatapi wilayah kepermanenan yang menjadi realitas hakiki dari segala sesuatu hanya bisa dikenali melalui pengalaman intuisi.<br />Pada satu sisi, Tuhan Mutlak dengan segala ke-Esa-an dan Transendensi-Nya, sebagai wilayah yang berada pada limitasi yang tidak terbatas oleh pengetahuan alam dan manusia. Di sisi lain, Tuhan yang “menitahkan” potensi-potensi primordial kepada manusia, yang menampakkan asma-asma-Nya melalui penciptaan-Na, adalah realitas-realitas yang menjadi inter-relasi antara Dia dan ciptaan-Nya. Jika yang pertama hanya mampu didapat melalui pengalaman intuitif, maka yang kedua melalui akal dan usaha intelektual. Akan tetapi, akal butuh persiapan spritual untuk sampai kepada hakikat kebenaran tentang inter-relasi Tuhan dan segala ciptaan-Nya. Sehingga, wajar jika para pemikir Yunani, meskipun menguasai persoalan-persoalan intelektual secara mendalam, tetapi mereka belum sampai pada pengetahuan tentang inter-relasi Tuhan dan segala ciptaan-Nya.<br />Jika selama ini, ilmu pengetahuan lebih menekankan pada pendekatan indrawi dan rasionalitas, yang kemudian bermuara pada pengkayaan aspek materi,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn30" name="_ftnref30">[30]</a> maka lebih jauh al-Qur’an sebenarnya telah memperkenalkan pengetahuan mengenai metafisika, selain yang bersifat fisik. Tuhan dalam kaca mata Imanuel Kant misalnya, hanya bisa diketahui dengan melalui argumen moralitas (practical reason, akal praksis) bukan melalui penalaran kritis-analisis (akal murni, pure reason).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn31" name="_ftnref31">[31]</a> Dalam Islam, pengalaman yang mampu melahirkan prinsip-prinsip etika adalah dengan melalui “hati nurani”,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn32" name="_ftnref32">[32]</a> yaitu dengan melalui cara mengasah hati (riyadhah),<a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn33" name="_ftnref33">[33]</a> agar dapat merasakan dan menangkap pengetahuan yang terdalam. Inilah sebenarnya pengetahuan paripurna, yaitu pengetahuan mengenai Allah (dalam bahasa al-Attas Ma’rifah).<br />Realitas metafisis ini, bagaimanapun merupakan kajian ilmu pengetahuan yang universal. Karena ia akan berbicara tentang pengetahuan puncak, yang mencakup segala sesuatu, yang menjadikan kita kepada paradigma yang ilahiyyah, paradigma yang mengembalikan prinsip-prinsip etika pembelajaran pada Keesaan Allah. Sebuah paradigma yang mengunggulkan dimensi spritualitas, paradigma yang melatih kita untuk selalu mengasah dimensi ruhaniyyah kita. Inilah, yang akan mendorong Pendidikan pada semangat long life education, pendidikan sepanjang masa. Karena “pencarian kepada al-Haq” pada hakikatnya adalah proses tiada henti.<br />Spritualitas Sufistik ; Anasir Baru Bagi Pendidikan Islam<br />Istilah spritualitas sering diartikan “miring” oleh banyak kalangan, terutama para pemikir muslim, karena istilah ini dikonotasikan kepada tradisi spritualitas Kristen. Tetapi, menurut Nasr, istilah spritualitas menunjukkan makna ruhaniyyah dalam bahasa Arab, dan memiliki arti ma’nawiyyah dalam bahasa Persianya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn34" name="_ftnref34">[34]</a> Semua itu berarti menunjukkan hal-hal batin yang hakiki dan interioritas (bagian dalam), sebagai lawan dari “yang kasat mata”. Selain itu, spritualitas diartikan sebagai bentuk kesempurnaan moral dan kemurahan jiwa sejauh menyangkut umat manusia, sebagai entitas dari kedekatan manusia dengan Penciptanya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn35" name="_ftnref35">[35]</a> Meskipun demikian spritualitas tidak begitu saja dimaknai sesuatu yang bersifat esoteris, yang merupaka lawan dari eksoteris. Ia memang sangat dekat dengan esoteris (al-Batiniyyah), tapi ia juga sangat dekat dengan eksoteris Islam, seperti hukum, teologi, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan.<br />Esensi dari spritualitas Islam adalah realisasi dari ke-Esa-an Alla, mematuhi segala kehendak dan Hukum-Hukum Allah (sunnatullah), yang kesemuanya terkadung dalam al-Qur’an dengan segala sakramentalnya, melalui “bimbingan” dan teladan Nabi yang termanifestasi dalam al-Hadits dan al-Sunnah.<br />Dalam lintas spritualitas Islam, tradisi tasawuf atau sufi memiliki akar yang sangat mendasat dengan spritualitas Islam. Hal ini, dapat dilihat beberapa tulisan tentang spritualitas Islam, selalu merujuk pada khasanah tasawuf Islam. Di lihat dari proses penghambaan (abd al-Lah) mereka kepata Tuhannya, mereka sangat mengunggulkan kesucian dan kemuliaan hatinya. Sehingga mereka (selalu menklaim) mampu sedekat mungkin dengan Tuhan. Gambaran ketataatan, ini sebenarnya dapat kita lihat dalam al-Qur’an “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan semua orang yang memanggil (berdo’a) jika Aku di panggil. (QS. Al-Baqarah :186). Di ayat lain Allah pun menegaskan bahwa “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana kamu menghadap, disitu ada ‘wajah’ Tuhan. (QS. Al-Baqarah : 115). Itu semua adalah metafora dari keniscayaan seseorang akan kedekatannya denga Tuhan.<br />Salah satu hadits Qudsi (kudus, suci) yang dijadikan landasan oleh kaum Sufi adalah “hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekati dirinya kepada-Ku, melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia, dan apabila Kucintai dia, maka Akulah Pendengar dengan apa yang ia dengar, mata dengan apa yang ia melihat, dan tengan dengan apa yang ia pegang, serta kaki dengan apa ia berjalan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn36" name="_ftnref36">[36]</a> Hadis ini menunjukan akar spritual Islam yang bersumber langsung dari Tuhan. Inilah prototype kehidupan spritual dan kedalaman batin dengan Tuhan, yang menjadikan Nabi sebagai sumber spritualitas Islam, dan menjadikan Dzikr (mengingat Allah terus menerus) sebagai kesatuan dalam setiap ritme kehidupan. Disinilah urgensi tradisi sufi, untuk dijadikan sebagai basis spritualitas dalam pendidikan Islam.<br />Dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal, Danah Zohar dan Ian Marshal,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn37" name="_ftnref37">[37]</a> secara terbuka mengutip puisi Jalaludin al-Rumi untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn38" name="_ftnref38">[38]</a> Di sini, khazanah sufi telah mampu mempengaruhi tradisi psikologi Barat Modern, ditengah kegalauan mereka akan kedamaian spritual. Hal ini pula semakin mempertegas betapa kayanya khazanah tradisi spritualitas Islam.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn39" name="_ftnref39">[39]</a><br />Cerdas secara spritual, merupakan kecerdasan yang berada pada bagian diri yang terdalam, kedalaman hati (deep insight), pemahaman dan kearifan berfikir. Kecerdasan spritual juga akan memberikan kesadaran yang akan mendorong kita tidak saja untuk mengakui nilai-nilai “suci” tetapi juga secara kreatif akan menemukan nilai-nilai baru. Sehingga tidak heran jika Danah Zohar dan Ian Marshal, menyebut kecerdasan ini sebagai The Ultimate Intelligensi, puncak kecerdasan.<br />Kecerdasan ini, justru hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Sehingga basisnya adalah self its self (fithrah dalam Islam) dimana ia dituntut untuk mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu ia berasal, “perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjidatau dalam bahasa kaum Perennialis “alam surgawi”, dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Dengan konsep dasar (fithrah) yang termanifestasi dalam konsep “perjanjian primordial” inilah,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn40" name="_ftnref40">[40]</a> menjadi modal bagi manusia untuk menjadikan kebaikan (tauhid, keesaan Tuhan) sebagai basis bagi semua prilaku manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn41" name="_ftnref41">[41]</a> Oleh karena itu, manusia musti berada pada kondisi “bersih” secara spritual.<br />Menjadikan kecerdasan sufistik, sebagai basis pembelajaran dalam pendidikan Islam, merupakan sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia. Tidak heran jika kemudian, Kuntowijoyo pernah merekomendasikan untuk memasukkan khazanah sufi kedalam pendidikan Islam. Karena Sufi telah mampu mentransendensikan hodup manusia, juga kekayaan yang terkandung didalamnya, yang sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn42" name="_ftnref42">[42]</a> Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sastra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn43" name="_ftnref43">[43]</a> Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (Ilahi Rabbi).<br />Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.<br /><br />Bagian akhir<br />Ketika Rasulullah menerima Firman Tuhan yang pertama kali, Nabi pada saat itu sedang melakukan kontemplasi metafisis, karena kebobrokan mental manusia pada saat itu, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim as. ketika sedang bersepekulasi metafisis tentang hakikat Kebenaran (al-Haq). Maka dari proses seperti itulah sebenarnya, akan “menuntut” Allah untuk menunjukkan tanda-tanda-Nya, Vestigial Dei, di alam semesta, dan didalam jiwa manusia yang terdalam.<br />Proses ini, jelas membutuhkan sikap ketulusan dan ketundukan (istilah ini menurut Nurcholis Madjid semakna dengan kata Islam) kepada Allah. Karena seringkali manusia mengabaikan “rencana” Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai teomorfosis diri-Nya. Pengeejawantahan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia ini adalah misalnya Tuhan Hidup (al-Hayy), maka manusia diberi kehidupan. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang (al-Rahman dan al-Rahim), karena itu manusia diberi potensi pengasih dan penyayang. Meskipun kesempurnaan tetap milik-Nya yang Mutlak.<br />Oleh karena itu, semuanya butuh pensucian batin, memperkaya diri dengan kebersihan jiwa. Sebagaimana sebuah cermin, manusia barulah cermin kasar yang setiap saat perlu dibersihkan dan digosok, agar selalu bersih. Istilah ini sebenarnya mirip dengan konsep al-Iman Yazid wa Yanqush, dimana iman mengalami fluktuasi yang kadang baik (taqwa), dan kadang tidak (fujur). Setelah bersih, barulah ia mampu memantulkan sifat-sifat Ilahi tersebut secara sempurna, yang oleh tradisi sufi disebut sebagai al-Insan al-Kamil. Wallahu a’lam bi al-Shawab.<br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Wan Mohd. Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam (trj). (Bandung : Mizan. 2003) hlm 78.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Barnadib. Filsfat Pendidikan; Sistem dan Metode, (Yogyakarta : Andi Ofset. 1994) hlm. 15.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Hal ini dapat dilihat dari tulisan K. G. Saiyidain. Iqbal’s Education Philosophy, (Lahore : Muhammad asyraf. 1990)h. vii.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Mieska Muhammad Amin. Apistemologi Islam. (Jakarta : UI Press. 1983) hlm. 3.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Harold H. Titus, dkk. Persoalan-Persoalan Filsafat (trj). (Jakarta : Bulan Bintang. 1984) hlm. 187 – 188.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> L. O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, (tjm). (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1987) hlm 143.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta : Kanisius. 1992), hlm. 40.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Ibid, hlm. 22.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Ibid, hlm. 55<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> lihat Kattsoff. Op Cit, hlm 146. Bandingkan teori Ibn Taymiyyah dalam membentuk pengetahuan. Menurutnya, indera berperan sebagai sumber yang berhubungan langsung dengan materi yang pada akhirnya melahirkan hakikat objek. Maka, akal akan berperan sebagai perantara dalam menghubungkan satu objek dengan objek lainnya, yang dihasilkan oleh indra. Objek pertama yang langsung diamati oleh indra, oleh Ibn Taymiyyah disebut sebagai al-Syahid, dan objek yang kedua, al-Ghaib. Lihat Muhammad Husny al-Zayyin. Mantiq Ibn Taymiyyah wa Manhayjuh al-Fikr, (Baerut : al-Maktabah al-Islami. 1979) hlm. 158.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Muhammad Iqbal. The Recontruction of Religiou Thought in Islam. (New Delhi : Kitab Bhavan. 1981) hlm. 3.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Filsafat ini, sangat dipengaruhi oleh filsafat Pragmatisme, yang diperkenalkan oleh William James dan John Dewey. Pragmatisme sangat menitik beratkan pada manfaat hidup praktis. Lihat Harold H. Titus. Op Cit, hlm. 340 – 343.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta : media pratama. 1997) hlm. 84.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Ibid.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> lihat Harun Nasution, Islam Rasional ; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan. 1995) hlm, 129. bandingkan dengan pernyataan Kazuo Shimogaki, yang mengalamatkan aliran rasionalisme ini pada kelompok al-Yasr al-Islam (Kiri Islam). Lihat Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modenisme dan Postmodernisme ; Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, (trj), (Yogyakarta : LkiS. 1993) hlm 7.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Tentang asal-usul Mu’tazilah. Lihat A. Hanafi. Theologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang. 1989) hlm 157.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Salah satu pernyataan Kant adalah metafisik itu tidak mungkin. Lihat Muhammad Baqir ash-Shadr. Falsafatuna. (Bandung : Mizan. 1992) hlm. 29.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Danusiri. Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996), hlm. 34 – 35.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> SH. Nasr. Tasawuf Dulu dan Sekarang. (trj). (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1991) hlm 100.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Imam Chanafie al-Jauhari. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global. (Yogyakarta : Ittaqa Press. 1999) hlm. 108.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Bandingkan pengertian ini dengan Syed Naquib al-Attas dalam bukunya A Commentary on The Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kualalumpur : Kementrian Kebudayaan. 1986) hlm. 465.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Syed Naquib al-Attas. Intuition of Existence : A Fundamental Basis of Islamic Metaphisics. (Kualalumpur : ISTAC. 1990) hlm. 6.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> Ibid, hlm. 7.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> SH. Nasr. Three Muslim Sages. (Cambridge : Harvard University Press. 1969) hlm. 107.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Komaruddin Hidayat. “Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri” dalam Budhy-Munawar Rahman (ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta : Paramadina. 1995) hlm. 192.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> Lihat Mulyadi Kartanegara. Panorama Filsafat Islam. ; Sebuah Refleksi Aoutobiografi (Bandung : Mizan. 2002) hlm. 53.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> Ibid.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a> Hadist ini sering dikenal dengan man ‘arofa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref29" name="_ftn29">[29]</a> Q.S. al-Fushilat : 53.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref30" name="_ftn30">[30]</a> M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an ; Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan. 1996), hlm 63.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref31" name="_ftn31">[31]</a> Lihat kajian M. Amin Abdullah dalam disertasinya yang membahas tentang filsafat etika Imanual Kant ini, khususnya pada Bab II, sub A. “Kant’s Critique of Pure Reason”. M. Amin Abdullah. The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant (Ankara : Turkiye Diyanet Vakfi Yayinlari, 1992) hlm 47 – 51.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref32" name="_ftn32">[32]</a> Istilah “hati nurani” ini sebenarnya mengandung makna yang sangat esensial, yaitu esensi kebaikan yang disebabkan oleh sesuatu dalam diri manusia yang bersifat cahaya (nurani), yang akan membimbing seseorang kearah kebaikan. Ini adalah kelanjutan dari ayat Qur’an yang menyebutkan “Maka luruskanlah dirimu kepada agama (yang benar), mengikuti kecendrungan kepada kebenaran, sesuai dengan fithrah Allah yang telah menciptakan manusia dalam fithrah itu. Tidak boleh ada perubahan dalam sesuatu yang diciptakan (ditetapkan) Tuhan. Itulah tujuan agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. al-Rum : 30). Fithra atau kejadian asal yang suci pada diri manusia itulah yang memberinya “kemampuan bawaan dari lahir dan intuisi untuk mengetahui benar salah, sejati dan palsu, dan dengan begitu akan mampu merasakan kehadiran Tuhan dan keesaan-Nya. Lebih jauh lihat Muhammad Asad. The Message of The Qur’an. (Gibraltar : Dar al-Andalus. 1980), khususnya catatan kaki nomor 27.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref33" name="_ftn33">[33]</a> al-Syaibani membagi sumber pokok pengetauan menjadi tiga, Indera, akal, intuisi, ilmu, dan wahyu. Nah, intuisi inilah yang mampu memberikan arah baru akan sentuhan rasa dan emosi, yang akan menjadikan kita lebih cerdas dalam beriteraksi dengan sesama maupun kepada Tuhan. Omar Muhammad al-Taumi al-Syaukani, Falsafah Pendidikan Islam, (trj). (Jakarta : Bulan Bintang. 1979) hlm. 271 – 176.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref34" name="_ftn34">[34]</a> SH. Nasr. Spritualitas dan Sni dalam Islam. (trj) (Bandung : Mizan. 1993) hlm. 16. terutama pada footnote 9.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref35" name="_ftn35">[35]</a> Bandingkan dengan SH. Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis ; Spritualitas Islam, (trj), (Bandung : Mizan. 2002) hlm xxii.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref36" name="_ftn36">[36]</a> Hadits ini penulis kutip dari buku SH. Nasr. Islam ; Antara Cita dan Fakta, (trj). (Yogyakarta : Pusaka. 2001) hlm 57.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref37" name="_ftn37">[37]</a> Danah Zohar dan Ian Marshal. SQ ; Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk memahami Hidup (trj). (Bandung : Mizan. 2000)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref38" name="_ftn38">[38]</a> Teks lengkapnya baca halaman 9.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref39" name="_ftn39">[39]</a> Lihatlah misalnya pada abad III – VII H, kreatifitas dan dinamika sufistik telah mampu memberikan inspirasi pada pemikir-pemikir, baik dibidang filsafat, kalam, dan hukum. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Tufail, Suhrawardi, al-Ghazali, bahkan tokoh-tokoh ahli kimia dan fisika ; al-Iraqi, Jubir Ibn Hayyan (penggali pertama ilmu aljabar), dan al-Razi (ahli Ilmu Optik) adalah orang-orang sufi. Begitu pula Nash al-Din at-Thusi dan Ibn Bana’ al-Marakusyi. Bahkan spritualitas Sufistik telah mempengaruhi peradaban materal. Hampir setiap bentuk seni mulai puisi, sajak cerita-cerita,sampai pada bentuk arsitektur ; masjid, Istana memperlihatkan keterpaduan dengan sufi. Pengaruh ini dapat dilihat dalam buku SH. Nasr. Spritualitas dan Seni Islam. (Bandung : Mizan. 1993).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref40" name="_ftn40">[40]</a> Yang dimaksud dengan “perjanjian primordial” ini adalah suatu ikatan janji yang terjadi pada zaman azali dengan Tuhan dan manusia, bahwa manusia primordial mengakui Dia sebagai Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam ayat “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari tulang selangkangan mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri, (dan Allah berkata) “bukankah Aku adalah Tuhanmu sekalian?”, mereka semua menjawab “ya, benar, kami semua menjadi saksi”..(QS. Al-A’raf : 172).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref41" name="_ftn41">[41]</a> Munzir Hitami. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. (Pekanbaru : Infinite. 2004) hlm 11 – 14.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref42" name="_ftn42">[42]</a> Kuntowijoyo menyebutkan ; “Substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), Rajâ’ (sangat berharap), Qonâ’ah (menerima pemberian Allah), Tawakkal ((pasrah), Syukûr, Ikhlâs dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct theaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh Nabi, para Shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan, demikian juga sejarah, mitos dan sastra”. Lihat Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref43" name="_ftn43">[43]</a> Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, hlm 184.</div>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-88270305516657728882008-05-13T22:05:00.000-07:002008-05-13T22:07:09.878-07:00<div align="center"><span style="color:#666600;"><strong>Kebijakan Pemerintah Terhadap Penetapan Kurikulum Nasional;<br /><em>Analisis Atas Kurikulum Muatan Lokal</em></strong></span></div><div align="center"><strong><span style="color:#666600;">Imam Hanafi, MA</span></strong></div><span style="color:#666600;"><div align="justify"><br /><br />Pengantar<br />Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan, yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan pada dasarnya juga “belajar”, tetapi lebih ditentukan oleh instink. Sedangkan bagi manusia, belajar berarti sebuah rangkaian kegiatan atau aktifitas menuju “pendewasaan” guna menuju kehidupan yang lebih bermakna.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn1" name="_ftnref1"><span style="color:#666600;">[1]</span></a><br /><span style="color:#666600;">Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus; Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat yang akan datang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan oleh pendidikan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakat dan peradaban.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn2" name="_ftnref2"><span style="color:#666600;">[2]</span></a><br /><span style="color:#666600;">Nah, kurikulum menjadi sangat penting dan menempati posisi yang cukup signifikan dalam pendidikan, sebab sangat berkaitan dengan penentuan arah, isi (content), dan proses pendidikan yang pada ahirnya sangat menentukan kualifikasi lulusan sebuah lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan, baik dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Semua orang sangat berkepentingan dengan kurikulum, sebab ketika kita berposisi sebagai orang tua, sebagai warga masyarakat, sebagai pemimpin, akan selalu mengharapkan kepada anak-anak muda kita untuk menjadi tumbuh dan berkembang yang lebih baik, lebih cerdas, lebih berkemampuan. Makalah berikut akan mencoba mendiskusikan tentang “perjalanan” kurikulum di Indonesia, khususnya pada kebijakan pemerintah tentang kurikulum Muatan Lokal.<br />Kurikulum dan Pendidikan ; Sebuah Perspektif<br />Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dari seluruh kegiatan pendidikan. Bahkan ada yang berpendapan bahwa kurikulum ini merupakan “rel” yang sangat menentukan akan kemana pendidikan diarahkan. Kurikulum menentukan jenis dan kuantitas pengetahuan serta pengalaman yang memungkinkan seorang lulusan memiliki wawasan global.<br />Meskipun yang dimaksud kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn3" name="_ftnref3"><span style="color:#666600;">[3]</span></a><span style="color:#666600;">. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan sekedar rencana pelajaran. Akan tetapi kurikulum merupakan semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn4" name="_ftnref4"><span style="color:#666600;">[4]</span></a><span style="color:#666600;"> Dengan kata lain, kurikulum mestinya mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun jam diluar jam belajar, sepanjang itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu, muncullah istilah extra-kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan diluar jam belajar dalam kelas.<br />Akan tetapi yang lebih penting dalam pengembangan sebuah kurikulum adalah sarana modern yang dapat menunjang terjadinya proses pembelajaran yang optimal. Kemudian lingkungan hidup sekolah, perpustakaan umum, museum, kegiatan-kegiatan budaya yang beraneka ragam, merupakan sarana penunjang dalam proses pendidikan </span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn5" name="_ftnref5"><span style="color:#666600;">[5]</span></a><br /><span style="color:#666600;">Jika di Irlandia, pemerintahnya menyediakan sarana dan menanggung gaji dari para gurunya baik swasta maupun negeri, maka hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia yang lebih menekankan pada pengalihan tanggungjawab ke pihak sekolah dalam hal “pelaksanaan” kurikulum saja. Sekolah hanya menjadi “pesuruh” dari ide-ide “kepentingan” politik.<br />Masa depan yang dibawa oleh proses globalisasi adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan Ilmu pengetahuan (knowledge based socity). Masyarakat yang didasarkan pada penemuan-penemuan yang meningkatkan taraf hidup manusia. Maka sikap inovatif merupakan syarat yang perlu dikembangkan dalam pendidikan modern. Dengan demikian, proses pengembangan kurikulum mestinya diarahkan pada sikap-sikap inovatif, sikap meneliti, sikap yang selalu “meragukan” penemuan-penemuan hari ini, dan mengikhtiarkan penemuan-penemuan yang lebih baik.<br />Perubahan Kurikulum yang ada di Indonesia, dari Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah memnberikan implikasi yang cukup signifakan dalam perjalanan pendidikan di Indonesia. Secara paradigmatic, perubahan yang terjadi adalah dari paradigma sentarlistik menjadi desentralistik, dari berbasis content menjadi berbasis competent, dari teacher-centered teaching menjadi student-centered teaching, dan dari parsialistik menjadi holistic, yaitu keterpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.<br />Perubahan-perubahan tersebut, memunculkan sikap optimistic pada sebagian pihak, tetapi ada juga yang merasa pesimis, karena khawatir pelaksanaan KBK ini hanya berhenti pada tataran “nama”, sementara “isinya” masih “menyusu” pada kurikulum 1994. Kekhawatiran ini wajar jika dihadapkan pada sebuah realitas bahwa model pembelajaran yang berlangsung masih menekankan pada pola-pola lama, karena meskipun Kurikulumnya baru tetapi orang-orangnya masih itu-itu juga dan yang diajarkan masih itu-itu juga. Margaret Mead pernah menuliskan sesuatu yang sangat menyakitkan “Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, oleh karenanya ia melarangku untuk sekolah”.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn6" name="_ftnref6"><span style="color:#666600;">[6]</span></a><br /><span style="color:#666600;">Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah mengembangkan aktivitas dan kreatifitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Keberhasilan dalam proses pembelajaran ini dapat diukur sejauhmana pendidik mampu menciptakan iklim yang “memerdekakan”.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn7" name="_ftnref7"><span style="color:#666600;">[7]</span></a><span style="color:#666600;"> Suasana pembelajaran kita, masih jauh darj target tersebut. Peserta didik masih dihantui oleh berbagai situasi ancaman, situasi emosional dam otoriter pendidik, situasi ketatnya jam belajar, dan seterusnya.<br />Kritik yang diajukan terhadap kurikulum 1975, 1984, dan 1994 yang ada dinegara kita adalah mata pelajaran dan materi kurikulum dirasa terlalu padat. Akibatnya, peserta didik terlalu berat menerima beban materi yang diajarkan. Padatnya kurikulum berimplikasi pada padatnya informasi pada buku teks. Kurikulum yang begitu sarat materi, mendorong guru semakin “bernafsu” untuk membahas habis seluruh pokok bahasan dengan tatap muka di kelas.<br />Pada proses selanjutnya, materi-materi pelajaran di “sesakkan” sedemikian rupa ke otak-otak peserta didik. Kesadaran untuk maju dicoba melalui media pengembangan dan pola-pola penciptaan keresahan, ancaman, dan bahkan hukuman oleh guru. Sekolah, pada akhirnya telah kehilangan ruh kanalisasi diri, etos kesepahaman, ekspresi dan aktualisasi pemikiran. Kesenangan pada proses pembelajaran, berubah “drastis” menjadi kebingungan, kenyamanan belajar pada akhirnya tidak lagi ditemukan di kelas. Inilah yang menjadi kegelisahan oleh para pemikir pendidikan, Kurt Singger menyebutnya sebagai “Pedagogi hitam”. Sinisme senada juga muncul dari Ivan Illich, yang menyuarakan proyek “deschooling sociaty” (masyarakat bebas dari sekolah). Kemudian Everett Reimer, meneriakkan “the end of school” , Paulo Friere dengan “pedagogy of the opressed”-nya, serta “the end of education” dari ‘celotehan’ Neill Postman.<br />Usaha sekolah dalam melakukan proses pembelajaran, juga sangat mengunggulkan supremasi kognisi. Sehingga, orientasi pembelajarannya adalah bagaimana guru berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan seluruh bahan atau materi, demi mengejar ulangan umum bersama, demi mencapai nilai yang tinggi dalam menghadapi ujian akhir atau bersaing dalam menempuh ujian masuk Perguruan Tinggi. Maka, pendidikan afeksi dan kompetensi peserta didik dalam melakukan interaksi antar sesama, sungguh menjadi terabaikan.<br />Sementara itu didalam dunia yang semakin terbuka saat ini, pengalaman manusia adalah tanpa batas, tanpa akhir dan semakin terakumulasi dimasa depan dalam dunia yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based socity). Adalah sangat tidak mungkin merumuskan semua pengalaman manusia, baik yang telah lalu maupun yang akan datang dalam kurikulum formal. Oleh karena itu, didalam pendidikan formal (sekolah) tidaklah mungkin diajarkan berbagai kompetensi atau “ranah” dalam pendidikan di sekolah, yang akan digunakan oleh peserta didik dalam menghadapi kehidupan akan datang.<br />Kehidupan itu sendiri, pada hakikatnya kehidupan yang terbuka, karenanya kompetensi yang saat ini di agung-agungkan, pada suatu saat akan usang (entropy) untuk hari esok. Yang perlu adalah pengenalan dan penguasaan terhadap berbagai dasar ketrampilan hidup yang telah terakumulasi didalam kebudayaan manusia dan yang diperkirakan akan memberikan manfaat bagi kehidupan untuk masa depan yang belum menentu.<br />Dengan demikian, kurikulum bukanlah untuk mempersiapkan penguasaan ketrampilan untuk hidup, melainkan dasar-dasar ketrampilan untuk menghadapi hidup yang terbuka. Kurikulum berdasarkan kompetensi (KBK) ataupun kurikulum untuk kehidupan (curriculum for life) yang berkembang di Indonesia saat ini, merupakan sebuah keniscayaan. Karena kurikulum disusun untuk mempersiapkan peserta didik menuju kearah kompetensi kehidupan yang terbuka.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn8" name="_ftnref8"><span style="color:#666600;">[8]</span></a><span style="color:#666600;"><br /><br />Kebijakan Kurikulum Muatan Lokal<br />Lima Sekolah Menengah Pertama (SMP) penyelenggara terbatas (minipiloting) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Jawa Tengah, mengeluhkan beberapa persoalan berkait dengan penyelenggaraan KBK. Persoalan utama yang dihadapi adalah struktur kurikulum. Perubahan jumlah jam pelajaran dari 45 jam pelajaran pada Kurikulum 1994/1999 menjadi 38 jam pada Kurikulum 2004 sangat memengaruhi pengaturan jadwal.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn9" name="_ftnref9"><span style="color:#666600;">[9]</span></a><br /><span style="color:#666600;">Persoalan Pertama adalah penentuan muatan lokal (mulok). Jam pelajaran mulok yang berkurang dari empat jam menjadi tiga jam pelajaran, membawa dampak pada pengaturan penjadwalan. Akibatnya pada beberapa sekolah terdapat guru mulok yang terpaksa 'nganggur' karena jamnya dipangkas..<br />Persoalan Kedua, model penilaian. Di dalam KBK penilaian tidak dilakukan pada ranah pengetahuan (kognitif) saja, melainkan juga pada sikap (afektif) dan tindakan (psikomotorik). Persoalannya, para guru masih belum terbiasa dengan pola penilaian yang semacam itu. Guru masih mengalami kerepotan ketika harus menilai pada tiga ranah itu, ditambah dengan komentar perihal kelebihan dan kekurangan siswa.<br />Persoalan Ketiga, soal sarana/prasarana yang tersedia di sekolah. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai. Padahal, beberapa mata pelajaran semacam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menuntut adanya komputer di Sekolah. Belum lagi, penyelenggaraan pembelajaran di luar kelas (outdoor) yang menuntut biaya operasional lebih besar.<br />Persoalan selanjutnya, masih adanya wacana ulangan umum bersama pada beberapa daerah untuk menentukan nilai akhir siswa. Menurut Muslikh, implementasi perubahan orientasi dari materi ke proses, membuat ulangan umum bersama yang hanya menitikberatkan pada aspek kognisi menjadi tidak relevan.<br />Terlepas dari beberapa persoalan diatas, Kurikulum Muatan Lokal pada kasus diatas justru mengalami pengurangan jam pelajaran, sementara implikasi dari Undang-Undang tentang upaya desentralisasi atau otonomi kurikulum adalah pemberian keluasan pihak Sekolah untuk mengelola dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri, termasuk Kurikulum Muatan Lokal.<br />Persoalan yang sering muncul dalam pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal adalah pemahaman bahwa pengembangan Kurikulum Muatan Lokal seringkali dimaknai dengan pemberian materi bahasa daerah an sich.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn10" name="_ftnref10"><span style="color:#666600;">[10]</span></a><span style="color:#666600;"> Padahal yang sangat perlu dikembangkan dalam Kurikulum Muatan Lokal adalah Daerah mestinya mengupayakan buku-buku penunjang yang bertujuan menjelaskan materi pelajaran sesuai situasi alam dan sosial-budaya setempat. Dengan demikian siswa bisa memahami pelajaran sesuai situasi yang dilihatnya sehari-hari. Karena substansi dari pengembangan Kurikulum Muatan Lokal adalah upaya untuk membekali pengetahuan dan keterampilan kepada siswa sesuai kondisi sumber daya alam dan situasi sosial ekonomi setempat.<br />Kurikulum 1994 memberikan alokasi waktu 20 persen untuk pengembangan kurikulum muatan lokal. Tetapi ketika Kanwil P dan K di masing-masing daerah kurang mampu dalam menjabarkan konsep itu, maka pelaksanaan kurikulum muatan lokal menjadi semakin “amburadul”. Hal ini disebabkan ketiadaan keberanian bagi pimpinan sekolah untuk berpendapat lain. Di samping kurang peka dalam membaca potensi masing-masing daerah, pihak kanwil juga mau gampangnya saja, dengan melakukan penyeragaman agar mudah mengontrol. Sedangkan bagi guru, karena tidak tahu, malas belajar, dan takut menanggung risiko, mereka jalani saja apa yang sudah dijuklakkan dan dijukniskan. Tidak heran bila Prof. Dr. Fauzia Hafidz, yang terlibat dalam penggodokan kurikulum muatan lokal yang sungguh beda dengan konsep semula, yaitu bagaimana mengembangkan potensi lokal tempat murid berada, kecewa. Lebih mengecewakan lagi bila materi pelajaran itu dipakai sebagai dasar untuk kenaikan kelas atau kelulusan.<br />Padahal apresiasi terhadap mapel bahasa Daerah tersebut akan segera berubah dengan adanya ketentuan bahwa bahasa Daerah bukanlah mapel muatan lokal. Ketentuan pertama adalah UU RI No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan 8 Juli 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 No 78). Pada Pasal 37 ayat (1) dinyatakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga,keterampilan/ kejuruan, dan muatan lokal.<br />Selanjutnya dalam Penjelasan atas UU RI No 20 Th 2003 tersebut (Tambahan Lembaran Negara RI Th 2003 No 4301) khususnya Pasal 37 ayat (1) tentang butir bahasa dijelaskan sebagai berikut: Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: satu, bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional. Dua, bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik. Tiga, bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global.<br />Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa daerah ; Satu, merupakan mapel wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dua, memiliki kedudukan yang sama dengan mapel bahasa nasional dan bahasa asing. Tiga, memiliki fungsi yang sama pentingnya dengan fungsi bahasa nasional dan bahasa asing.<br />Dengan uraian di atas semakin jelas bahwa mapel bahasa Daerah merupakan mapel wajib di sekolah dasar dan menengah, nilainya dalam rapor memiliki kedudukan yang sama dengan nilai mapel bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (bahasa asing lainnya), serta mapel bahasa Daerah bukan mulok yang patut direndahkan atau disepelekan.<br />Yang menjadi persoalan kemudaian adalah materi kurikulum yang mana yang termasuk mulok? Penjelasan UU RI No 20 Th 2003 Pasal 37 ayat (1) - yang tercantum dalam Tambahan Lembaran Negara RI Th 2003 No 4301 - menyatakan bahwa bahan kajian muatan lokal dimaksudkan untuk membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.<br />Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mapel yang disebut mulok adalah mapel yang memuat bahan kajian khas potensi atau identitas daerah. Misalnya, keterampilan ukir (mulok Kabupaten Jepara). Keterampilan Batik (mulok Kabupaten/ Kota Pekalongan dan Kota Surakarta). Kerajinan kuningan (mulok Juwana/ Kab. Pati) dsb.<br />Oleh sebab itulah maka Dachnel pernah menyarankan, bahwa muatan kurikulum dalam pengadaan buku ikut disesuaikan. Misalnya, kurikulum untuk sekolah dasar (SD), 80 persen muatan lokal, 20 persen skala nasional. Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP)-sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), 50 persen muatan lokal, 50 muatan nasional. Muatan lokal untuk SD harus dominan, karena alam pikiran murid SD masih lebih terbatas pada lingkungan alam sekitarnya. Sementara untuk SLTP-SLTA, muatan lokal dan nasional sudah harus seimbang, karena alam pikirannya sudah lebih luas, baik skala lokal dan nasional.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn11" name="_ftnref11"><span style="color:#666600;">[11]</span></a><br /><span style="color:#666600;"><br />KBK dan Tantangan Muatan Lokal ; Menimbang KTSP<br />Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di SMP mulai tahun ini membawa konsekuensi pada perubahan struktur program pengajaran. Jika semula alokasi jam pelajaran 44 x 45 menit, sekarang menjadi 38 x 45 menit per minggu. Perinciannya, 36 jam untuk kurikulum nasional, 2 jam untuk muatan lokal. Dari sinilah persoalan baru muncul. Dengan pengurangan alokasi waktu, mata pelajaran yang tergolong mutan lokal terkena dampaknya. Karena alokasi waktunya berkurang, guru-gurunya terpaksa atau dipaksa dialihfungsikan.<br />Sekadar mengingatkan, Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar, penilaian berbasis kelas, kegiatan belajar-mengajar, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn12" name="_ftnref12"><span style="color:#666600;">[12]</span></a><br /><span style="color:#666600;">Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan penjabaran UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena itu, lantas ada perubahan pengelolaan pendidikan dari sentralistik ke desentralistik. Desentralistik pengelolaan pendidikan dituangkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003.<br />Kurikulum perlu didesentralisasikan, terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaan lewat penyesuaian dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Apabila pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diperhatikan secara saksama, muatan kurikulum nasional masih sangat dominan. Sebab, secara kuantitatif, 36 jam untuk kurikulum nasional, sedangkan muatan lokal hanya mendapat porsi 2 jam.<br />Jika muatan lokal dianggap sebagai wahana atau sarana bagi pengembangan potensi daerah, maka jelas alokasi waktu pembelajaran itu sangat kurang. Semestinya pengembangan potensi-potensi daerah dalam bidang pendidikan dialokasikan pada mata pelajaran muatan lokal. Penerapan KBK hendaknya jangan sampai menyimpang dari pelaksanaan otonomi daerah, terutama dalam bidang pendidikan.<br />Oleh sebab itu, lahirlah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan hasil penyempurnaan dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang menekankan pada standar isi dan standar kompetensi lulusan. Kelebihan KTSP adalah memberi alokasi waktu pada kegiatan pengembangan diri siswa. Siswa tidak melulu mengenal teori, tetapi diajak untuk terlibat dalam sebuah proses pengalaman belajar siswa dan pengembangan potensi masing-masing daerah. Pada bagian inilah, Kota Bandung akan mencoba mengembangkan alokasi waktu pengembangan diri yang tertuang dalam KTSP untuk pelajaran muatan lokal (mulok) seperti pendidikan lingkungan hidup (PLH) yang kini sedang dibicarakan. Karena Pencapaian akhir dari PLH adalah melahirkan siswa yang sadar dan berperilaku bersih, tertib, dan mengutamakan keindahan lingkungan.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn13" name="_ftnref13"><span style="color:#666600;">[13]</span></a><br /><span style="color:#666600;">Indikator pencapaian hasil KTSP menurut, dapat dilihat dari hasil akhir (lulusan) kurikulum tersebut saat mengikuti ujian nasional (UN). Sedangkan untuk dapat melihat sejauhmana tingkat keberhasilan pelaksanaan KTSP sebagai kurikulum baru dapat dilihat pada 3-5 tahun mendatang. Sebab pelaksanaan KTSP hanya dilakukan di kelas 1-4 SD dan kelas 3 SMP/SMA/SMK, sedangkan lulusan tahun depan masih menggunakan kurikulum KBK tahun 2004.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn14" name="_ftnref14"><span style="color:#666600;">[14]</span></a><br /><span style="color:#666600;"><br />Penutup<br /> Tahun ajaran 2006/2007 ini muncul kurikulum baru yaitu KTSP (kurikulum tingkat satuan pelajaran). KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dibuat oleh sekolah yang mengacu pada standar isi yang diterbitkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang dilaksanakan oleh setiap pendidikan berdasarkan potensi dan kebutuhan satuan pendidikan di daerah masing-masing.<br />Dalam kurikulum baru ini, pihak sekolah memiliki hak dan wewenang membuat dan mengembangkan kurikulum tersebut. Hal ini tentu para guru yang harus aktif dan kreatif dalam menentukan langkah-langkah pembuatan dan pengembangan kurikulum tersebut. Karena dalam KTSP, guru yang berhak sepenuhnya menentukan penilaian kepada anak didik, bukan pihak-pihak yang tidak tahu tentang kualitas kemampuan anak didik (student's skill quality).<br />Meskipun KTSP tidak jauh berbeda dengan kurikulum 2004, tapi hal ini berdampak pada metode pengajaran dan penyampaian materi yang sulit untuk mencapai tahap kesempurnaan. Hal ini disebabkan sering berubahnya kurikulum, sedangkan implementasi kurikulum lama belum sepenuhnya dimengerti dan dipahami, apalagi dilaksanakan dengan baik.<br />Oleh sebab itulah, pemerintah harus secara bijak menentukan arah pendidikan ini agar murid sebagai masyarakat yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak bingung dengan sistem ataupun program yang sudah ditetapkan pemerintah. Permasalahannya, bagaimana mencari celah-celah dalam pelaksanaan Kurikulum tersebut untuk mampu mengembangkan potensi daerah pada peserta didik, tanpa harus bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan kurikulum baru itu. Itu tantangan mendesak yang harus segera dijawab poleh para stakeholders pendidikan……<br /><br /><br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref1" name="_ftn1"><span style="color:#666600;">[1]</span></a><span style="color:#666600;"> M. Rusli Karim. “Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Tiara Wacana., 1991), hlm. 27.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref2" name="_ftn2"><span style="color:#666600;">[2]</span></a><span style="color:#666600;"> Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung : Al Maarif. 1980), hlm. 90.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref3" name="_ftn3"><span style="color:#666600;">[3]</span></a><span style="color:#666600;"> Badri Yatim, dkk.. Sejarah Perkembangan Madrasah, (Jakarta : Depag. 2000), hlm. 77.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref4" name="_ftn4"><span style="color:#666600;">[4]</span></a><span style="color:#666600;"> Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosdakarya . 1992), hlm. 53.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref5" name="_ftn5"><span style="color:#666600;">[5]</span></a><span style="color:#666600;"> H. A. R. Tilaar, 2005. Manifesto Pendidikan Nasional ; Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, (Jakarta : Kompas. 2005), hlm. 116 – 119.<br /><br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref6" name="_ftn6"><span style="color:#666600;">[6]</span></a><span style="color:#666600;"> J. C. Tukiman Taruna, “Pedas dan Pakem ; Komitmen dan Revolusi Pembelajaran” dalam Basis No, 07 – 08, Tahun ke-51, Juli – Agustus 2002, hlm. 68.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref7" name="_ftn7"><span style="color:#666600;">[7]</span></a><span style="color:#666600;"> Djohar, Pendidikan Strategi ; Alternatif untuk Pendidikan masa Depan,(Yogyakarta : LESDI. 2003), hlm. 153.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref8" name="_ftn8"><span style="color:#666600;">[8]</span></a><span style="color:#666600;"> J. Dross. Dari KBK Hingga Ke MBS, (Jakarta : Kompas, 2005), hlm. 57.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref9" name="_ftn9"><span style="color:#666600;">[9]</span></a><span style="color:#666600;"> Kompas, Kamis 26 Agustus 2004.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref10" name="_ftn10"><span style="color:#666600;">[10]</span></a><span style="color:#666600;"> Lihat hasil penelusuran Kompas, Kamis, 7 November 2002 yang diuungkapkan oleh Kepala Bidang Pengembangan Kurikulum Pendidikan Guru dan Perguruan Tinggi bahwa dengan alasan kekurangan buku-buku, seringkali mulok dimaknai dengan pengajaran bahasa Daerah. Lihat juga Kekecewaan Darmaningtyas atas kebijakan dari masing-masing Daerah, terutama di Daerah DIY yang menjadikan Bahasa Jawa dan Karawitan sebagai Mulok di sekolah-sekolah, lalu di Bekasi yang mengajarkan Bahasa Sunda pada Muatan Lokal.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref11" name="_ftn11"><span style="color:#666600;">[11]</span></a><span style="color:#666600;"> Dachnel Kamars adalah pakar manajemen pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP). Lihat Kompas, Senin 11 November 2002.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref12" name="_ftn12"><span style="color:#666600;">[12]</span></a><span style="color:#666600;"> Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional, 2003.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref13" name="_ftn13"><span style="color:#666600;">[13]</span></a><span style="color:#666600;"> Pikiran Rakyat, Senin, 30 Oktober 2006<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref14" name="_ftn14"><span style="color:#666600;">[14]</span></a><span style="color:#666600;"> Pikiran Rakyat, Senin, 30 Oktober 2006</span></div>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-84718578751229534632008-05-13T21:59:00.001-07:002008-05-13T22:01:35.770-07:00Paradigma Pembelajaran Rekontruksionisme<div align="center"><span style="color:#006600;">Paradigma Pembelajaran Rekontruksionisme<br />Imam Hanafi, MA</span></div><div align="justify"><br /><span style="color:#006600;"><br />Pendahuluan<br />Pendidikan pada hakikatnya adalah membantu peserta didik untuk menjadi generasi yang utuh, yang pandai dalam bidang pengetahuan, bermoral, berbudi luhur, peka terhadap orang lain, beriman, dan lainnya. Pendidikan juga membawa misi untuk melibatkan peserta didik pada persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Rasanya sudah sangat sering kita dengarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pendidikan nasional. Kata-kata ekstrem pun sering terluapkan; konon pendidikan nasional Indonesia telah gagal menjalankan misinya untuk membentuk manusia-manusia yang cakap dan berkepribadian serta membangun bangsa yang berkarakter. Konon pendidikan hanya bisa menghasilkan koruptor, kolutor, provokator, dan manusia-manusia tak berbudi lainnya.<br />Ekstremitas tersebut tentu tidak sepenuhnya benar meskipun ada bagian yang tidak salah. Adalah benar bahwa sebagian koruptor, kolutor, provokator serta manusia-manusia yang tidak berbudi lainnya adalah orang-orang yang berpendidikan, bahkan sebagian di antaranya berpendidikan tinggi. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa seluruh hasil pendidikan kita, khususnya pendidikan tinggi, adalah buruk. Karena Pendidikan itu sendiri merupakan sebuah proses tiada henti, sebuah proses yang selalu menyisakan berbagai persoalan, meskipun ia selalu memberikan konsep-konsep baru tentang bagaimana membangun dan mengembangkan kualitas manusia. Di sini, pendidikan menempati posisi penting, ketika secara “tulus” ia mejadikan manusia sebagai subyek yang merdeka, sebagai sosok yang tidak “kosong” dari pengalaman-pengalaman yang telah dia ciptakan sendiri.<br />Secara epistemologis, kelemahan beberapa pemikiran klasik adalah ketika ia menganggap pengetahuan sudah ada dan sudah jadi, lalu ia menempatkan “sosok guru” sebagai seseorang yang paling tahu. Sehingga tugas guru adalah mentransfer pengetahuan itu, kedalam otak peserta didik. Maka peserta didik tinggal membuka otaknya dan menerima pengetahuan itu apa adanya.<br /><br />Konteks Sejarah Lahirnya Filsafat Rekontruksionisme<br />Sebagaimana Perennialisme, filsafat Rekontruksionisme juga hendak menyatakan bahwa budaya modern telah mengalami krisis.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn1" name="_ftnref1"><span style="color:#006600;">[1]</span></a><span style="color:#006600;"> Ia berusaha merombak tata susunan lama dan membangun konsep baru mengenai pola hidup kebudayaan yang lebih bercorak modern.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn2" name="_ftnref2"><span style="color:#006600;">[2]</span></a><span style="color:#006600;"> Bagi keduanya, keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terpengaruh oleh kehancuran, kebingungan, dan keragu-raguan.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn3" name="_ftnref3"><span style="color:#006600;">[3]</span></a><span style="color:#006600;"> Akan tetapi, filsafat Rekontruksionisme tidak sependapat dengan “pola kerja” yang dibangun oleh Perennialisme yang mencoba “bernostalgia” dengan kebudayaan abad pertengahan. Filsafat Rekontruksionisme lebih memilih pada usaha dan membina sebuah konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia, restore to the original form.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn4" name="_ftnref4"><span style="color:#006600;">[4]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Kata Rekontruksionisme itu sendiri, mempunyai akar kata dari bahasa Inggris, rekontruct, yang berarti menyusun kembali. Yaitu melakukan perombakan dan menyusun kembali pola-pola lama menjadi pola-pola baru yang lebih meodern. Secara historis, lahirnya Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in Philosophy.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn5" name="_ftnref5"><span style="color:#006600;">[5]</span></a><span style="color:#006600;"> Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn6" name="_ftnref6"><span style="color:#006600;">[6]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Pada tahun 1932, George Counts (1889 – 1974)</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn7" name="_ftnref7"><span style="color:#006600;">[7]</span></a><span style="color:#006600;"> ia mengktik praktik-praktik sekolah yang telah mengabdikan ketidaksamaan-ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras, kelas, dan etnik.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn8" name="_ftnref8"><span style="color:#006600;">[8]</span></a><span style="color:#006600;"> Ia menegaskan bahwa skolah-sekolah menengah umum telah menjadi milik orang-orang berkelas sosial tinggi dan keluarga yang berkecukupan.<br />Melalui tulisannya yang berjudul Dare the School Build a New Social Order?, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan Progresifisme yang telah gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia menegaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered approach) tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20.<br />Ringkasnya, kemunculan filsafat Rekontruksionisme ini berangkat dari kondisi masyarakat Amerika pada khususnya dan masyarakat industri pada umumnya, yang semakin meninggalkan sebuah tatanan dunia yang diidam-idamkan. Perkembangan ilmu, teknologi dan industrialisasi pada satu sisi memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan, akan tetapi disisi lain ia telah menimbulkan pengaruh-pengaruh yang negatif. Masyarakat yang tenang, tentram, damai, pelan-pelan telah tergiring pada keterasingan. Ada yang menganggap, kondisi ini karena adanya sifat loises faire, kompetisi yang terlalu berlebihan sehingga bermuara pada pemenuhan kepentingan individual dari pada kepentingan sosial, pada masyarakat Amerika. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan di bidang ekonomi, yang semula berbentuk individual interprenurship dirubah kearah coorperative yang bersendikan konsep kerja sama kolektif. Konsep ini, kemudian mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Keadaan ini, meyakinkan para pemikir pendidikan bahwa pendidikan perlu mempunyai konsep dan peran yang positif dalam mengadakan rekontruksi masyarakat. Dan masyarakat yang direkontruksi ini, hendaknya lebih mengutamakan kebersamaan dari pada kepentingan-kepentingan individu.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn9" name="_ftnref9"><span style="color:#006600;">[9]</span></a><br /><span style="color:#006600;"><br />Pandangan Filsafat Rekontruksionisme tentang Pengetahuan<br />Secara umum, filsafat Rekontruksionisme merupakan sebuah paham anti-esensialisme, yang menekankan kepada penciptaan budaya dan sejarah. Filsafat Rekontruksionisme bertentangan dengan paham universal dan penjelasan biologis terhadap obyek atau kejadian. Misalnya identitas merupakan suatu diskursus kontruksionisme yang tidak berkaitan dengan benda. Artinya, identitas bukan merupakan suatu entitas universal, melainkan merupakan suatu ciptaan kultural atau secara spesifik merupakan diskursus yang kontruktif. Bagi filsafat Rekontruksionisme, yang terpenting adalah pribadi sebagai bentukan budaya, karena pribadi terbentuk dari materi budaya, seperti bahasa dan praktik budaya lainnya dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn10" name="_ftnref10"><span style="color:#006600;">[10]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Sementara ia memandang pengetahuan merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn11" name="_ftnref11"><span style="color:#006600;">[11]</span></a><span style="color:#006600;"> Misalnya, pengetahuan siswa tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang sderhana, tidajk lengkap, dan semakin dia dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing, sehingga pengetahuannya tentang kucing akan semakin lengkap. Contoh lain misalnya sering terjadi seorang guru sudah berulang-ulang menjelaskan kepada muridnya suatu bahan pelajaran, namun murid tersebut salah menangkap. Fenomena ini menguatkan klaim para penganut filsafat rekonstruktivisme yang menekankan bahwa murid telah mengkonstruksi (membentuk) sendiri pengetahuan mereka.<br />Para penganut Rekontruksionisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru<br />Kaum Rekontruksionisme menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan akan air. Menurut von Glaserfeld, tokoh filsafat Rekontruksionisme di AS, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan pengalaman mereka.<br />Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang kita konstruksikan.<br />Bagi kaum Rekontruksionisme, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang rekonstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi rekonstruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Lalu bagaimana dengan soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita bentuk itu benar? Rekontruksionisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dalam viabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Apakah pengetahuan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam persoalan yang berkaitan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum.<br />Yang membatasi konstruksi pengetahuan Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat jelas peranan pengalaman dan percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan, gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu disebut ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan pengetahuan.<br /><br />Tori Belajar dalam Rekontruksionisme<br />Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar rekonstruksionisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn12" name="_ftnref12"><span style="color:#006600;">[12]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Menurut Piaget, seorang anak belajar melalui pengalaman kongkritnya dengan cara merefleksikan pengalamannya. Ketia ia menemukan pengalaman baru, anak akan menyesuaikan dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Karakteristik perkembangan berfikir anak berbeda-beda menurut tahapan usianya, dan tahapan ini berimplikasi pada perbedaan cara belajar anak dan cara mengajar guru. Oleh karena itu, kurikulum musti dirancang sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh anak sebelumnya secara konkrit, sehingga ank mampu melakukannya dan selanjutnya secara bertahap anak diperkenalkan kepada konsep dan kompetensi baru. Tidak heran jika kemudian ada yang mengatakan bahwa Rekontruksionisem pada dasarnya mengajartkan anak “Bagaimana belajar yang efektif”.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn13" name="_ftnref13"><span style="color:#006600;">[13]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai Rekontruksionisme pertama</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn14" name="_ftnref14"><span style="color:#006600;">[14]</span></a><span style="color:#006600;"> menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn15" name="_ftnref15"><span style="color:#006600;">[15]</span></a><span style="color:#006600;"> Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn16" name="_ftnref16"><span style="color:#006600;">[16]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn17" name="_ftnref17"><span style="color:#006600;">[17]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. <br />Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan Rekontruksionisme, Driver dan Bell</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn18" name="_ftnref18"><span style="color:#006600;">[18]</span></a><span style="color:#006600;"> mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.<br />Pandangan tentang anak dari kalangan rekonstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn19" name="_ftnref19"><span style="color:#006600;">[19]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.<br />Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn20" name="_ftnref20"><span style="color:#006600;">[20]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Berbeda dengan Rekontruksionisme kognitif ala Piaget, Rekontruksionisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn21" name="_ftnref21"><span style="color:#006600;">[21]</span></a><span style="color:#006600;"> Dalam penjelasan lain Tanjung mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn22" name="_ftnref22"><span style="color:#006600;">[22]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Adapun implikasi dari teori belajar Rekontruksionisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar Rekontruksionisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn23" name="_ftnref23"><span style="color:#006600;">[23]</span></a><br /><span style="color:#006600;">Prinsip pembelajaran Rekontruksionisme ini telah banyak mempengaruhi pendidikan sain dan matematika di Amerika, Eropa dan Australia sejak awal 1980-an.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn24" name="_ftnref24"><span style="color:#006600;">[24]</span></a><span style="color:#006600;"> Segi pengetahuan dipandang sebagai suatu yang non obyektif-temporer dan selalu berubah. Belajar menjadi suatu proses penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, kegiatan kolaboratif, refleksi dan interprestasi individu. Hasil belajar bergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi pribadi. Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek, perspektif yang dipakai, sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik. Suatu kegagalan dan kesuksesan dilihat sebagai beda interpretasi yang patut dihargai dan sukses belajar sangat ditentukan oleh kebebasan siswa melakukan pengaturan dari dalam diri siswa. Tujuan pembelajaran adalah belajar how to learn. Penyajian isi KBM fakta diinterpretasi untuk mengkonstruksikan pemahaman individu melalui interaksi sosial.<br />Untuk mendukung kualitas pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data primer, bahan manipulatif dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan kesimpulan. Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif, keterampilan intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban divergen dan pemecahan ganda. Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan belajar mengajar dengan penugasan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata sekaligus sebagai evaluasi proses untuk memecahkan masalah.<br />Selama ini masyarakat kita berada dalam suatu budaya dimana belajar dipandang sebagai suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukan sekadar fasilitator, melainkan sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Pembelajaran yang sedang dikampanyekan, disosialisasikan justru berbeda dengan pandangan tersebut. Belajar adalah suatu proses dimana siswa memproduki pengetahuan. Siswa menyusun pengetahuan, membangun makna (meaning making), serta mengkonstruksi gagasan. Pada dasarnya teori Rekontruksionisme menekankan bahwa belajar adalah meaning making atau membangun makna, sedang mengajar adalah schaffolding atau memfasilitasi.<br />Secara sederhana, paradigma pembelajaran Rekontruksionisme adalah :<br />Dari<br />Menjadi<br />Mengajar<br />Indoktrinasi<br />Guru sebagai dubyek<br />Mengumpulkan pengetahuan<br />Belajar<br />Partisipatif sebagai fasilitator dan mediator<br />Siswa sebagai Subyek<br />Menemukan pengetahuan dan mengembangkan kerangka berfikir<br /><br />Oleh karena itu skenario suatu pembelajaran maupun kegiatan belajar mengajar yang hanya terhenti pada tahapan dimana siswa mengumpulkan data dan memperoleh informasi dari luar yakni guru, narasumber, buku, laboratorium dan lingkungan ke dalam ingatan siswa saja, belumlah cukup, karena siswa masih berada pada tingkatan mengkonsumsi pengetahuan. Karena itu perlu langkah-langkah yang menunjukkan tindakan siswa mengkonstruksi gagasan untuk memproduksi pengetahuan. Langkah-langkah inilah yang sedang disosialisasikan dua tahun terakhir.<br /><br />Filsafat Pendidikan ; Antara Rekontruksionisme dan Obyektivisme<br /><br />Paradigma Pendidikan Objektivisme berdasarkan tanggapan bahwa wujud pengetahuan berada di luar persepsi manusia. Menurut pandangan ini, fungsi sains ialah untuk memastikan pengetahuan disampaikan secara objektif. Proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menalarkan pengetahuan dari pendidik kepada murid. Sementara pengetahuan sains dalam perspektif Rekontruksionisme adalah memberikan penjelasan yang paling sesuai dalam menguraikan fenomena yang diperhatikan.<br />Ahli objektivisme berpendapat bahwa sebuah ketetapan tentang apa yang perlu dipelajari dan siapa yang pantas mengajar adalah dibuat oleh “pakar” yang semestinya mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan murid banyal tidak dapat melihat keperluan belajar sebagaimana yang dilihat oleh pihak “pakar”. Model autoritarian ini menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat penting dalam kelas. Murid dan juga orang awam beranggapan guru mempunyai seabrek jawaban bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan murid yang produktif dan berpengetahuan luas.<br />Para ahli Rekontruksionisme menganggap bahwa setiap peserta didik mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. Penekanan sangat diberikan kepada peserta didik dengan memberikan peluang untuk membentuk kemahiran dan pengetahuan di mana mereka menghubungkan dan mengkaitkan pengalaman masa lalu mereka dengan kegunaan masa depen. Peserta didik bukan hanya diberikan dengan fakta-fakta saja, sebaliknya Rekontruktsionisme memberikan penekanan kepada proses berfikir dan kemantapan berkomunikasi. Di sini peserta didik, diajak untuk memahami dan menjelaskan bagaimana makna belajar bagi mereka sendiri.<br />Melalui penggunaan paradigma rekonstruksionisme, guru perlu mengubah peranannya dalam bidang sains. Guru mungkin akan berperan sebagai pelajar atau penyelidik. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana murid membina konsep atau pengetahuan. Justeru itu guru akan memperolehi pemahaman untuk membina dan mengubah kecerdasan serta berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahwa proses pembinaan dan pengubahan suatu konsep merupakan satu proses berkelanjutan dalam kehidupan.<br />Dalam paradigma rekonstruksionisme, murid menganggap peranan guru sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh disesuaikan dan boleh dirubah. Mereka juga sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri dalam menggunakan berbagai cara untuk memproses sesuatu dan menyelesaikan sebuah masalah. Dengan kata lain, guru berperan sebagai seorang fasilitator dan pembimbing. Hubungan guru dengan peserta didik diandaikan seperti relasi antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing dan membantu murid mempelajari sesuatu pelajaran dengan bermakna. Guru tidak boleh belajar untuk peserta didik. Peserta didik yang mengembangkan pemahamannya sendiri.<br />Kebanyakan teknik penilaian juga didasarkan pada paradigma objektivisme. Dalam proses penilaian, peserta didik akan diuji dan harus sesuai dengan jawaban yang dikehendaki oleh seorang guru. Mereka juga dianggap memiliki penafsiran yang sama dengan guru tentang apa yang dikehendaki dalam soalan. Oleh karena itu, soal-soal ujian tidak sebenarnya menguji kefahaman dan pengetahuan murid, tetapi hanya menguji kemahiran murid untuk dijadikan bekal atau modal terhadap jawaban yang dikehendaki oleh guru saja.<br />Menurut teori rekonstruksionisme, penilaian harus mencakup cara dalam menyelesaikan masalah dengan sebab-sebab dan pengetahuan. Teknik-teknik penilaian yang demikian itu adalah peta konsep, portfolio, ujian prestasi dan ujian pemahaman.<br />Pandangan ahli rekonstruksionisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah berbeda dengan ahli objektivisme. Ahli rekonstruksionisme menganggap guru berperan sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin peserta didik dengan sempurna. Peserta didik diterima sebagi individu yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang berbeda di mana setiap individu itu diangap penting dalam proses pembelajaran dan perlu diberi perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat keputusan sendiri tentang persoalan-persoaln yang akan mereka pelajari. Melalui proses ini, mereka akan lebih tersentuh, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktivitas pembelajaran mereka.<br />Sebaliknya ahli objektivisme berpendapat bahwa guru harus berperan sebagai “pengawal disiplin” kelas. Murid tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan. Mereka yang melanggar akan mendapat hukuman.<br />Proses pembelajaran yang berdasarkan pada rekonstruksionisme memberikan peluang bagi guru untuk memilih prinsip-prinsip pembelajaran yang sesuai dan dapat menentukan sendiri waktu yang diperlukan untuk memperolehi sesuatu konsep atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai pemahaman orang lain supaya pemahamannya tentang suatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi.<br />Rekontruksionisme medasarkan diri pada bahwa contruction of understanding is the core element in a highly complex process atau alternative interpretation of social phenomena are rarely considered.</span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn25" name="_ftnref25"><span style="color:#006600;">[25]</span></a><span style="color:#006600;"> Oleh sebab itu, paradigma rekontruksionisme sebagai metode pembelajaran tidak hanya diberlakukan pada mata pelajaran tertentu saja, akan tetapi menjadi model pembelajaran secara umum, terutama untuk mencapai “subject matter objectivies”. Dalam proses inilah, maka pengalaman dan kenyataan (konsepsualisasi dan kontektualisasi) bagi rekontruksionisme, menjadi bahan dasar pembelajaran yang sangat penting.<br /><br />Penutup<br /><br />Dalam pengertian Rekontruksionisme, belajar adalah suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang aktif berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di sini hanyalah membantu agar proses rekonstruksi itu berjalan. Guru bukan mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi membantu agar anak didik membentuk pengetahuannya.<br />Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktivan murid untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan, lingkungan, dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu. Murid diberi kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah, tanpa dihambat. Dengan dibiasakan berpikir sendiri dan mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi pribadi yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational. Dalam pengertian Rekontruksionisme, murid tidak dianggap sebagai suatu tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Murid dipahami sebagai subyek yang sudah membawa "pengertian awal" akan sesuatu sebelum mereka mulai belajar secara formal. Bahkan seorang murid klas 1 SD pun sudah membawa pengetahuan awal mengenai macam-macam hal yang dalam tarafnya berlaku untuk memecahkan persoalan. Pengetahuan awal tersebut, meski kadang sangat naif atau tidak cocok dengan pengertian para ahli, perlu diterima dan nanti dibimbing untuk semakin sesuai dengan pemikiran para ahli. Pemikiran mereka itu meski naif, bukanlah salah; tetapi terbatas berlakunya.<br />Pihak guru dituntut pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat memahami jalan pikiran anak. Guru menantang, mempertajam, dan menunjukkan apakah jalan pikiran murid benar. Guru tidak mengklaim bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah yang sama dengannya. Kesalahan pemikiran anak diterima sebagai landasan kemajuan. Bukankah perkembangan semua ilmu mulai dari kesalahan? <em>Wallahu A’lam Bi al-Showab</em>.<br /><br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref1" name="_ftn1"><span style="color:#006600;">[1]</span></a><span style="color:#006600;"> M. Noor Syaam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, (Surabaya : Usaha Nasional. 1988), hlm. 340.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref2" name="_ftn2"></a><span style="color:#006600;">[2] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 1997), hlm. 97.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref3" name="_ftn3"></a><span style="color:#006600;">[3] Ibid.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref4" name="_ftn4"></a><span style="color:#006600;">[4] Ibid, hlm 133.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref5" name="_ftn5"></a><span style="color:#006600;">[5] Muhmida Yeli, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekanbaru: LSFK2P. 2005), hlm. 193.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref6" name="_ftn6"></a><span style="color:#006600;">[6] Ibid.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref7" name="_ftn7"></a><span style="color:#006600;">[7] George Counts adalah Profesor di Teacher College, Columbia University (1927 – 1950), ia juga senator Amerika Serikat pada tahun 1952 – 1960 dan mantan anggota aktif di National Committee of the American Civil Liberties Union pada tahun 1940 – 1973. lihat Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan ; Sebuah Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 153 – 154.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref8" name="_ftn8"></a><span style="color:#006600;">[8] Ibid, hlm. 153.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref9" name="_ftn9"></a><span style="color:#006600;">[9] Imam Barnadib, Kearah Perspektif Baru Pendiikan, (Jakarta DEPDIKBUD, 1988), hlm. 45.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref10" name="_ftn10"></a><span style="color:#006600;">[10] HAR. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, (Jakarta : Kompas, 2005), hlm 302.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref11" name="_ftn11"></a><span style="color:#006600;">[11] Paul Suoarno, dkk. Reformasi Pendidikan ; Sebuah Rekomendasi, (Yogyakarta : Kanisius, 2001) hlm. 15.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref12" name="_ftn12"></a><span style="color:#006600;">[12] Ruseffendi,. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. (Bandung: Tarsito. 1988), hlm. 132.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref13" name="_ftn13"><span style="color:#006600;">[13]</span></a><span style="color:#006600;"> Ratna Megawangidkk, Pendidikan Holistiok. (Jakarta : Indonesia Herritage Foundation. 2005) hlm. 45.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref14" name="_ftn14"></a><span style="color:#006600;">[14] Dahar, Teori-Teori Belajar. (Jakarta: Erlangga. 1989), hlm. 159.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref15" name="_ftn15"></a><span style="color:#006600;">[15] Ruseffendi, op cit, hlm. 133.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref16" name="_ftn16"></a><span style="color:#006600;">[16] Paul Suparno,. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. (Yogyakarta: Kanisius. 1996), hlm 7<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref17" name="_ftn17"></a><span style="color:#006600;">[17] Poedjiadi, Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. (Bandung: Yayasan Cendrawasih. 1999), hlm. 61.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref18" name="_ftn18"></a><span style="color:#006600;">[18] Sebagaimana dikutip oleh C. Susan, dkk,. Learning to Teach in the Secondary School. (London: Routledge. 1995), hlm. 222.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref19" name="_ftn19"></a><span style="color:#006600;">[19] Hudoyo, H. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. (Malang: IKIP Malang. 1990), hlm 5.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref20" name="_ftn20"></a><span style="color:#006600;">[20] Lihat Ruseffendi, loc Cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref21" name="_ftn21"></a><span style="color:#006600;">[21] Pudjiadi, op cit, hlm. 62.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref22" name="_ftn22"></a><span style="color:#006600;">[22] R.M. Tanjung, Efektivitas pembelajaran Biologi yang Berdasarkan pada Prinsip Belajar Konstruktis. (Makalah Komprehensif. PPS IKIP Malang. Tidak Diterbitkan.1998). hlm. 7.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref23" name="_ftn23"></a><span style="color:#006600;">[23] Lihat Pudjiadi, op cit, hlm. 63.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref24" name="_ftn24"><span style="color:#006600;">[24]</span></a><span style="color:#006600;"> Di Indonesia juga mulai dikenalkan tentang bagaimana Rekontruksionisme ini menjadi basis pembelajaran bagi mata pelajaran Matematika. Lihat tulisan Sri Subarinah, “Pengembangan Rancangan Mata Kuliah Geometri Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Kontruktivisme Pada Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mataram” Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 052, Januari 2005.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref25" name="_ftn25"><span style="color:#006600;">[25]</span></a><span style="color:#006600;"> Lihat Djohar MS, Pendidikan Strategik ; Alternatif untuk pendidikan masa depan, (Yogyakarta : LESFI. 2003) hlm 91 – 92.</span></div>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-5865996557230141862008-05-11T21:44:00.000-07:002008-05-11T21:46:13.203-07:00Hanafi, MA: Pengantar Kata<div align="justify"><a href="http://nafieihsan.blogspot.com/2008/03/pengantar-kata.html">Hanafi, MA: Pengantar Kata</a><br /><span style="color:#336666;">Kita semua berharap dengan hikmah yang muncul dari adanya berbagai peristiwa bangsa ini, kita bisa menjadi lebih arif (selaras dengan ‘urf, tradisi baik) dan bijaksana untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang masih menumpuk ini. Berbagai bencana yang menimpa bangsa ini, mulai Tsunami di Aceh, Gempa di Jogja-Jateng, Jawa Barat, banjir Lumpur Lapindo, Banjir diberbagai wilayah Sumbar dan Riau, kerusuhan di Poso yang tak terlihat ujung-pangkal­ nya, dan lainnya, semua itu tidak pernah membuat kita termenung, mempertanyakan apa yang salah dengan penduduk negeri ini.<br />Padahal dulu, bangsa ini merupakan “untaian zamrud katulistiwa”. Bangsa ini, dulu juga pernah mendapat julukan “macan Asia yang sedang bangkit”. Dan dulu kesuburan tanah bangsa ini dirilis oleh Koes Plus seperti “tongkat dan kayu jadi tanaman”. Tetapi saat ini, ketika musim kemarau tanah-tanah kita menjadi kering, asap bisa dipastikan muncul karena kebakaran hutan, dan saat musim hujan, kita selalu kedatangan banjir.<br />Pada saat sekolompok bangsa ini, tertawa bahagia ketika mendapatkan tunjangan jabatannya dan mampu menukarkan dolar-dolar mereka bahkan bersafari ria ke luar negeri, tetapi pada saat itu pula beberapa juta saudara-saudara kita yang lain harus mengurut dada, karena sulitnya mencari rupiah, dan bahkan harus memutar otak untuk bisa mendapatkan makan esok harinya.<br />Ada apa dengan negeri ini? Kenapa kenikmatan yang melimpah, menjadi bencana? Kenapa kita tidak pernah merasa bersalah dengan “sirene” yang ditiupkan oleh alam? Kenapa kita tidak pernah menjadi bijaksana, untuk menyikapi persoalan bangsa ini? Mengapa kita masih saja mempersoalkan politik yang jelas-jelas tidak memihak kaum kecil? Kenapa “kekuasan” masih menjadi bius bagi para tokoh bangsa ini, bukannya memberikan tindakan nyata bagi perbaikan bangsa ini?<br />Jika kita sepakat bahwa mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam, maka berarti mereka sangat meyakini bahwa Tuhan pernah menyebutkan dalam al-Qur’an tentang sebab kejatuhan satu generasi itu karena mereka melalaikan sholat dan mengikuti hawa nafsunya (QS. 19 : 59). Sebaliknya, Tuhan akan melimpahkan keberkahan dari langit maupun dari bumi kepada mereka yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya (QS. Al-A’raf : 96). Atau apakah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini juga lupa ketika Tuhan mencabut kenikmatan pada suatu bangsa karena bangsa itu sudah menjadi bangsa Fir’aun (ali Fir’aun), “(Siksaan) yang sedemikian itu terjadi karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu bangsa sehingga bangsa itu mengubah apa yang ada dalam diri mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Keadaan bangsa itu sama dengan keadaan keluarga Fir’aun serta orang-orang yang sebelumnnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya. Maka Kami binasakan mereka dengan dosa-dosa mereka dan Kami tenggelamkan keluarga Fir’aun. Semuanya adalah orang-orang zalim (QS. Al-Anfal : 53 – 54).<br />Ketika kita lihat di lapangan, masjid-masjid masih dipenuhi oleh jama’ah. Pengajian-pengajian masih terdengar meskipun yang hadir banyak ibu-ibu. Berbagai kajian dan pelatihan tentang Islam diselenggarakan di kantor-kantor maupun di hotel-hotel berbintang. Namun mangapa berbagai ajaran luhur dan norma-norma Islam yang begitu agung dan mulia itu tidak tercermin dalam prilaku politik, ekonomi, dan etika social sehari-hari?<br />Apakah kita sudah menjadi Fir’aun-Fir’aun yang demi kekuasan telah memeras, menindas, dan merampas hak-hak orang lemah? Atau apakah para cerdik pandai kita sudah menjadi Hamman yang mempersembahkan kepandaianya untuk mengabdi pada penguasa yang zalim? Atau apakah kecerdasan yang kita miliki, telah kita pergunakan untuk meliciki orang banyak?<br />Kita seringkali menjual ayat-ayat Allah untuk memenuhi hawa nafsu kita. Terkadang kita mengemas ambisi duniawi kita dengan selalu mengikuti ritus-ritus keshalihan. Seharusnya kita, mau menghampiri dan memberi uluran tangan kepada para anak jalanan. Meskipun kita sering ke Masjid, tetapi di luar Masjid kita menyepelekan Allah. Di dalam Masjid, kita menyembah dan mengagungkan nama-Nya, di luar Masjid kita menyembah dan mengagungkan kemaksiatan.<br />Berbagau pertanyaan diatas sangat pantas untuk kita renungkan bersama dalam menyambut tahun Baru Hijriyah, tahun yang semestinya milik umat Islam. Untuk mengawali tahun baru ini, kita pantas untuk bertanya kepada diri kita sendiri, cukup berhasilkah, cukup kuatkah, dan cukup mampukah kita merealisasikan nilai-nilai luhur dan norma-norma keagungan Islam dalam kehidupan sehari-hari mendatang. Sembari memantapkan langkah di tahun 1428 H, kita mesti mencoba merubah berbagai bencana yang menimpa bangsa ini, menjadi nikmat kembali, yaitu dengan mengubah prilaku kita kearah yang lebih baik. Mari kita tinggalkan arogansi Fir’auan, kerakusan Qarun, dan kelicikan Hamman. Sehingga Allah memberikan limpahan nikmat dari langit dan bumi-Nya.<br />Lewat media ini, saya mencoba mengajak anda semua untuk membaca dan melihat kembali realitas keislaman kita.</span></div>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-64608452265348735412008-05-11T20:25:00.000-07:002008-05-11T20:30:14.445-07:00<div align="center"><span style="font-family:lucida grande;">Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire<br />Studi Atas Buku Pedagogy of Opressed Karya Paulo Friere</span></div><div align="center">Imam Hanafi, MA</div><div align="justify"><span style="font-family:lucida grande;"></span></div><div align="justify"><span style="font-family:lucida grande;">Pengantar<br />Disadari atau tidak, sebagian besar dari kita selama ini mendefinisikan pendidikan dengan hal-hal yang bersifat formal. Orang masuk institusi sekolah untuk mendapatkan pengakuan masyarakat bahwa ia seorang yang "berpendidikan". Sebaliknya, bagi orang yang tidak mampu masuk institusi sekolah -- karena alasan apapun -- maka dia disebut "tidak berpendidikan". Kecenderungan yang baru adalah, mereka yang tidak lolos seleksi masuk ke "sekolah favorit" identik dengan kebodohan.<br />Cara pandang semacam inilah yang akhirnya menjebak kita di ujung jalan buntu. Suatu keadaan di mana kita seolah-olah tidak berdaya menghadapi kungkungan sistem yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Kita bisa mengamati dan mengalami langsung bagaimana paniknya para orang tua mencari dan memperebutkan kursi tempat belajar bagi putera/puteri mereka di sekolah dasar, di sekolah lanjutan tingkat pertama, di sekolah lanjutan tingkat akhir, dan kemudian di perguruan-perguruan tinggi.<br />Sebagian orang tua dapat merasakan, bagaimana dunia seolah-olah mau "kiamat", ketika hari itu mereka dihadapkan pada pertanyaan, "Bagaimana jika anak saya tidak mendapatkan kursi tempat belajar?" Dan kemudian, "Bagaimana mungkin putera-puteri kita dapat menjalani kehidupan yang pantas di masa depan kalau dia tidak bersekolah?"<br />Maka sebagian orang tua merasa bangga ketika putera/puterinya mendapatkan tempat di "sekolah favorit" dan sebagian lagi agak kecewa, walaupun masih merasa sedikit lega, ketika putera/puterinya hanya memperoleh tempat belajar di sekolah-sekolah "nomor dua" atau "nomor tiga" di bawah sekolah-sekolah favorit itu. Demi kebanggaan dan perasaan lega itu, para orang tua mati-matian menggali sumber daya mereka untuk memperjuangkan tempat bagi anaknya bersekolah.<br />Demi pengakuan masyarakat dan kepastian masa depan anaknya itu, apa artinya berjam-jam mengantre kesempatan melobi guru dan kepala sekolah, apa artinya meminjam uang atau membuka tabungan, atau menelefon sana-sini untuk secarik katabelece dan rekomendasi. Yang penting, "anak saya sekolah".<br /><br />Tentang Paulo Friere<br />Freire dilahirkan dalam keluarga </span><a title="Kelas menengah" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kelas_menengah&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">kelas menengah</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> di </span><a title="Recife" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Recife"><span style="font-family:lucida grande;">Recife</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, </span><a title="Brasil" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Brasil"><span style="font-family:lucida grande;">Brasil</span></a><span style="font-family:lucida grande;">. Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa </span><a title="Depresi Besar" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Depresi_Besar&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Depresi Besar 1929</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun </span><a title="Pandangan dunia" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pandangan_dunia&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">pandangan dunia</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> pendidikannya yang khas.<br />Freire mulai belajar di </span><a title="Universitas Recife" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Universitas_Recife&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Universitas Recife</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar </span><a title="Filsafat" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat"><span style="font-family:lucida grande;">filsafat</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan </span><a title="Elza Maia Costa de Oliveira" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Elza_Maia_Costa_de_Oliveira&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Elza Maia Costa de Oliveira</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.<br />Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikand an Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian </span><a title="Pernambuco" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pernambuco"><span style="font-family:lucida grande;">Pernambuco</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai </span><a title="Teologi pembebasan" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Teologi_pembebasan"><span style="font-family:lucida grande;">teologi pembebasan</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> </span><a title="" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Paulo_Freire#_note-0#_note-0"><span style="font-family:lucida grande;">[1]</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, </span><a title="Melek huruf" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Melek_huruf&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">melek huruf</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> merupakan syarat untuk </span><a title="Pemilihan umum" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum"><span style="font-family:lucida grande;">ikut memilih dalam pemilu</span></a><span style="font-family:lucida grande;">.<br />Pada 1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh </span><a title="Tebu" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Tebu"><span style="font-family:lucida grande;">kebun tebu</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya ribuat lingkaran budaya di seluruh negeri.<br />Pada 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah mengasingkan diri untuk waktu singkat di </span><a title="Bolivia" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Bolivia"><span style="font-family:lucida grande;">Bolivia</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, Freire bekerja di </span><a title="Chili" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Chili"><span style="font-family:lucida grande;">Chili</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> selama lima tahun untuk </span><a title="Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gerakan_Pembaruan_Agraria_Demokratis_Kristen&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen</span></a><span style="font-family:lucida grande;">. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.<br />Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor tamu di </span><a title="Harvard" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Harvard"><span style="font-family:lucida grande;">Harvard</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling terkenal, </span><a title="Pendidikan Kaum Tertindas" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pendidikan_Kaum_Tertindas&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Pendidikan Kaum Tertindas</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> (Pedagogy of the Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru diterbitkan di Brasil pada 1974 (karena perseteruan politik antara </span><a title="Sejarah Brasil 1964-1965)" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sejarah_Brasil_1964-1965%29&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">serangkaian pemerintahan diktatur militer yang otoriter</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> dengan Freire yang </span><a title="Sosialisme Kristen" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sosialisme_Kristen&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Kristen sosialis</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> ketika </span><a title="Ernesto Geisel" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ernesto_Geisel"><span style="font-family:lucida grande;">Jenderal Ernesto Geisel</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses </span><a title="Liberalisasi" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Liberalisasi&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">liberalisasi</span></a><span style="font-family:lucida grande;">.<br />Setelah setahun di </span><a title="Cambridge" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Cambridge"><span style="font-family:lucida grande;">Cambridge</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, Freire pindah ke </span><a title="Jenewa, Swiss" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Jenewa%2C_Swiss&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Jenewa, Swiss</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus di </span><a title="Dewan Gereja-gereja se-Dunia" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Gereja-gereja_se-Dunia"><span style="font-family:lucida grande;">Dewan Gereja-gereja se-Dunia</span></a><span style="font-family:lucida grande;">. Pada masa itu Freire bertindak sebagai penasihat untuk </span><a title="Pembaruan pendidikan" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pembaruan_pendidikan&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">pembaruan pendidikan</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya </span><a title="Guinea Bissau" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Guinea_Bissau"><span style="font-family:lucida grande;">Guinea Bissau</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> dan </span><a title="Mozambik" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Mozambik"><span style="font-family:lucida grande;">Mozambik</span></a><span style="font-family:lucida grande;">.<br />Pada 1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke sana pada 1980. Freire bergabung dengan </span><a title="Partai Buruh (Brasil" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Partai_Buruh_%28Brasil&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Partai Buruh (Brasil</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> (PT) di kota </span><a title="São Paulo" href="http://id.wikipedia.org/wiki/S%C3%A3o_Paulo"><span style="font-family:lucida grande;">São Paulo</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa dari 1980 hingga 1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São Paulo.<br />Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araújo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal. Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang </span><a title="Pendidikan rakyat" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pendidikan_rakyat&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">pendidikan rakyat</span></a><span style="font-family:lucida grande;">. Institut ini menyimpan semua arsip Freire. Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997. Beberapa penghargaan yang diperoleh oleh Friere adalah ; Penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk Pembangunan Internasional Penghargaan bagi Pendidik Kristen Terkemuka bersama istrinya, Elza Penghargaan UNESCO 1986 untuk Pendidikan untuk Perdamaian<br />Paulo Freire menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang bukan hanya dari pendekatan yang klasik dari </span><a title="Plato" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Plato"><span style="font-family:lucida grande;">Plato</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, tetapi juga dari para pemikir </span><a title="Marxis" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Marxis"><span style="font-family:lucida grande;">Marxis</span></a><span style="font-family:lucida grande;"> dan anti kolonialis. Malah, dalam banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat dibaca sebagai perluasan dari atau jawaban terhadap buku </span><a title="Frantz Fanon" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Frantz_Fanon&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">Frantz Fanon</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, </span><a title="The Wretched of the Earth" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=The_Wretched_of_the_Earth&action=edit"><span style="font-family:lucida grande;">The Wretched of the Earth</span></a><span style="font-family:lucida grande;">, yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya memberikan penduduk pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang tradisional) dan anti kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya para kolonis).<br /><br />“Pendidikan Kaum Tertindas”<br />Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire." Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane).<br />Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.<br />Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas?<br />Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.<br />Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.<br />Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.<br />Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.<br />Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.<br />Pada bab pertama dalam buku ini, Paulo Friere membahas mengenai kebutuhan akan suatu pendidikan bagi kaum tertindas. Pokok penting dalam kehidupan manusia, menurut Paulo Friere adalah humanisasi. Humanisasi dan dehumanisasi merupakan satu kesatuan yang selalu berkelindan dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana menegekakkan humanisasi itu dalam setiap lini kehidupan manusia. Karena tantangan terberat bagi humanisasi adalah ketidak adilan, eksploitasi, dan kekerasan kaum penindas.<br />Ketika upaya humanisai yang dilakukan oleh kaum tertindas berhasil, maka ketika itu pula mereka tidak boleh menjadi penindas. Kekhawatiran akan munculnya “penindas-penindas baru” dari kaum “tertindas” ini, muncul karena kaum tertindas telah menginternalisasikanj dalam dirinya kaum penindas. Persepsi mereka ini hanya terbatas pada dua gambaran ; yaitu menindas atau tertindas.<br />Agar kesadaran akan humanisasi ini muncul dengan baik, maka diperlukan pemahaman mengenai relasi antara penindas dan yang tertindas. Pada posisi inilah, lalu kebutuhan akan pendidikan bagi kaum tertindas sangat diperlukan. Mereka harus memahami sifat-sifat dari kaum tertindas yang selalu memaksakan pilihan-pilihannya kepada kaum tertindas, sementara kaum tertindas meragukan akan kebebasan. Bahkan kaum tertindas mengalami konflik ketika mereka dihadapkan pada pilihan antara ; menjadi dirinya sendiri atau menjadi orang lain (kaum penindas), antara menolak gambaran kaum penindas atau menerimanya, antara mengikut perintah yang sudah digariskan kaum penindas atau mengambil keputusan sendiri, antara menjadi penonton atau sebagai pelaku, antara berbicara atau bungkam.<br />Dalam bab kedua, Paulo Friere membahas tentang proses pendidikan kaum tertindas. Paulo Friere menyebut proses pendidikan selama ini sebagai “sistem bank”. Dalam sistem ini guru menjadi suibyek yang memiliki pengetahuan yang didisikan pada murid. Murid adalah “cawan” dan obyek yang menjadi tempat deposito “pengetahuan” sang guru. Dalam proses belajar yang seperti ini, jelas tidak terjadi komunikasi “dua arah” antara guru dan murid. Praktik pendidikan seperti inilah yang menjadi model pelanggengan akan struktur penindasan, yaitu yang tertindas (murid) dan yang menindas (guru).<br />Oleh karena itu, Paulo Friere menawarkan konsep “Problem Posing Education’ yang akan memungkinkan munculnya konsientasi, yaitu proses yang melibatkan antara guru dan murid sebagai subyek dalam pendidikan, mereka disatukan oleh subyek yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang difikirkan, tetapi berfikir bersama. Pengetahuan yang sejati bagi Paulo Friere adalah keharusan untuk melakukan penemuan kembali melalui penyelidikan terus menerus atas dunia, dengan dunia, dan dengan sesama. Pada proses inilah, guru dan murid harus secara serempak menjadi guru dan murid sekaligus. Maka, dialog menjadi sebuah keniscayaan dalam proses pendidikan.<br />Dalam “Problem posing education” ini, guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan dan mitra yang melibatkan diri dan mampu merangsang daya pemikiran kritis murid-muridnya. Dengan demikian, kedua belah pihak bersama-sama memperkembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis dirinya sendiri dan dunia dimana dan dengan mana mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukan merupakan realitas yang statis, tetapi sebuah proses yang “menjadi” (be caming), makhluk yang belum selesai, yang berada dalam dan dengan kenyataan yang belum selesai. “Problem posing education” senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia dan kemudian menuntut sebuah jawaban terhadap tantangan tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan adalah keterlibatan.<br />Sementara dalam bab ketiga, Paulo Friere membicarakan tentang dialog sebagai unsure penting dalam pendidikan kaum tertindas. Inti dialog adalah “kata”. Sedangkan kata mempunyai dua dimensi ; Refleksi dan Aksi, yang berada dalam interaksi radikal. Karena sebuah kata tanpa refleksi hanya menjadi aktifisme, sementara kata tanpa aksi hanya akan menjadi verbalisme. Maka muncullah praksis, sebagai keterpaduan antara aksi dan refleksi. Dialog adalah pertemuan dengan manusia melalui kata dengan tujuan “memberi nama kepada dunia”. Dialog tidak mungkin muncul diantara manusia yang menyangkal hak untuk berbicara dan dialog tidak mungkin pula terjadi diantara manusia yang dirampas haknya untuk ber-“kata”.<br />Akan tetapi, dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun kebudayaannya lebih rendah, memberlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain dapat mengajar kita. Dialog menuntut akan kepercayaan yang besar bahwa manusia pada hakikatnya sebagai subyek, yang harus mengerjakan dan mengubah dunia, dan karenanya manusia selalu bergerak menuju kemungkinan-kemungkinan yang selalu baru. Dialog juga meniscayakan akan cinta kasih yang mendalam terhadap dunia dan manusia.<br />Di bab terakhir, Friere menunjukkan bahwa teori pendidikan dialogic bertentangan dengan teori tindakan antidialogik. Tindakan dialogic mengetengahkan sikap kooperati, dimana antara tertindas dan penindas bersatu dalam usaha memacu proses pembebasan. Sedangkan antidialogik, biasanya ditandai dengan usaha menguasai manusia, membuat manusia itu tunduk, pasif, menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga tetap selalu menjadi tertindas. Sementara suasana dialogis membangun kesatuan bagi pembebasan melalui perombakan struktur sosial-budaya yang menindas.<br />Demikianlah pokok-pokok isi buku Pedagogy of the Oppressed, dimana kebebasan dan pemberdayaan menjadi sebuah keharusan, dan kebebasan ini hanya mungkin tercapai dengan usaha pembebasan dari ketidak-adilan dan penindasan yang bersifat structural. Maka, humanisasi menjadi bahsan kunci dari buku ini.<br />Sehubungan dengan cita-cita menjadikan pendidikan sebagai pratik pemberdayaan, dalam kaitan ini ada beberapa pemikiran yang tentu saja masih dibutuhkan kajian, diskusi dan renungan yang lebih mendalam yaitu: Pertama, pendidikan sebagai praktik pemberdayaan, di mana visi pendidikan menjadikan manusia sebagai basis utama atau titik sentral. Untuk itu perlu direkonstruksi secara mendasar tentang kerangka pandang filosofis kita dalam melihat keberadaan manusia. Cara pandang manusia yang bersifat reduktif, sudah waktunya kita tinggalkan dan menggantinya dengan cara pandang lebih mendasar dan yang dapat mempertahankan keutuhan manusia yaitu dengan mengelaborasi konsep tentang manusia Indonesia seutuhnya dalam kerangka pandang tujuan pendidikan nasional yang lebih optimal.<br />Kedua, pendidikan merupakan institusi yang bercorak teleologis. Artinya, mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai, maka perlu dilakukan reformulasi tujuan pendidikan agar lebih khusus dan konkrit, pendidikan lebih mengarah kepada praktik pemberdayaan manusia yang lebih optimal.<br />Ketiga, inti kegiatan pendidikan adalah belajar mengajar. Betapa pun baiknya filsafat pendidikan, tetapi jika tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan proses belajar mengajar yang baik, maka pendidikan dapat dikatakan mengalami kegagalan semenjak proses paling awal. Terhadap kegiatan proses belajar ini sudah saatnya dikembangkan wawasan imansipatoris, di mana peserta didik diberikan cukup keleluasaan dalam mengaktualisasi potensi kediriannya. Yang ingin dikembangkan dalam proses belajar mengajar dengan konsep emansipatoris, adalah hubungan yang berdasarkan kemitraan antara pendidik dan peserta didik.<br />Keempat, sering kita menyaksikan peserta didik teralinasi dari kehidupan sosial dan karena itu kurang memiliki kepekaan dalam membaca realitas sosial. Akibatnya, peserta didik kehilangan kekuatan di tengah derasnya perubahan. Hal ini disebabkan, peserta didik kita tidak diajak berpikir induktif imperik dan kritis tentang realitas sosial yang ada di sekitarnya.<br />John Dewey merekomendasikan tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sistem pendidikan. Pertama, hakikat dan kebutuhan peserta didik. Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat. Ketiga, masalah pokok yang digumuli peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat.<br />Jika inti kehidupan masyarakat ada perubahan, maka dengan mendekatkan pendidikan terhadap masyarakat, diharapkan manusia yang dihasilkan dari pendidikan mampu berada pada posisi sentral dalam perubahan yang terjadi dan mampu pula mengarahkan serta mengendalikan perubahan itu. Pendidikan seperti inilah barangkali yang memiliki perspektif pemberdayaan<br /><br />Catatan Akhir ; Sebuah refleksi<br />Pelajaran yang bisa ditarik dari pemikiran Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?<br />Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo?<br />Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan :<br />Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.<br />Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah, bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?<br />Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.<br />Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara telah diamanati UUD?<br />Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil.<br />Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi. Saya pesimistis jika kedua kelompok itu telah terakomodir secara maksimal dalam RUU Sisdiknas. Jarang sekali mereka disinggung dalam perdebatan RUU ini. Karena itu, sudah saatnya kita memperhatikan sungguh-sungguh masa depan kedua kelompok ini. Pendidikan kita sudah seharusnya berpihak kepada mereka, bukan mengabdi kepentingan masyarakat dominan. Wallahu a’lam bi al-Showab</span></div>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-24689830286601054822008-05-11T19:46:00.000-07:002008-05-11T21:47:04.723-07:00Membangun Pembelajaran Sufistik<div align="center">Membangun Pembelajaran Sufistik;<br /><em>Mempertimbangkan Kesadaran Pluralitas dalam Pendidikan Islam</em> </div><div align="center">Imam Hanafi, MA<br /></div><div align="justify">Pengantar<br />Inti dari cita-cita pendidikan, terutama pendidikan agama Islam adalah terbentuknya manusia yang beriman, cerdas, kreatif, dan memiliki keluhuran budhi. Tugas utama pendidikan adalah upaya secara sadar untuk mengantarkan manusia pada cita-cita tersebut, dan pendidikan Islam juga memiliki fungsi mengarahkan kehidupan dan keberagamaan manusia kearah kehidupan Islami yang ideal.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Jika upaya pendidikan mengalami kegagalan dalam mengantarkan manusia kearah cita-cita manusiawi yang bersandar pada nilai-nilai ke-Tuhanan, maka yang akan terjadi adalah tumbuhnya prilaku-prilaku negatif dan destruktif, seperti kekerasan, ketidakpedulian sosial, dan lain sebagainya, yang semuanya itu mengakibatkan penderitaan semesta.<br />Berbagai prilaku-prilaku destruktif tersebut, yang sering muncul dinegara Indonesia, merupakan akibat dari belum munculnya pribadi-pribadi cerdas, kreatif, dan berbudhi luhur. Orang yang cerdas akan selalu menggunakan nalar manusiawinya secara benar dan obyektif dalam melihat realitas sosial. Orang yang kreatif, mempunyai pilihan-pilihan dalam memenuhi dan menjawab persoalan-persoalan hidupnya. Orang yang ‘Arif (seakar kata dengan ‘Urf, tradisi) dan luhur budhi (dalam bahasa agamanya al-Akhlâq al-Karîm), mampu menentukan pilihan yang paling tepat dan selalu menolak cara-cara kekerasan dalam mensikapi berbagai dilemma kehidupan. Kecerdasan dan kearifan yang bersumber pada daya kritis atas nilai diri dan sosial, sehingga mampu memberikan sinaran yang selalu tumbuh terhadap kepedulian pada sesama.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Apabila kita membuka kembali lembaran sejarah kekerasan dinegara kita, maka kita akan melihat kompleksitas kekerasan yang melibatkan ranah perbedaan pemahaman ke-Tuhanan atau keagamaan. Fakta ini dapat kita lihat, misalnya di Pekalongan (1995), di Tasikmalaya (1996), di Rengasdenglok (1997), di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997) juga Ambon dan Maluku (1999). Bahkan beberapa pengeboman yang terjadi pada akhir-akhir ini di Indonesia, mempunyai akar sangat kuat terhadap adanya perbedaan pemahaman (baca ; keyakinan) ke-Tuhanan. Padahal jauh sebelumnya, Arnold Toynbee (1975 – 1989) sudah memperingatkan kepada kita bahwa “tidak seorangpun dapat menyatakan dengan pasti, bahwa sebuah agama lebih benar dari agama lain”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Secara historis-sosiologis, pluralitas keagamaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, karena ia memang merupakan sunnatullah, sebab semua yang diciptakan didunia ini penuh degan keragaman. Agama lahir dan turun, tidak lepas dari konteks ruang dan waktu, sekaligus sangat terkait dengan kualitas individu dan mayarakat dalam memahami setiap pesan yang diajarkan setiap agama. Setiap orang atau masyarakat tertentu akan menggunakan simbol-simbol tertentu dalam mengekspresikan nilai keagamaan tersebut. Karena setiap individu dan kelompok masyarakat, mempunyai kultur yang beragam, maka ekspresi sebuah agama pun secara cultural dan simbolik, akan beragam pula. Contoh yang sangat sederhana adalah perbedaan bahasa. Sehingga meskipun pesan Keesaan Tuhan pada substansinya sama, tetapi formula bahasanya berbeda.<br />Oleh karena itu, realitas kemajmukan dan keberagaman yang hidup di Indonesia, merupakan kenyataan historis yang tidak terbantahkan oleh siapa pun. Dapat dibayangkan bagaiman kualitas tingkat kenyamanan, ketenangan, keharmonisan, dan kedamaian suatu masyarakat ber-Tuhan yang beragam atau pluralistic, jika masing-masing pihak (yang berbeda pemahaman ke-Tuhanan) tertutup untuk menklaim bahwa pemahaman dan tradisi keagamaan dirinyalah yang paling sempurna dan benar. Akan tetapi, akan menjadi sebuah perpecahan dan bahkan menimbulkan suasana saling mengancam, ketika hubungan keberagamaan manusia berkembang menjadi kesalah-pahaman. Sehingga menimbulkan prasangka-prasangka sosiologis dan teologis, yang pada akhirnya berujung pada sikap saling curiga antar umat beragama. Dan dapat kita lihat, selama berabad-abad sejarah interaksi umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan, dengan dalih “Demi mencapai ridho Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang Maha Kuasa”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />Dalam konteks inilah, pendidikan agama Islam sebagai salah satu media penyadaran umat, dihadapkan pada problem begaimana mengembangkan sebuah pemahaman ke-Tuhanan (teologi) yang inklusif dan pluralis. Sehingga masyarakat Islam akan menyadari akan keberagamaan yang plural. Dengan tertanamnya kesadaran akan adanya pemahaman yang multicultural dan pluralis, maka akan berimplikasi pada corak pemahaman ke-Tuhanan yang hanif dan toleran.<br /><br />Problem Teologis dalam Pendidikan Islam<br />Adalah menjadi sebuah persoalan, jika konsepsi subyektif sesorang tentang Tuhan termanifestasikan ke realitas sosial yang kemudian diklaim menjadi realitas obyektif. Karena jika kesadaran ber-Tuhan ini, didasarkan pada pemahaman subyektif, maka akan berimplikasi sangat luas pada ranah filosofi pendidikan Islam, terutama pada konsep pembelajaran tauhid kepada peserta didik. Dalam proses belajar mengajar, pemahaman subyektif tentang Tuhan ini, akan menjadikan proses pembelajaran tampak kaku dan doctrinal, bukan pada proses pengembangan sikap dan nalar kritis peserta didik. Akibatnya, muncul generasi yang bernalar “negatif” terhadap perbedaan dan heterogenitas.<br />Pendidikan agama pada selanjutnya, hanya menjadi beban yang memasung anak didik. Anak didik lalu merasa tertekan dan tersiksa, tanpa bisa menikmatinya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Inilah yang mungkin di sebut oleh Kurt Singer sebagai schwarzer paedaghogic.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> Tidak mengherankan jika kemudian, pelajaran agama justru menjadi belenggu dan momok bagi anak didik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI) misalnya, ditemukan bahwa pelajaran dan guru yang tidak favorit dikalangan siswa adalah pelajaran dan guru Agama.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> Salah satu penyebabnya, karena pendekatan yang digunakan biasanya sangat verbalistik, tidak menyentuh pada kesadaran emosional. Atau kata Nurcholis Madjid, ketika mengomentari hasil dari survey tim UI tersebut, pendekatan yang dipakai tidak adanya sentuhan Cinta kasih.<br />Pembelajaran ke-Tuhanan pada selanjutnya kurang menekankan, meminjam istilah Kuntowijoyo, obyektivikasi paham inklusif dan pluralisme dalam ber-Tuhan dilembaga-lembaga formal, seperti Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas bahkan Perguruan Tinggi. Hal ini, karena mengingat pelajaran Agama dilembaga-lembaga formal lebih mengarah pada semangat misionaris dan dakwah, yang senantiasa meneguhkan Truth Claim.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> Akibatnya, peserta didik sebagai pemeluk Agama, tergiring untuk mengatakan “hanya pemahamanku yang benar, dan yang lain adalah Kafir”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> Tidak heran jika kemudian ada sebuah Sekolah Dasar di kawasan Jakarta Selatan terjadi “tawuran” siswa antar pemeluk agama, setelah mereka belajar Agama di kelas.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br />Keadaan ini dikarenakan berangkat dari tradisi pengajaran di era klasik-skolastik, yang lebih cenderung menekankan aspek “keselamatan individu” dengan “Tuhan” mereka, ketimbang “keselamatan kolektif” dengan “Tuhan” mereka. Sehingga menjadikan siswa kurang sensitive atau kurang peka terhadap nasib penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, lebih-lebih yang kebetulan mempunyai “konsepsi” tentang Tuhan yang berbeda (baca : Agama lain). Demikian ini, bisa saja terjadi, karena adanya keyakinan yang sangat mengakar ; bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau seagama adalah “lawan” secara aqidah.<br />Tuhan yang selama ini dianggap atau diyakini oleh para pendidik adalah baik, rahman, rahim, ternyata berbeda dengan Tuhan yang diyakini orang lain. Perbedaan pemahaman tentang Tuhan ini, bukannya dijadikan sebagai bahan renungan akan keniscayaan pluralisme masyarakat, dan pemahaman tentang Tuhan, tetapi dijadikan sebagai ajang bagi proses “konservasi” (pengawetan) paham tersebut. Hal ini terbukti dengan materi-materi dasar agama, yang sangat jarang menyentuh pada isu-isu heterogenitas dan pluralisme paham atau agama.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a><br />Proses pembelajaran yang bersifat teosentris (atas nama Tuhan), akan melahirkan generasi yang lemah dalam kepekaan sosialnya, dalam arti kurang memiliki sense of sensibility, karena berpatokan pada “jaminan Teosentrisme” yang sangat egois. Tuhan dipandang sebagai hak miliknya, sementara orang lain yang mempunyai Tuhan yang berbeda, bukan bagian dari dirinya. Disamping itu, perbuatan-perbuatan amaliyah hanya berusaha bagaimana “membahagiakan” Tuhannya sendiri, bukan bagaimana juga “membahagiakan” Tuhan orang lain. Bahkan mengesampingkan upaya mensejahterakan, mengasihi, dan membahagiakan sesamanya. Disinilah humanisme menjadi kering, sehingga nilai-nilai profetik dari agama-agama terhambat oleh egoisme dalam beragama.<br /><br />Pluralitas Sebagai Sebuah Keniscayaan Ber-Tuhan<br />Jika dilihat dari sisi Tuhan,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> agama memang tunggal dan tidak ada pluralitas disana, karena Tuhan adalah Tunggal dan Mutlak. Tetapi jika dilihat dari aspek turunnya sebuah agama kewilayah manusia, maka agama menyejarah dalam kehidupan manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> Hal ini adanya perbedaan relatifitas waktu dan tempat. Sehingga responnya pun disesuaikan dengan tuntutan zaman dan kondisi historisnya. Maka ketika Allah mengutus Nabi dan Rasul-Nya, untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya (al-Wasiyah) kepada seluruh umat manusia, maka akan terjadi perbedaan syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran), karena adanya tuntutan ruang dan waktu tersebut.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> Di sinilah interpretasi manusia ikut berperan dalam menentukan kebenaran, yang tentunya disesuaikan dengan taraf pemahaman dan pengetahuan mereka.<br />Menurut Hamka, nama Tuhan itu dikenali dalam segala bentuk bahasa.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a> Berbagai nama muncul, menurut kesanggupan me-rasa dan memahami Tuhan. Namun semua itu, Wujud yang dinamai adalah yang satu itu juga. Bahkan terkadang Tuhan dimonopoli oleh suatu suku, atau suatu bangsa. Padahal segenap risalah (pesan-pesan Tuhan) itu menuju kepada satu sasaran, yaitu mengarahkan tujuan manusia kepada ajaran kesempurnaan. Pokok-pokok risalah dan aqidah pertama dari masing-masing adalah sama, tiada berbeda antara satu dengan yang lainnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a><br />Hal inilah yang menjadikan pluralisme menjadi sebuah keniscayaan dalam ber-Tuhan, karena ia adalah sunnatullah (aturan Allah), yang tidak akan berubah. Keniscayaan ini, harus dipahami sebagai landasan pengertian mendasar, bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang ditanggung oleh para pengikutnya masing-masing. Oleh sebab itu, pemaksaan terhadap seseorang atau kelompok, meskipun atas nama Kebenaran sekalipun, bukanlah suatu hal yang bijak. Karena pada diri manusia telah dibekali naluri untuk tunduk kepada Tuhan (fithrah) dan akal, yang mampu mempertimbangkan segala sesuatu kearah yang baik (taqwa) atau kearah yang buruk (fujûr). Dengan demikian, absolutisme yang hanya untuk kelompok tertentu, haruslah diganti dnegan sikap-sikap yang apresiasif, menghargai dan menghormati pemahaman yang mereka temukan sendiri. Misalnya “Konsepsi tentang Tuhan saya tidaklah musti sama dengan konsepsi Tuhan orang lain”.<br />Bagi Ibn Miskawaih, manusia yang paling baik adalah dia yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat baginya, yang mampu membedakan dirinya dengan alam yang ada. Seseorang yang pemikirannya lebih tepat dan benar serta pilihannya lebih baik, berarti kesempurnaan kemanusiaannya akan lebih besar.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> Kesempurnaan ini akan terjalin, ketika hal itu telah dirasakan oleh orang lain. Artinya, aktualisasi kebahagiaan privat (individu) mensyaratkan akan kebahagiaan public dalam skala lintas luas, termasuk lintas iman, yang dalam bahasa Kuntowijoyo adalah obyektivikasi.<br />Obyektivikasi adalah konkritisasi, upaya naturalisasi kebaikan, sebuah perbuatan rasional nilai yang diwujudkan dalam perbuatan rasional atau kategori-kategori obyektif, sehingga orang luar menikmati, tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal (keyakinan atau keberagaman internal). Dengan demikian, hal ini akan menghindarkan sekularisasi antara paradigma abstrak-praksis dan dominasi dalam masyarakat, mayoritas vs minoritas.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> Sebaliknya, keyika seseorang yang tidak mampu melakukan obyektivikasi, cenderung mengidentifikasi kebaikan sebagai milik “kami”, bukan “kita”, dalam kerangka kebersamaan.<br />Secara alamiyah, “kami” pada akhirnya akan mengkavling kebaikan sebagai produk paten dari sebuah keyakinan atau agama tertentu. Setiap yang Lain (the Others) harus menerima dan membayar royalty kebenaran, dengan cara mematuhi system mereka. Kondisi ini justru akan mereduksi makna universalitas dari sebuah agama. Imam Ali, mengatakan “Ada hak dan batil, dan masing-masing punya pengikut”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a><br />Mengenai semangat pluralitas ini, kaitannya dengan kesatuan tentang nilai-nilai universal dalam setiap agama, dapat kita lihat dari ungkapan Inayat Khan :<br />“Agama-agama banyak dan berbeda satu sama lain, tetapi hanya dalam bentuk, seperti air yang selalu merupakan unsur yang sama dan tak berbentuk. Ia hanya mengambil bentuk saluran atau bejana yang menahannya dan digunakan untuk tempatnya. Jadi, air mengubah namanya kepada sungai, danau, laut, arus, atau kolam, dan ia sama dengan agama. Kebenaran esensial adalah satu, tetapi aspek-aspeknya berbeda. Orang-orang yang berkelahi karena bentuk-bentuk luarnya akan selalu berkelahi, tetapi orang-orang yang mengakui kebenaran batin, tidak akan berselisih dan dengan demikian akan mampu mengharmoniskan orang-orang semua agama”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br /><br />Atau dalam konteks ini, Fritjhof Schoun mengatakan bahwa agama merupakan perpaduan antara dimensi eksoteris dan dimensi esoteris atau bentuk dan substansi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a> Secara eksoteris, agama merupakan wujud dari bentuk-bentuk sejarah manusia, yang mana bentuk-bentuk tersebut terkait oleh hukum-hukum alam. Yaitu mengalami penyusutan, perubahan dan perkembangan. Pada hakikatnya, bentuk-bentuk tersebut secara intrinsic adalah terbatas. Ia dibatasi oleh hakikat dan fungsinya sendiri. Oleh karena itu, bentuk-bentuk tersebut dimaksudkan untuk menjangkau pluralitas penganut suatu agama, maka dengan sendirinya menjadi tidak terima dan tidak menerima oleh bentuk-bentuk yang lain. Tanpa bentuk kebenaran universal, agama tidak dapat dimengerti oleh manusia. Meskipun bentuk-bentuk agama itu bersifat manusiawi, ia tetap berasal dari yang lebih tinggi dari manusia, ia berasal langsung dari Tuhan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a><br />Sedangkan dimensi esoteric agama bersifat universal, tunggal, mutlak dan abadi (religio premis), pada dimensi ini terdapat inti dari seluruh bentuk-bentuk agama. Meskipun dimensi ini lebih tinggi dari dimensi eksoteris, karena ia adalah hakikat dari kebenaran yang sejati. Namun, ia dapat dijangkau melalui simbol-simbol atau bentuk-bentuk. Bagi Schoun, pemahaman tentang perbedaan antara hakikat dan perwujudan, substansi dan bentuk atau esoteris dan eksoteris ini sangat penting. Schoun sepenuhnya menawarkan perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transcendent. Dari sinilah Fritjhof Schoun kemudian mengajarkan adanya kesatuan transcendent dan agama-agama (the transcendent unity of religion) yaitu kesatuan esoteris yang bersumber dari yang asal (Divine origin).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a><br />Fenomena wacana ini, dalam filsafat dikenal dengan filsafat perennial, sebuah aliran filsafat yang biasanya sering dijadikan referensi bagi kaum New Age,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a> yaitu sebuah pemahaman terhadap hakikat yang sama dalam setiap agama, artinya substansi sebuah agama pada hakikatnya adalah satu, tetapi dalam bentuknya ia beraneka ragam. Bagi Nurcholis Madjid menyebut istilah ini adalah “banyak jalan menuju Tuhan yang sama”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a><br />Dalam pandangan Ibn ‘Arabi tentang pemahaman ketuhanan, agama adalah “Universal”,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a> yaitu agama yang mistikal bukan theistikal, Tuhan yang tidak dapat disifati dan dibatasi oleh suatu papun. Sehingga semua agama mengarah pada satu jalan, yaitu “jalan lurus”, jalan menuju Tuhan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a> Maka, pluralitas akan tampak tunggal, ketika ia berakar pada Tuhan, al-Hâq. Yaitu pada sisi transendensi Tuhan, Dia adalah Mutlaq, al-Ahâdiyyah (kesesaan absolut), sementara pada wilayah imanensi, dimana Tuhan ber-tajalli melalui asma dan sifat-Nya pad semua ciptaan-Nya, Dia adalah plural, al-Wahdâniyyah (keesaan tak terhingga).<br />Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam memuat tentang bagaimana upaya optimalisasi terhadap kesadaran ber-Tuhan yang transenden. Kesadaran yang mengedepankan rasa aman, damai, lestari, abadi yang kemudian disertai dengan perasaan cinta dan kasih sayang diantara sesama. Selain itu, tujuan pendidikan Islam juga harus menekankan akan keniscayaan akan perbedaan pemahaman ketuhanan. Sehingga pendidikan Islam mengedepankan visi inklusivitas, yang mampu membentuk karakter manusia yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan. Yang pada akhirnya akan tercipta pemahaman kebersamaan antar umat beragama.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a><br /><br />Menuju Pembelajaran Sufistik ; Memperteguh Nilai Pluralitas<br />Kualitas pemahaman kita atas sesuatu hal, menentukan tingkat kecerdasan kita pada hal tersebut. Tingkat pemahaman sesorang tentang Tuhan, juga menentukan tingkat kecerdasan secara spritual terhadap Tuhan. Dalam diri manusia itu sendiri ada berbagai kecerdasan yang menyangkut hal-hal seperti keilmuan, spritualitas, kejiwaan, ekonomi sosial. Tingkat kecerdasan ini, juga tidak selalu dilambangkan dengan kejeniusan otak atau kemampuan menganalisa sesuatu, karena ia melibatkan kedalaman hati (deep insight), pemahaman, dan kearifan.<br />Sebagai contoh, dalam bidang psikologi kontemporer kita mengenal istilah Kecerdasan Spritual (SQ), yang diperkenalkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Menurut keduanya, SQ adalah kecerdasan yang berada dibagian diri yang dalam, berhubungan dengan kearifan diluar ego atau pikiran sadar. SQ adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hany mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi kita juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn30" name="_ftnref30">[30]</a> Sehingga, bagi kedua tokoh ini, SQ merupakan The Ultimate Intelligens, puncak kecerdasan. Meskipun SQ tidak bergantung pada agama, tetapi SQ telah membuat agama menjadi mungkin (bahkan mungkin perlu).<br />Dari perspektif SQ ini, kita dapat melihat bahwa ruang spritual pun memiliki kecerdasan. Maka diantara kita bisa saja tidak cerdas secara spritual, dengan mengekspresikan keagamaannya yang monolitik, eksklusif, dan intoleran, yang seringkali berakibat pada korban konflik atas nama Tuhan. Juga sebaliknya, diantara kita bisa saja sangat cerdas secara spritual, sejauh (keberagamaan) kita mengalir dengan penuh kesadaran, tidak bersama kesadaran semu dan palsu (the false consciosness), yang seringkali menipu kita. Tetapi dengan kesadaran hati, jiwa (the soul consciosness), yang menjadi pusat spritual SQ.<br />Karena itu pusat SQ adalah suara hati (consciosness). Suara yang paling jernih dalam hiruk pikuk kehidupan kita, yang tidak bisa ditipu oleh siapa pun, termasuk diri kita sendiri. Kebenaran sejati, sebenarnya erletak pada conscience ini, yang menjadi suara SQ. Karenanya SQ menyingkap kebenaran sejati yang lebih sering tersembunyi (hidden truth) di tengah adegan-adegan hidup yang serba palsu dan menipu. Ketika kita menjalani hidup ini dengan palsu dan suka menipu, maka kita pun akan menjadi the false self, diri yang palsu. Disinilah peran SQ, untuk selalu mengajak dan membimbing kita menjadi the genuine self, diri yang genuine, yang asli dan otentik.<br />SQ hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Kodrat SQ adalah self its self (fithrah dlam Islam), karena mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu kita berasal (“perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjid dan “alam surgawi” istilahnya Filsafat Perennial), dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Disinilah tradisi spritual Islam menawarkan jalan sufi (tasâwuf), sebagai pilihan cerdas untuh menembus kecerdasan ini.<br />Pada kenyataannya, khazanah tasawuf ini telah mempengaruhi tradisi psikologi Barat. Misalnya Zohar dan Marshall ini, yang secara terbuka telah mengutip puisi Rumi, untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn31" name="_ftnref31">[31]</a> Hal ini semakin mempertegas bahwa betapa kayanya tradisi spritual Islam. kecerdasan yang berbasis sufistik ini, akan memberikan kearifan beragama yang lebih menekankan dimensi ruhaniyyah, dimensi esoteris dari sebuah agama.<br />Lewat kemampuan sufistik, yang berupaya menggali makna batini (the inner meaning) sebuah agama, menembus batas-batas eksoteris sebuah agama, tasawuf menjadi garda depan untuk melakukan diaolog antar Islam sekaligus dengan agama diluar Islam. hal ini dapat kita jumpai dari sikap tolerasi, simpati dan keterbukaan serta keramahan para sufi terhadap agama-agama lain. Misalnya al-Hallâj,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn32" name="_ftnref32">[32]</a> Dara Sikoh, seorang sufi dari thariqoh Qadiriyyah yang berusaha menjembatani jurang pemisah antara Islam dan Hinduisme dan mencapai suatu “pertemuan dua lautan”,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn33" name="_ftnref33">[33]</a> Inayat Khan yang menyebutkan bahwa semua agama secara esensial adalah satu, karena tugas dari setiap agama adalah mengembangkan jiwa kesatuan,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn34" name="_ftnref34">[34]</a> begitu juga Ibn ‘Arabi yang mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat disifati dan dibatasi oleh suatu apapun, yaitu suatu agama yang mistikal bukan sekedar theistikal. Juga dapat kita lihat penegasan Jalaluddin Rumi dalam sebuah syairnya “Aku bukanlah Muslim atau Kristen, Yahudi ataupun Zoroastrian. Aku bukanlah bumu ataupun langit, aku bukan raga ataupun jiwa”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn35" name="_ftnref35">[35]</a> Inilah universalitas agama para sufi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn36" name="_ftnref36">[36]</a><br />Pembelajaran sufistik ini merupakan proses pembelajaran yang berupaya menggali dan memperkokoh kesejatian iman siswa, dengan memperteguh sikap-sikap toleran, keterbukaan, dan keramahan terhadap “keyakinan” orang lain. Atau dalam istilahnya Zully Qadir adalah “pembelajaran perspektif batiniyyah”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn37" name="_ftnref37">[37]</a> Bahkan menurut Kuntowijoyo, kita perlu memasukkan kembali khazanah sufisme dalam dunia pendidikan Islam kita. Sebab untuk mentransendensikan hidup kita, manusia perlu mengambil nilai-nilai ajaran tasawuf, karena kekayaan yang terkandung didalamnya sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn38" name="_ftnref38">[38]</a> Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sstra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn39" name="_ftnref39">[39]</a> Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (ketuhanan).<br />Untuk menuju kearah pembelajaran sufistik tersebut, selain aspek kurikulum yang harus memuat isu-isu pluralitas, juga harus memahami kembali filosofi dan tujuan pendidikan agama,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn40" name="_ftnref40">[40]</a> serta pendekatan. Pendekatan yang selama ini hanya menitik beratkan pada pola kebenaran doctrinal dan dogmatis, yaitu dalam pengertian sangat menonjolkan kelebihan dan mengunggulkan agama yang satu, serta memperlemah dan mendiskreditkan absolutisme agama lain, harus beralih kepada pendekatan yang bebas dari penilaian terhadap suatu agama.<br />Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.<br />Amin Abdullah menambahkan bagaimana mengembangkan metodologi dan materi pendidikan agama yang relevan dengan konteks tuntunan dan tantangan zaman.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn41" name="_ftnref41">[41]</a> Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan ; Pertama, mengembangkan pembelajaran yang mengungkap sisi kesamaan ajaran dalam setiap kitab suci. Yaitu persamaan asasi antar semua kitab suci adalah Ketuhanan Yanag Maha Esa, yang merupakan nilai paling intrinsic dari setiap agama. Sementara nilai ekstrinsik aksidental dalam setiap agama, yang berupa symbol-simbol syari’ah dan ritual, harus dipahami sebagai sebuah keniscayaan dalam setiap pemahaman seseorang ketika menangkap setiap pesan Tuhan. Oleh karena itu, jangan dijadikan sebagai sumber konflik dan disharmoni, karena selain sifat ekstrinsik dari agama, masih ada sifat yang lebih fundamental, yaitu nilai-nilai intrisik-substansial.<br />Kedua, paradigma “kesalehan ritual” dan “kesalehan individu”harus diimbangi dengan “kesalehan sosial”. Karena terwujudnya kemanusiaan universal adalah ketika bagaimana keadilan sosial dapat ditegakkan. Dalam istilah lain adalah social contact, dimana semua individu dan kelompok mempunyai platform, hak, dan kewajiban yang sama, meskipun terdapat perbedaan ras, suku, golongan, agama, dan kepercayaan yang dianut.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn42" name="_ftnref42">[42]</a> Sehingga, perbedaan antar kelompok penganut agama, bisa saling bekerja sama, serta saling bahu membahu demi terciptanya kemanusiaan universal.<br />Ketiga, pembelajaran kalam dan teologi, mestinya dibarengi dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang lebih menekankan pada filsafat sosial. Sehingga, pembahasanya lebih terbuka, substansial, dan tidak tersekat oleh predisposisi-predisposisi dan prakonsepsi-prakonsepsi yang selama ini di bangun dan dilestarikan oleh pembelajaran kalam dan teologi tradisional.<br />Lebih lanjut, pembelajaran sufistik ini membutuhkan metode kontemplatif dan reflektif-transendental. Inayat Khan mengartikan kontemplatif ii adalah kemampuan mempertahankan ide yang mengarah pada kesadaran manusia terhadap aktifitas duniawi yang menyibukkan. Dari kontemplatif ini, manuisa kemudian dapat memurnikan diri sendiri, membersihkan diri sendiri, membuka diri pada setiap cahaya kebenaran, dan dapat menyatukan jiwanya sendiri. Di sini, yang menjadi tujuan adalah realisasi Tuhan dalam setiap aktifitas manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn43" name="_ftnref43">[43]</a> Kontemplatif ini mencoba melibatkan aktifitas intuitif manusia dalam mewarnai setiap sesuatu, secara lebih mendalam, sehingga sampai pada hati nurani manusia yang terdalam.<br />Sedangkan reflektif-transendental adalah suatu kerangka yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, melihat permasalahan yang ada disekitar siswa. Sehingga pendidikan dapat menimbulkan perubahan dalam prilaku siswa dalam setiap aktivitas keseharian, yang tercermin dalam prilaku yang luhur, nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dan lain sebagainya, yang mampu mengantarkan siswa pada yang Transenden. Di sini siswa diajak untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan, malui sajian naratif guru atas materi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn44" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn44" name="_ftnref44">[44]</a> Penyajian naratif ini perlu menyampaikan beberapa pendapat tentang materi yang dibahas, tujuannya agar siswa lebih arif dan bijak dalam menyikapi setiap perbedaan.<br />Pendekatan reflektif-transendental ini, bertujuan untuk mampu memancing alam bawah sadar siswa. Konsep alam bawah sadar dan alam sadar manusia ini, sesungguhnya merupakan bagian dari setiap sisi pengalaman manusia. Akan tetapi, ada perbedaan yang khas antara keduanya. Jika alam sadar merupakan pengalaman yang telah terkanstrukl dengan baik dalam memori pikiran dan imajinasi seseoranag, maka alam bawah sadar adalah pengalaman atau kesadaran yang belum terkonstruk dalam pikiran dan imajinasi seseorang. Oleh karena itu, penekanan pada proses pembelajaran dengan pendekatan ini adalah bagaimana guru mampu memunculkan persoalan-persoalan di luar atau yang contaminate (“mengotorkan”) alam sadar dan memancing alam bawah sadar siswa.<br />Secara normative, model ini pernah dilakukan oleh Rasulullah, ketika ada salah seorang shahabat yang memohon untuk diperkenankan melakukan zina. Jawab Rasul pada saat itu, “Bagaimana perasaan kamu, jika orang lain menzinai orang tua kamu, atau saudara-saudara kamu?”. Sebuah jawaban, sekaligus pertanyaan yang berupaya menghentakkan alam bawah sadar shahabat tersebut, bahwa zina yang selama ini terkonstruk dengan baik dan indah dalam memori pikirannya, ternyata mampu menghantui ruang sadarnya.<br />Pendekatan reflektif-transendental juga membutuhkan share dan diskusi untuk mencoba membangun experience explore (pengungkapan pengalaman), yaitu siswa di coba untuk mengetahui kebenaran sesuatu, dengan melibatkan seolah-olah siswa menemukan sendiri kebenaran tersebut, meskipun guru tahu nilai dan kebenaran yang harus dimiliki oleh siswa.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn45" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn45" name="_ftnref45">[45]</a> Sehingga siswa lebih menguasai, menangkap dan mengalami sendiri.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn46" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn46" name="_ftnref46">[46]</a><br />Selain itu model pendekatan reflektif-transendental ini, berupaya untuk memperkukuh nilai estetika dalam pembelajaran, yaitu pembelajaran yang tidak menekankan terhadap otoritas-otoritas kebenaran “paham” atau keberagamaan tertentu, melainkan lebih menekankan pada apresiasi terhadap gejala-gejala yang terjadi di masyarakat, melalui proses dialogis dan mencari bersama.<br />Model ini pernah dilakukan oleh Dennis Collins, ketika ia memberikan penafsiran tentang filsafat realitas Poulo Friere, yang ia sebut sebagai “memahami realitas, melibatkan proses mengetahaui”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn47" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn47" name="_ftnref47">[47]</a> Artinya, siswa ditempatkan pada proses dialektikanya agar bisa eksis didalamnya. Yaitu yang memliki kemampuan merasakan dan menghayati sekaligus mengerti realitas sebenarnya, yang mampu berdialog sengan sesama ciptaan Tuhan.<br /><br />Penutup<br />Ada baiknya kita memahami Tuhan sebagai Wujud Yang Tak Terbatas, sehingga kita tidak melakukan reduksi terhadap universalitas pesan Tuhan. Sebab akan menghilangkan absolutisme kebenaran dalam ber-Tuhan. Pada proses pembelajarannya nanti, Tuhan dipahami sebagai Wujud Yang Indah, Agug, Suci dan seterusnya, juga memahami-Nya melalui segala ciptaan-Nya. Konsep “kafir”, yaitu sebuah “sebutan” bagi orang-orang yang berbeda konsepsi dalam memahami Tuhan, sangat perlu untuk dihindari, karena akan berpengaruh pada perlakuan atau sikap antara satu dengan yang lainnya.<br />Implikasi lebih jauh adalah sikap egoisme pendidik, untuk men-tuhan-kan sikap keagamaannya, yang ditandai dengan keharusan siswa untuk mengikuti pemahaman yang dimiliki sang guru. Di sinilah sangat diperlukan sikap-sikap keteladanan dan pengalaman nilai-nilai ke-Tuhanan yang inklusif, pluralis dan toleran terhadap setiap perbedaan pemahaman ke-Tuhanan dari seluruh sivitas akademika (Kepala Sekolah, guru, siswa, TU, penjaga sekolah, tukang kebon, dll).<br />Sikap-sikap mengasihi dan menyayangi antar kelompok tersebut, perlu dihidupkan di sebuah lembaga pendidikan dalam setiap aktivitas keseharian. Sikap egois dan arogansi sekecil apapun, akan membuat upaya pendidikan yang bercita-cita luhur dalam membangun sikap saling mempercayai, menjadi sikap saling mencurigai, egoistis, dan eksklusif.<br />Sama sekali jauh dari pikiran penulis, untuk mencampuradukkan semua agama, atau untuk menyamakan semua agama, atau untuk mengecilkan arti agama Islam. sebab kesetiaan seseorang terhadap agama tidak boleh berkurang. Seperti kata Dunne, agama-agama yang diyakini seseorang ibarat “tanah air” baginya dan agama-agama lain ibarat “negeri ajaib” atau “negeri asing”. Ibarat “tanah air”, suatu agama harus dicintai oleh penganutnya sendiri. Ibarat “negara asing”, agama-agama lain tidak musti sama dengan kita atau tidak musti dijauhi dan di musuhi, tetapi sebaliknya, lebih baik didekenali, dikunjungi , didialogi, dan diakrabi, agar dapat mengambil pengalaman yang sangat berharga untuk memperkaya pengalaman keagamaannya sendiri.pengalaman yang diperoleh di “negeri asing” agama-agama lain, dapat digunakan untuk memperkaya pengalaman dan untuk membangun “tanah air” agama sendiri.<br />Rasa takut untuk melakukan pengembaraan spritual kedalam jantung agama-agama lain, perlu dihindari. Tentu saja proses pengembaraan itu, harus disertai dengan persiapan “bekal” pengetahuan tentang agamanya sendiri. Jangan sampai upaya ini tidak berangkat dari agamanya sendiri.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Abdul Munir Mulkhan, 1993. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah, Yogyakarta : SIPRESS.<br />__________________, 2000. “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000.<br />Alwi Shihab. 1998. Islam Inklusif, Bandung : Mizan.<br />Andito, “Obyektivikasi Islam” dalam Jurnal Al-Huda, vol. 2, No 8, 2003, hlm 1.<br />AE. Afifi, 1989. Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi (trj). Jakarta : Gaya Media Pratama.<br />Amin Abdullah, 2002. “Kerukunan Umat Beragama ; Perspektif Filosofis-Pedagogis” dalam Jurnal Multikultural dan Multireligius. Tahun 2002.<br />____________, 2000. “Agama dan Harmoni Kebangsaan ; Perspektif Pemikiran Islam Kontekstual” dalam Tim PPN (ed). Agama dan Harmoni Kebangsaan dalam Perspektif Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. (Yogyakarta : PP. Nasyiatul ‘Aisyiyyah.<br />____________, 2001. “Pengajaran Klalam dan Theologi dalam Era Kemajmukan di Indonesia ; Sebuah Tinjauan Materi dan Metode” dalam Th. Sumarthana (ed), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.<br />Abdul Hadi WM, 1998. “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998.<br />AG. Hardjana, dkk, 2001. Pendidikan Religiusitas Sebagai Pengganti Pendidikan Agama ; Usaha Terobosan Pendidikan humaniora. Yogyakarta : LPKP.<br />Danah Zohar dan Ian Marshall. 2001. SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, (trj), Bandung : Mizan.<br />Dennis Collins, 1999. Poulo Friere ; Kehidupan dan Karya Pemikiarannya, (trj), Yogyakarta : Pustaka Pelajar.<br />Fritjhof Schoun, 1975. The Trancendent Unity of Religions, New York : Harper & Row.<br />Fathimah Ustman. 2002. Wahdâtul Adyân ; Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta : LKiS.<br />Huston Smith, 2002. Islam (trj), Yogyakarta : Pustaka Sufi.<br />Hamka. 1985. Filsafat Ketuhanan. Surabaya : Karunia.<br />Hazrat Inayat Khan. 2003. Kesatuan Ideal Agma-Agama, (trj), Yogyakarta : Putra Langit.<br />Inayat Khan, 2002. Kehidupan Spritualitas ; Tiga Esai Klasik Tentang Kehidupan Ruhani, (trj), Yogyakarta : Pustaka Sufi.<br />Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung : Mizan.<br />__________, 1998. “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember.<br />Kautsar Azhari Noer, 1994. “Memperkaya Pengalaman Keagamaan Melalui Dialog” Dalam Ulumul Qur’an, Edisi khusus no 5 & 6 vol. V, Tahun 1994,<br />­_________________, 1999. “Menyemarakkan Dialog Agama (Persapektif Kaum Sufi)” dalam Edy A. Effendi (ed), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, Bandung : Zaman Wacana Mulia.<br />_________________, 2003. Tasawuf Perennial ; Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : Serambi.<br />Komaruddin Hidayat, 1996. Memahami Bahasa Agama ; Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta : Paramadina.<br />________________, 2002. “Ketika Agama Menyejarah” dalam al-jami’ah, vol. 40. No 1, January - Juni 2002.<br />Luthfi Asyaukani, 2003. “Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Umum” dalam Kompas, edisi Sabtu 11 Maret 2003.<br />Muhammad Wahyuni Nafis, “Membangun Islam Inklusif dalam Kehidupan” Dalam Kompas, edisi 3 Agustus 2001<br />Moch. Kosim, 2003. Pluralisme Agama dalam Pendidikan Agama Islam ; Telaah Atas Materi Pendidikan Agama Islam Untuk SMU Kurikulum 1994, Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Kalijaga, 2003.<br />M. Salthut, 1994. Aqidah dan Syari’ah Islam, (trj), Jakarta : Bumi Aksara.<br />Nurcholis Madjid, 1995. Islam Agama Kemanusiaan ; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia. Jakarta : Paramadina.<br />_____________, 1999. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina.<br />Paul Suparno, “Pendidikan Agama di Sekolah Model KBK” dalam Basis, No 07 – 08, tahun ke 52, juli – Agustus 2003, hlm 31 – 32.<br />ST. Sunardi. 2002. “Ilmu Sosial Berbasis Sastra ; Sebuah Catatan Awal” dalam Basis, nomor 11 – 12 tahun ke-15, November – Desember 2002.<br />Sukidi. 2001. New Age ; Wisata Spritual Lintas Agama, Jakarta : Gramedia.<br />Zully Qadir, “Dibutuhkan Pendidikan Agama yang Menjiwai” dalam Kompas, edisi Sabtu 15 Maret 2001.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> AbdulMunir Mulkhan. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah, (Yogyakarta : SIPRESS. 1993) hlm 237.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000, hlm 11.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Di kutip dari catatan Khamami Zada “Memebebaskan Pendidikan Islam dari Eksklusifisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000, hlm 2 – 3.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Alwi Shihab. Islam Inklusif, (Bandung : Mizan. 1998) hlm 40.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Jamaluddin “Matrealisme dalam Pendidikan Agama”. Loc Cit.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Sebagaimana yang disebut oleh Sindhunata dalam Harian Kompas, edisi 19 februari 2001.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Media Indonesia, edisi 23 April 2001.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Media Indonesia, edisi 3 Mei 2001.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Muhammad Wahyuni Nafis, “Membangun Islam Inklusif dalam Kehidupan” Dalam Kompas, edisi 3 Agustus 2001<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Lihat misalnya kasus dialogis yang dilakukan oleh Kautsar Azhari Noer dengan temannya, santri Pondok Modern Gontor pada tahun 1973, dalam salah satu pembicaraan mereka, sang teman tadi berkata kepada Kautsar Azhari Noer “Jika orang Kristen lewat di depan rumahku, maka aku akan lempar dia dengan batu, karena ia Kafir”. Lihat Kauttsar Azhari Noer, “Memperkaya Pengalaman Keagamaan Melalui Dialog” Dalam Ulumul Qur’an, Edisi khusus no 5 & 6 vol. V, Tahun 1994, hlm 105.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Muhammad Wahyuni Nafis, Op Cit.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Menurut penelitian Kosim, dalam kurikulum SMU tahun 1994 telah terdapat semangat pluralisme. Tetapi materi kerukunan umat beragama itu tidak serta merta kuat untuk membentuk karakter siswa yang sensitive terhadap perbedaan dan pluralisme. Hala ini menurut Kosim, dikarenakan kurangnya porsi waktu dan perhatian terhadap tema kerukunan umat beragama tersebut. Lihat laporan Skripsi Moch. Kosim. Pluralisme Agama dalam Pendidikan Agama Islam ; Telaah Atas Materi Pendidikan Agama Islam Untuk SMU Kurikulum 1994, Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Kalijaga, 2003.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Karena setiap agama menyakini akan kemutlakan Tuhan Yang Esa, tidak ada satu pun agama yang mamandang Tuhan sebagai wujud yang mejemuk.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Salah satu tulisan yang membahas tentang aspek “kesejarahan” dari agama (Islam) dapat dibaca tulisan Komaruddin Hidayat, “Ketika Agama Menyejarah” dalam al-jami’ah, vol. 40. No 1, January - Juni 2002.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Nurcholis Madjid. Islam Agama Kemanusiaan ; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di Indonesia. (Jakarta : Paramadina. 1995) hlm 138 – 139.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Hamka. Filsafat Ketuhanan. (Surabaya : Karunia. 1985) hlm 37.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> M. Salthut. Aqidah dan Syari’ah Islam, (trj), (Jakarta : Bumi Aksara. 1994) hlm 28.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Andito, “Obyektivikasi Islam” dalam Jurnal Al-Huda, vol. 2, No 8, 2003, hlm 1.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. (Bandung : Mizan. 1997) hlm 66 – 68.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Ali Bin Abi Thalib, Najhul Balaghoh, khutbah 16.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Hazrat Inayat Khan. Kesatuan Ideal Agma-Agama, (trj), (Yogyakarta : Putra Langit. 2003) hlm 28.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Fritjhof Schoun, The Trancendent Unity of Religions, (New York : Harper & Row. 1975) hlm 7 – 13.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> Ibid.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> Ibid.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Sukidi. New Age ; Wisata Spritual Lintas Agama, (Jakarta : Gramedia. 2001) hlm 43.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> Dalam salah satu bukunya Nurcholis Madjid mencatat bahwa : “sebaik-baiknya agama disisi Allah adalah semangat mencari kebenaran yang lapang, tidak sempit, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa yang terbuka. Sebab itu Islam harus dipahami sebagai ajaran dan cita-cita yang intinya adalah sikap hidup berserah diri kepada Tuhan”. Di tambahkan pula bahwa “Islam adalah sebuah ide, sebuah cita-cita kemanusiaan yang universal. Pemahaman kita tentang Islam adalah pemahaman yang terbuka, yang karena keterbukaannya, ia bersikap inklusif dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Lihat Nurcholis Madjid. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. (Jakarta : Paramadina. 1999).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> Agama “Universal” ini dapat di identifikasi melalui salah satu syair Ibn ‘Arabi, My heart has became capable of every form ; it is a pastore for gazelles and a convent for Cristian monks. And a temple for idols and the pilgrim’s Ka’ba and the tables of the torah and the book of the Koran. I follow the religion of the Love ; Whothever way Love’s camels take, that is my religion and the my faith. (Sungguh hatiku telah menerima setiap bentuk, yaitu padang gembala untuk dua kijang dan Kuil untuk dua pendeta. Dan rumah berhala-berhala, Ka’bah orang thawaf, lembaran-lembaran Taurat, dan al-Qur’an. Apakah itu agama dengan agama Cinta ; aku sedang menghadap susunan-susunannya, karena Cinta itu agamaku dan imanku). SH. Nasr. The Trhee Muslem Sages, hlm 118.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a> Istilah lainnya adalah al-Thâriq al-Amâm, yaitu “jalan kesatuan Esensial”. Lihat AE. Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi (trj). (Jakarta : Gaya Media Pratama. 1989) hlm 203.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref29" name="_ftn29">[29]</a> Lihat Amin Abdullah, “Kerukunan Umat Beragama ; Perspektif Filosofis-Pedagogis” dalam Jurnal Multikultural dan Multireligius. Tahun 2002, hlm 25 – 37.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref30" name="_ftn30">[30]</a> Danah Zohar dan Ian Marshall. SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, (trj), (Bandung : Mizan. 2001) hlm 8 – 9.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref31" name="_ftn31">[31]</a> Teks lengkapnya, dapat dilihat dapa bukunya halaman 9.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref32" name="_ftn32">[32]</a> Perbincangan panjang mengenai pandangan al-Hallâj ini, dapat dibaca bukunya Fathimah Ustman. Wahdâtul Adyân ; Dialog Pluralisme Agama. (Yogyakarta : Lkis. 2002).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref33" name="_ftn33">[33]</a> Lihat Kautsar Azhari Noer. “Menyemarakkan Dialog Agama (Persapektif Kaum Sufi)” dalam Edy A. Effendi (ed), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung : Zaman Wacana Mulia. 1999) hlm 74 – 75.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref34" name="_ftn34">[34]</a> Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perennial ; Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : Serambi. 2003) hlm 46.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref35" name="_ftn35">[35]</a> Di kutip dari Huston Smith, Islam (trj), (Yogyakarta : Pustaka Sufi. 2002) hlm 114.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref36" name="_ftn36">[36]</a> Mengenai agama universal ini, Komaruddin memberi catatan ; Pertama, jika universalitas dipahami sebagai uni-verse, maka Islam adalah tunggal, unik, tidak terpecah-pecah, telah sempurna. Kedua, maka Islam berlaku dimana saja, melewati batas-batas suku, wilayah bangsa dan benua. Lihat Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama ; Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta : Paramadina. 1996) hlm 88 – 90.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref37" name="_ftn37">[37]</a> Zully Qadir, “Dibutuhkan Pendidikan Agama yang Menjiwai” dalam Kompas, edisi Sabtu 15 Maret 2001.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref38" name="_ftn38">[38]</a> Kuntowijoyo menyebutkan ; “Substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), Rajâ’ (sangat berharap), Qonâ’ah (menerima pemberian Allah), Tawakkal ((pasrah), Syukûr, Ikhlâs dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct theaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh Nabi, para Shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan. Demikian juga sejarah, mitos dan sastra”. Lihat Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref39" name="_ftn39">[39]</a> Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, hlm 184.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref40" name="_ftn40">[40]</a> Kesalahan yang menurut Luthfi Asyaukani terhadap pendidikan kita adalah agama di pandang sebagai sumber kebaikan dan ketentraman, yang bisa memnyelesaikan persoalan-persoalan moralitas. Sementara pelajaran agama mendapat porsi yang sangat kecil, dan pelajaran-pelajaran umum dilepas tanggung jawabnya dari pesan-pesan moral, khususnya sekolah-sekolah umum. Lihat tulisan Luthfi Asyaukani, “Pendidikan Agama Melalui Pelajaran Umum” dalam Kompas, edisi Sabtu 11 Maret 2003.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref41" name="_ftn41">[41]</a> Amin Abdullah, “Agama dan Harmoni Kebangsaan ; Perspektif Pemikiran Islam Kontekstual” dalam Tim PPN (ed). Agama dan Harmoni Kebangsaan dalam Perspektif Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. (Yogyakarta : PP. Nasyiatul ‘Aisyiyyah. 2000) hlm 10 – 13.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref42" name="_ftn42">[42]</a> Lihat Amin Abdullah, “Pengajaran Klalam dan Theologi dalam Era Kemajmukan di Indonesia ; Sebuah Tinjauan Materi dan Metode” dalam Th. Sumarthana (ed), Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2001) hlm 254.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref43" name="_ftn43">[43]</a> Dengan realisasi ini, maka seseorang telah memenuhi spritualnya sendiri. Lihat Inayat Khan, Kehidupan Spritualitas ; Tiga Esai Klasik Tentang Kehidupan Ruhani, (trj), (Yogyakarta : Pustaka Sufi. 2002) hlm 66.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn44" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref44" name="_ftn44">[44]</a> Sajian naratif ini sangat penting, jika dimbangi dengan sastra, karena lebih memanjakan imajinasi sosial. Menurut ST. Sunardi, teori naratif ini telah memberikan tatanan baru dalam menyoal tentang sosial. Sebab dalam proses pengisahan ini, seseorang bukan saja hanya mencari tempat tatanan, melainkan berusaha menata dunia, dimana ia hidup yang lebih dinamis, pluralis, dan relasional. Lihat ST. Sunardi. “Ilmu Sosial Berbasis Sastra ; Sebuah Catatan Awal” dalam Basis, nomor 11 – 12 tahun ke-15, November – Desember 2002, hlm 13.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn45" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref45" name="_ftn45">[45]</a> Model ini telah banyak dikembangkan oleh Tim Puskat Semarang, yaitu melalui pengembangan pendidikan religiusitas. Lihat buku yang ditulis oleh AG. Hardjana, dkk, Pendidikan Religiusitas Sebagai Pengganti Pendidikan Agama ; Usaha Terobosan Pendidikan humaniora. (Yogyakarta : LPKP. 2001).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn46" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref46" name="_ftn46">[46]</a> Bandingkan dengan tulisan Paul Suparno, “Pendidikan Agama di Sekolah Model KBK” dalam Basis, No 07 – 08, tahun ke 52, juli – Agustus 2003, hlm 31 – 32.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn47" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref47" name="_ftn47">[47]</a> Dennis Collins, Poulo Friere ; Kehidupan dan Karya Pemikiarannya, (trj), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1999) hlm 74.</div>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-53773492682121807792008-05-08T02:43:00.000-07:002008-05-13T22:02:41.802-07:00Trimakasih Israel<div align="center">Terimakasih Israel</div><div align="center">Imam Hanafi, MA</div><div align="justify"><br />Tiga minggu sudah, engkau “membabat habis” negeri Libanon. Lima ratus jiwa lebih engkau paksa untuk memenuhi panggilan Tuhan, yang hampir delapan puluh lima persen adalah warga sipil yang tidak berdaya yaitu anak-anak dan perempuan. Di tengah kebisuan dan ketidakberdayaan Dunia (PBB), engkau semakin tidak peduli dengan teriakan-teriakan kesakitan anak-anak manusia yang tak berdosa.<br />Rentetan dan dentuman roket yang engkau kirim ke Libanon dan sekitarnya, mengalahkan suara jeritan dan tangisan anak-anak dan wanita yang tengah terlelap dalam dekapan malam. Senyum yang selalu di dambakan oleh setiap warga lemah, justru engkau ganti dengan kucuran air mata.<br />Kondisi inilah, menjadikan Hizbullah melegitimasi kekerasan yang ia lakukan sebagai sebuah hal yang lumrah. Begitu juga warga Dunia yang masih mempunyai hati nurani atas korban kemanusiaan, akan membenarkan sikap-sikap “pembalasan” atas apa yang engkau lakukan. Karena perdamaian (bahasa politiknya “genjatan senjata”) yang mereka inginkan, justru muntahan peluru yang engkau berikan.<br />Tiba-tiba saya ingat akan pernyataan Nelson Mandela ketika ia melakukan pembelaan di pengadilan penghianatan Rivona. Di sana ia menyatakan “Saya dan kawan-kawan yang memulai organisasi tersebut, melakukan karena dua alasan ; Pertama, kami yakin bahwa sebagai akibat kebijakan pemerintah, kekerasan oleh rakyat Afrika menjadi tidak terhindarkan. Dan akan muncul terorisme yang dapat membuahkan penyiksaan dan permusuhan yang intensif antar ras yang berbeda dinegeri ini. Bahkan tidak dihasilkan oleh peperangan, kecuali jika kepemimpinan yang bertanggungjawab diberikan untuk menyalurkan dan mengendalikan rakyat kami. Kedua, kami merasa bahwa tanpa kekerasan tidak ada jalan yang terbuka bagi masyarakat Afrika untuk berhasil dalam perlawanan mereka melawan prinsip supremasi kaum putih. Semua cara untuk mengekspresikan oposisi yang sesuai dengan hokum terhadap prinsip ini, telah ditutup oleh undang-undang dan kami berada dalam posisi harus menerima bahwa kami lebih rendah atau kami menentang pemerintah. Maka kami memilih menentang hukum. Awalnya kami melawan hokum dengan cara menghindari terjadinya kekerasan. Tetapi ketika hal itu dinilai melawan Undang-Undang dan pemerintah menggunakan kekerasan untuk menghancurkan setiap bentuk perlawanan terhadap kebijakannya. Maka sejak saat itulah kami memutuskan menjawab kekerasan dengan kekerasan”<br />Begitu kira-kira pernyataan Nelson Mandela, yang berjuang untuk bangsanya. Kekerasan justru dia lawan dengan kekerasan pula, karena tidak ada jalan lain untuk melakukan perlawanan, kecuali dengan kekerasan. Meskipun pada mulanya ia berjuang untuk menegakkan hukum, yaitu memperjuangkan hak-hak warga “kulit hitam” atas dominasi kulit putih melalui jalur hokum, tetapi upaya itu justru dibalas dengan penindasan, penyiksaan, pemerkosaan, dan lainnya. Maka tidak ada jalan bagi mereka untuk melakukan perlawanan, kecuali dengan kekerasan.<br />Begitu juga, dengan yang engkau lakukan. Bahwa kekerasan yang kami lakukan adalah refleksi dari serangakaian kebiadaban yang engkau sebarkan atas dunia Islam. Bahwa perjuangan yang kami lakukan adalah karena dominasi yang engkau lakukan terhadap Negara-negara dunia, sehingga mereka memicingkan mata untuk menghentikan kebrutalan yang engkau lakukan. Maka jangan salahkan kami, jika kami umat Islam bersatu, berjihad bersama untuk membalas kebiadaban yang engkau lakukan.<br />Akan tetapi, ditengah kebiadaban yang engkau lakukan, wahai Israel, saya sangat berterimakasih atas itu semua. Dengan kebiadaban dan kebrutalan yang engkau ciptakan, telah menyadarkan kami tentang bahaya zionis yang engkau lakukan. Invasi yang telah engkau lakukan, telah mambangkitkan semangat jihad baru yang selama ini kami hanya “tersipu” untuk menyebutmu sebagai “musuh sejati”. Kami semakin sadar, bahwa membalas kesadisan yang engkau lakukan adalah sebuah jihad yang harus kami tempuh bersama.<br />Terimakasih Israel, engkau telah menghantarkan nyawa-nyawa kami untuk menjadi syahid (saksi akan kebiadabanmu dihadapan Tuhan). Engkau telah membangkitkan semangat martil-martil Islam, yang lebih hebat yang engkau duga, sebagaimana para mujahid kami yang menggulung kaum Komunis-Uni Soviet di Afganistan.<br />Terimakasih Israel, “penghianatan kemanusiaan” yang engkau tampilkan atas Libanon justru membuat kami semakin bangkit untuk menggalang solidaritas dan kebersamaan kemanusiaan, baik sesama kami umat Islam maupun terhadap agama-agama lain yang sama-sama mengutukmu.<br />Sekali lagi, saya mengucapkan terimakasih pada engkau Israel, bahwa apa yang selama ini engkau lakukan, yang selalu mendapat restu oleh “gedung putih”, atas Palestina, Hizbullah, dan Libanon, semakin menunjukkan bahwa engkaulah bangsa yang paling biadab di dunia ini. Dan ini semakin menepis kebenaran bahwa apa yang pernah dilakukan oleh Gus Dur, mantan Presiden RI kami, yang sempat membuat “Yayasan Bersama” dengan engkau, adalah tidak benar dan jauh dari persetujuan kami.<br />Teruskan perjuangan yang engkau lakukan, hingga ke Iran, Irak, Syiria, dan dunia Islam lainnya. Sehingga “memaksa” kami untuk bersatu. Jadi akan sangat wajar jika apa yang diperkirakan oleh Huntington, bahwa “perang dunia ketiga” adalah perang antar peradaban, yaitu peradaban Timur (dunia Islam) dan Barat, menjadi nyata.<br />Tidak ada yang lebih pedih dan menyakitkan adalah kenapa umat Islam dunia, masih tersipu-sipu untuk membantu saudaranya dibombardir oleh Israel? Kenapa bantuan yang diberikan hanya bersifat cacian dan makian? Kenapa tidak kita boikot saja, semua produk USA dan Israel serta Negara-Negara yang berlindung dibelakang Israel? Atau kita ikuti saja ajakan Mahatir Muhammad untuk tidak menggunakan dollar AS dan poundsterling dalam setiap transaksi? Kenapa harus kita menunggu suara PBB, yang jelas-jelas tidak mempunyai komitmen perdamaian? Jangan-jangan kita hanya menunggu kehancuran rakyat Libanon dan dunia Islam lainya. <em>Wallahu a’lam bi al-showab.<br /></em></div>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-31576517049441077562008-05-07T21:29:00.000-07:002008-05-11T21:47:32.364-07:00Reorientasi Nilai-Nilai Sekolah dalam Lintas Sejarah Manusia<div align="center">Reorientasi Nilai-Nilai Sekolah dalam Lintas Sejarah Manusia</div><div align="center">Imam hanafi, MA</div><div align="justify"><br />Pengantar<br />Baik kemarin hingga sampai saat ini, kita masih meyakini sebuah misi ; bahwa melalui pendidikan sekolah kita telah menciptakan arah baru dalam sejarah kebangkitan manusia. Meskipun tindakan mendidik dan pendidikan, bisa saja terjadi dimana saja, dilakukan oleh siapa saja, dan bisa mengenai apa saja. Tindakan pendidikan seperti ini bisa kita lihat misalnya dalam relasi orang tua dan anaknya. Setiap kegiatan yang mereka lakukan baik besar maupun kecil, selalu mengandung arti mendidik.<br />Kekhasan sekolah sebagai lembaga pendidikan ini adalah bahwa dirinya melakukan tindakan pendidikan secara sadar, dan seluruh aktifitasnya ditujukan untuk intensitas dalam melakukan proses pendidikan. sementara itu tindakan pendidikan diluar sekolah masih bersifat aksidental. Sehingga, yang menjadi dasar yang sangat fundamental terhadap keberadaan sekolah ini adalah intensitas dan oroginal motivation-nya untuk melakukan “rekontruksi” mendidik. Kesadaran, intensitas, dan original motivation mendidik inilah yang menuntut sekolah untuk terus menerus merefleksikan keberadaannya kearah yang lebih qualifaid.<br />Oleh karena itu, pemikir seperti almarhum Ernest Gellner (1983) melihat sekolah sebagai cara untuk mensosialisasikan (“mendidikkan”) kepada generasi baru tentang isi kebijakan, ketrampilan, dan cara bertindak yang akan dibutuhkan untuk suatu komunitas politik, ekonomi dan kultur tertentu. Bahkan secara lebih jauh pendidikan di sekolah, sebagaimana yang disebut oleh A. Syafi'i Ma'arif, sesungguhnya juga wahana paling efektif untuk internalisasi nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan inklusifisme. Nah, disinilah sekolah diharapkan mampu “menebus” cita-cita ideal tersebut, menjadi sebuah realitas yang riil, yang mampu memberikan sumbangan bagi peradaban manusia.<br />Akan tetapi, sekolah sering kali menjadi sebuah “penjara” yang membelenggu kreatifitas peserta didik. Apa bedanya sekolah dengan penjara jika ruang-ruang kelas lebih mirip dengan kerangkeng ; ketika pelajaran dimulai lalu pintu ditutup rapat-rapat, bangku-bangku semakin memaku tubuh para siswa untuk bergerak bebas, dan lebih-lebih jika Gurunya mirip seorang sipir penjara, marah jika dikritik, menolak jika ada usulan, membentak jika ada kesalahan, bahkan memukul ketika ada yang pantas dipukul.<br />Oleh karena itu, perlu dilakukan pemaknaan ulang terhadap sekolah sebagai sebuah “transformator” bagi peserta didik yang menyimpan berbagai keunikan sebagai manusia. Makalah ini mencoba membahas persoalan sekolah, yang menjadi bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia itu sendiri.<br /><br />Makna Sekolah ; Tinjauan Sejarah<br />Sekolah dalam bahasa Latin adalah skhole, scole, scolae, atau schola, yang berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Kata ini, kemudian berkembang menjadi kata school atau Sekolah dalam bahasa kita. Secara historis, dulu masyarakat Yunani jika mengisi waktu luang, dengan cara mengunjungi sebuah tempat atau ke tempat orang pandai untuk mempertanyakan dan mempelajari sesuatu yang menurut mereka memang sangat perlu untuk diketahui. Sehingga kegiatan ini mereka sebut dengan istilah-istilah tersebut, yang artinya sama dengan “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar (Leisure devoted to learning)”. Dari kebiasaan mengisi waktu tersebut, lama kelamaan menjadi tradisi putra-putri mereka, bukan milik lelaki dewasa atau sang Ayah. Hal ini, kemudian di dukung dengan tuntutan perkembangan hidup yang kian menyita waktu, di mana orang tua merasa tidak mempuyai waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Oleh karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak dengan cara menyerahkan kepada seseorang yang dianggap tahu atau pandai disuatu tempat tertentu, yang biasanya di tempat dimana mereka juga pernah ber-skhole. Ditempat inilah, mereka belajar banyak hal, bermain dan berlatih melakukan sesuatu.<br />Maka sejak saat itu, tempat ini kemudian beralih fungsi sebagai scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi paling tua dalam sejarah umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu luang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Hal ini pulalah yang menjadikan tempat ini, kemudian disebut sebgai lembaga pengasuhan atau “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu (alma mater).<br />Tradisi ber-skhole ini, jauh sebelum Socrates dan Plato menyelenggarakan Academia atau Lyceum di Athena, konon juga pernah ada di Cina Purba yaitu 2000 tahun sebelum masehi. Dan ini dianggap lembaga sekolah tertua yang pernahada didunia. Di India, yang dipeolopori oleh kaum Brahma juga pernah membangun sekolah-sekolah Veda setengah abad sesudahnya. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />John Amos Comenus dengan karyanya Didactica Magna, mencoba menguraikan pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis, terutama ketika dihadapkan pada problem keragaman kultur dan proses perkembangan anak yang berbeda, tentunya membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Buku ini kemudian diteruskan oleh Johann Heinrich Pestalozzi pada abad ke-18, dengan uraian yang lebih rinci. Dia menjelaskan tentang pola asuh dan pengelompokaan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk pada perjenjangan urutan kegiatan (“pelajaran”) yang musti mereka lalui secara bertahap. Sistem ini kemudian dikenal dengan “Sistem Klasikal Pestalozzi”, yang kemudian menjadi cikal-bakal pola pembelajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal hingga saat ini dengan penjenjangan kelas dan tingkatannya.<br />Nah, dari konteks kesejarahan ini, dapat kita telusuri bahwa Sekolah hanyalah sebuah tempat yang dijadikan sebagai pengisian waktu luang. Akan tetapi sekarang, makna Sekolah diartikan sebagai Hakikat Pendidikan itu sendiri. Seharusnya, sekolah dipahami dalam konteks kesejarahannya sebagai sebuah bagian dari keseluruhan peradaban manusia. Sehingga sekolah yang ada saat ini, hanyalah merupakan sebuah hasil dari perjalanan panjang dimasa lalu. Karenanya, bisa jadi arah dan model ber-skhole pun akan sangat berbeda seiring dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri.<br />Lihatlah misalnya, Sekolah bisa diartikan sebagai sebuah “paguyuban” para pakar. “Sekolah Frankfurt” sebuah paguyuban ilmiah para pakar sosiologi aliran Max Horkheimer dan Jurgen Habermas, yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran-pemikiran pada saat ini. Lalu “Sekolah Wina” yang dirintis oleh pakar Psiko-Analisa Alferd Adler. Juga “Sekolah Durkheim”, sebuah “sekolah” dari pemikir besar ilmu sosiologi. Yang terakhir ini, Sekolah berubah makna menjadi suatu “aliran Pemikiran (School of Thought)” dari tokoh-tokoh besar pemikir dunia.<br />Bagi kita, yang sudah memahami sekolah sebagai sebuah institusi yang mencoba membangun kesadaran untuk berkembang atau yang lainnya, tentu akan sulit jika sekolah berbeda dengan pengertian yang kita miliki. Karena pada dasarnya sekolah bukanlah satu-satunya media Pendidikan manusia. Sekolah hanyalah sebagai tempat “persinggahan sementara” anak-anak manusia dalam melihat realitas sesungguhnya, bukan malah menutup diri dengan realitas disekitarnya.<br /><br />Sekolah dan Dilema Kemanusiaan<br />Ketika Sekolah dihadapkan pada perkembangan globalisasi, yang mengharuskan sesorang untuk berinteraksi dengan perkembangan ilmu dan teknologi, maka sekolah semakin dipertanyakan relevansinya jika dikaitkan dengan kontribusinya bagi pembentukan budaya modern. Di sinilah lalu sekolah mengalami degradasi fungsional, karena pelan-pelan ia berorientasi pada matrealistik. Sekolah cenderung disiapkan sebagai asset sosial yang mempunyai fungsi khusus dalam menyiapkan tenaga kerja, yang akan memenuhi tuntutan dunia kerja yang bercorak industrialistik. Sehingga yang menjadi basis akurasi penilaian program suatu sekolah adalah seberapa jauh out put sekolah tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam mengisi lapangan kerja, yang memang telah disiapkan oleh dunia industri.<br />Dalam konteks ini, sekolah justru semakin terkapar dengan tuntunya sendiri, dimana “komoditi” yang dihasilkan selalu kalah berpacu dengan “idealisme” sekolah, karena dorongan dan tuntutan perkembangan masyarakat. Sementara, perkembangan teknologi dan informasi kini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perkembangan norma dan tata nilai kemanusiaan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> Misalnya, pola-pola interaksi dan komunikasi sosial kemasyarakat akan menunjukkan gejala pragmatisme, hedonisme, dan lain sebagainya. Disinilah lalu sekolah menjadi satu kesatuan dengan sistem sosial.<br />Jika sekolah menjadi salah satu unit dari sebuah sistem sosial, maka biasanya ia dikungkung dengan berbagai aturan dan kebijakan yang tidak memungkinkan lahirnya sekolah yang adaptif dan fleksibel terhadap perkembangan lingkungan sosial sekitarnya. Maka lahirlah istilah “penganggur terdidik”, karena tidak ada kesediaan lapangan kerja yang relevan dengan keahlian yang mereka miliki. Juga karena tidak adanya daya adaptabilitas untuk melakukan modifikasi sikap terhadap dunia kerja.<br />Kondisi ini menjadi semakin memprihatinkan, pada saat sekolah mengalami alih fungsi menjadi sekedar “pemasok” tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Meskipun sebenarnya, itu juga menjadi sisi penting untuk “menyelamatkan” peserta didik dimasa depannya, tetapi fungsi yang lebih penting adalah sebagai penyebar dan dinamisasi nila-nilai kemanusaiaan, yang dapat menyadarkan manusia tentang hakikat eksistensinya di tengah perkembangan dan tantangan di masyarakat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br />Bagi Muhamat Hatta, sekolah harus mampu memberikan pola pendidikan karakter atau watak, yang mampu memberikan makna bagi manusia dalam pergaulannya dengan sesama, yang adil dan sejahtera. Oleh karenanya proses pembelajaran di sekolah harus mempunyai nuansa “pendidikan” bukan “pengajaran”. Kata Hatta “Pendidikan terletak dimuka, pengajaran di belakang. Pendidikan membentuk karakter, pengajaran memberikan pengetahuan yang dapat digunakan dengan baik oleh anak-anak yang mempunyai karakter”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br />Sementara Antony Gidden, mencoba menjelaskan bahwa pendidikan sekolah telah meningkatkan ketidak adilan kemanusian. Menurutnya bahwa memang pendidikan mempunyai hubungan yang komplek dengan pemerataan, tetapi sering pendidikan justru menghasilkan ketidak adilan dan mempertajamnya. Misalnya, semakin dia tidak mampu bersekolah maka semakin dia tidak mendapat “posisi” yang layak di masyarakat. Meskipun demikian, Gidden menyebut aspek politik sangat berpengaruh dalam persoalan ketidakadilan ini.<br />Persoalan lainya adalah ketika sekolah tidak pernah melihat bagaiman kondisi batin peserta didiknya. Padahal manusia tidak mungkin terlepas dari hidup batinnya. Entah disadari atau tidak, setiap pribadi mempunyai pengalaman batin dalam setiap kondisi hidupnya. Penolakan terhadap situasi batin ini justru akan melahirkan hidup yang tidak utuh, pribadi yang pecah. Proses menjadi dewasa adalah proses menerima dan mengolah pengalaman-pengalaman batin ini. Sementara pengenalan dan penerimaan dunia batin dalam hidup, akan melahirkan peace of mind (ketenangan hidup). Bentuk ketenangan ini penting untuk sebuah penemuan kreativitas. Sebab, pribadi yang kreatif adalah pribadi yang berani berhadapan dengan diri sendiri dan berani melakukan penjelajahan. Ini bisa dilakukan ketika seseorang itu berjiwa tenang dan reflektif, bukan pribadi yang tergesa-gesa dan ada dalam tekanan.<br />Kemampuan Batin, menurut Howard Gadner, penggagas teori multiple intelligences, adalah kemampuan seseorang untuk mengenali dan mengolah pengalaman-pengalaman batiniahnya (internal experiences). Menurutnya jika peserta didik mempunyai kecerdasan ini, maka ia akan mampu bertahan dan menghadapi kondisi kelemahan diri manusiawinya secara dewasa, dan mampu memberika inspirasi kepada orang-orang disekitarnya.<br />Ada beberapa hal, kenapa sekolah saat ini melupakan sisi batin ini ; Pertama, sistem sekolah yang bersifat klasikal, memberikan suasana kelas kurang hidup, kurang menghidupkan relasi yang sifatnya personal, relasi antar pribadi. Pada sistem ini, tidak ada komunikasi antar individu, yang ada hanyalah sebatas komunikasi akademik. Kedua, terbatasnya figur yang bisa dijadikan tempat mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Ketiga, karena memang tidak adanya sistem yang mencoba mengajak peserta didik untuk mengenali, merefleksi dan mengungkapkan pengalaman batinnya.<br />Sementara itu, sudah menjadi opini di setiap orang bahwa sekolah diharapkan mampu mengubah manusia, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu, dari yang tidak berbudaya menjadi berbudaya. Dengan kata lain, melalui sekolah, setiap orang akan menjadi manusia yang siap, cakap, mumpuni, dan sukses dalam menghadapi masa depan. Nah, harapan yang begitu besar terhadap sekolah, jika dikaitkan dengan persoalan diatas, menuntut sekolah untuk lebih menekankan proses pendidikan bukan pengajaran. Akan tetapi problemnya adalah apakah sekolah mampu mengubah itu semua, meskipun dengan berbagai model, bentuk dan lainnya, jika sekolah hanya “menangani” peserta didik selama sekitar tujuh jam setiap hari, selama enam hari?<br /><br />Reorientasi Sekolah ; Sebuah Pencarian<br />Tujuan sekolah disetiap jenjangnya, pada hakikatnya adalah meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan meningkatkan kemampuan peserta didik sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan sekitarnya).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> Kata kunci yang menarik untuk dicermati dari rumusan diatas adalah “mengembangkan diri”. Pertanyaannya reflektifnya adalah betulkah Sekolah dalam praksisnya telah mampu mengembangkan diri para peserta didik atau justru sebaliknya, yang terjadi adalah “membunuh” mereka secara dini? Dimana materi-materi pelajaran di “sesakkan” sedemikian rupa ke otak-otak peserta didik. Kesadaran untuk maju dicoba melalui media pengembangan dan pola-pola penciptaan keresahan, ancaman, dan bahkan hukuman oleh guru.<br />Sekolah, pada akhirnya telah kehilangan ruh kanalisasi diri, etos kesepahaman, ekspresi dan aktualisasi pemikiran. Kesenangan pada proses pembelajaran, berubah “drastis” menjadi kebingungan, kenyamanan belajar pada akhirnya tidak lagi ditemukan di kelas. Inilah yang menjadi kegelisahan oleh para pemikir pendidikan, Kurt Singger menyebutnya sebagai “Pedagogi hitam”. Sinisme senada juga muncul dari Ivan Illich, yang menyuarakan proyek “deschooling sociaty” (masyarakat bebas dari sekolah). Kemudian Everett Reimer, meneriakkan “the end of school” , Paulo Friere dengan “pedagogy of the opressed”-nya, serta “the end of education” dari ‘celotehan’ Neill Postman.<br />Setidaknya ada empat orientasi dan idealisme pendidikan dalam melakukan “rekontruksi” mendidik itu, Pertama, perolehan pengetahuan dan kemampuan (kompetensi). Orientasinya, menekankan pada perolehan pengetahuan dan kemampuan untuk mempersiapkan peserta didik mendapatkan kesempatan kerja. Dalam konteks ini, upaya pendidikan difokuskan pada perolehan pengetahuan dan ketrampilan khusus supaya unggul dalam bidang tertentu. Tolak ukurnya, sejauhmana peserta didik mampu menemukan lapangan kerja dengan tingkat pendidikannya. Dalam arti tertentu pendidikan diarahkan untuk memberi sumbangan bagi penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat setempat dengan mempersiapkan peserta didik masuk kelapangan kerja. Memperoleh ketrampilan dan pengetahuan ini biasanya menjadi tujuan yang dominan peserta didik dalam memilih sekolah atau perguruan tinggi tertentu.<br />Kedua, orientasi humanistik. Dalam konteks ini, pendidikan diarahkan pada usaha pengembangan kemampuan penalaran, kemampuan untuk mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataannya, keyakinan-keyakinannya, dan tindakan-tindakannya. Tujuan lainnya, yaitu agar mampu memahami “apa” dan “mengapa” dari apa yang dipelajari serta meningkatkan kemampuan mengorganisir pengalaman dalam konsep-konsep yang sistematis. Dengan demikian, orientasi pendidikannya adalah proses pembentukan disposisi dasariah peserta didik dan kemampuan intelektual serta emosional dalam hubungannya dengan sesama, lingkungan, dan alam. Tolak ukurnya, (1), Minat membaca dan kemampuan untuk mengerti dan memahami apa yang dibaca. Ketrampilan ini ditunjukkan pada kesanggupan untuk mengemukakan suatu gagasan dengan teratur dan logis sebagai sarana mempertanggungjawabkannya secara argumentative. (2), Kesanggupan untuk menangkap pikiran orang lain dengan tepat dan menanggapinya secara terbuka dan kritis. (3), Kebiasaan untuk mempelajari secara sistematis apa yang dilakukan dan mulai mengadakan studi terbatas yang sesuai dengan tuntutan lingkungan, sebagai landasan pembentukan pendapat sendiri.<br />Ketiga, Menjawab tantangan sosial, ekonomi, dan keadilan. Dalam perspektif ini, pendidikan diarahkan untuk menyiapkan peserta didik dalam mengenali dan menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan kemudian menghasilkan jawaban-jawaban berdasarkan pada etika sosial. Merujuk pada Paulo Freire (Pedagogy of The Opressed) bahwa pendidikan adalah pelibatan politik, maka peserta didik diarahkan pada kemampuan untuk berkembang menjadi warga negara yang memiliki ketrampilan dalam mengolah proses-proses sosial, memiliki komitmen pada nilai-nilai demokratis, yaitu mampu berpartisipasi didalam proses sosial, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, perolehan pengetahuannya diperuntukkan pada pelayanan perkembangan manusia dan kesejahteraan masyarakatnya. Tolak ukurnya adalah tumbuhnya minat memahami secara kritis perubahan-perubahan yang sedang berlangsung di masyarakat. Pendidikan tidak membuat peserta didik terasing dari cara hidup lingkungannya yang secara ekonomi, sosial, dan politik lebih rendah, sehingga peserta didik menjadi peduli terhadap masalah-masalah ketidakadilan, peka terhadap penderitaan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat.<br />Dan Keempat, Peran sosial pendidik. Di sini, guru atau pendidik mempunyai peran sentral dalam mengembangkan tiga hal diatas. Guru tidak lagi menjadi alat penguasa untuk melegitimasi politik penguasa. Melainkan secara aktif dan kreatif mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan sosial-kemasyarakatan daerah masing-masing. Ada tiga model untuk memberikan penjelasan tentang orientasi pendidikan ini. Pertama, metode tradisional. Model ini, ditandai dengan pembelajaran berhadapan (one man one show) yakni kritik pendidik berhadapan langsung dalam satu ruang. Perhatian, ingatan, dan penalaran menjadi sarana pembelajaran utama dalam metode ini. Diaolog antara peserta didik dengan pendidik hanya sekedar berupa pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban. System evaluasi yang dipakai biasanya mengikuti klasifikasi dan atas dasar jasa atau prestasi, dan didasarkan pada otoritas pendidik. Kedua, Aktif. Dan Ketiga, Aktual. Keduanya mempunyai konsepsi yang sama tentang perkembangan yang didasarkan pada aktivitas dan kemandirian peserta didik. Metode Aktif dipengaruhi oleh beberapa aliran-aliran pendidikan baru, terutama dari Maria Montessori, Celestin Freinet, Paulo Friere, dan lainnya. Aliran in, mengacu pada dasar teoritis kritik Humanis (Rabelais), filsafat kontruksi subyek (Rousseau dan John Dewey), dan sumbangan dari psikologi perkembangan (Piaget) serta psikologi humanis (Rodgers). Kedua model ini, sangat menekankan nilai, kreatifitas, aktifitas, dan afektifitas yang kesemuanya teraktualisasi pada proses pembelajan.<br /><br />Penutup<br />Pada dasarnya, pendidikan di Sekolah mencoba untuk mencari dan membangun sebuah transformasi, sebuah usaha yang selalu membawa klaim-klaim metodologi dari para pembawanya, agar menjadi valid dan tetap selalu dipakai disetiap zaman. Akan tetapi, hal itu harus berangkat dari pertarungan yang panjang, yang melampaui dimensi ruang, tempat dan lokalitas pemikiran seseorang. Dari proses tersebut, tentu akan selalu ada mata rantai metodologis yang pada dataran praksisnya menjadi “ideal”. Yaitu manifestasi dari tesis-antitesis, aksi-reaksi, dan kontruksi-rekontruksi atau dekontruksi.<br />Oleh karena itu, proses aktualisasi pendidikan dan pembelajaran di Sekolah akan selalu menjadi sementara (hypo-knowledge), yang pada suatu saat akan “berselingkuh” dalam bentuk beragam rupa, sesuai dengan parameter dan indikator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidental, lokalitas, kontekstualitas, maupun karena lemahnya “jari-jari” kebenaran tersebut mencengkeram suatu zaman. “Perselingkuhan” atau bahkan pertentangan sama sekali, dari satu kebenaran ke kebenaran lainnya, merupakan dialektika dan dinamika tersendiri dalam diri proses pendidikan dan pembelajaran. Wallahu a’lam bi al-Showab<br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Roem Topatimasang, 1998. Sekolah Itu Candu, Yokyakarta : Pustaka Pelajar.<br /><br />Sudjatmoko, 1986. “Pembangunan Sebagai Proses Belajar” dalam Sudjatmoko dkk, Masalah Sosial Budaya Tahun 2000. Yogyakarta : Tiara Wacana.<br /><br />M. Rusli Karim, 1991. “Pendidikan Islam di Indonesia Dalam Transformasi Sosial Budaya” dalam Syafi’i Ma’arif dkk, Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta : Tiara Wacana.<br /><br />Sindhunata, 2002. “Pendidikan Meningkatkan Ketidakadilan” dalam Kompas, No. 07 – 08, Tahun ke-51, Juli – Agustus 2002.<br /><br />Paul Suparno, dkk, 2002. Reformasi Pendidikan ; Sebuah Rekomendasi,. Yogyakarta : Kanisius.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu, (Yokyakarta : Pustaka Pelajar. 1998), hlm. 5 – 6.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Ibid. hlm. 7.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Lihat Education dalam Encyclopedia Amiricana, (Danbury : Grollier International. 1982) hlm. 642 – 657. Lihat juga Education dalam Encyclopedia of Social Science. (London : MacMillan. 1983) hlm. 509 – 539.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Untuk melihat secara detail mengenai kaitan ini, lihat tulisan Sudjatmoko, “Pembangunan Sebagai Proses Belajar” dalam Sudjatmoko dkk, Masalah Sosial Budaya Tahun 2000. (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1986).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> M. Rusli Karim, “Pendidikan Islam di Indonesia Dalam Transformasi Sosial Budaya” dalam Syafi’i Ma’arif dkk, Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1991) hlm. 128 – 129.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Di kutip dari Tulisan Sindhunata, “Pendidikan Meningkatkan Ketidakadilan” dalam Kompas, No. 07 – 08, Tahun ke-51, Juli – Agustus 2002. hlm. 3.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Paul Suparno, dkk, Reformasi Pendidikan ; Sebuah Rekomendasi,. (Yogyakarta : Kanisius. 2002) , hlm. 67</div>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-28902477575376671422008-05-07T21:14:00.000-07:002008-05-07T21:19:00.976-07:00Basis Epistemologi dalam Pendidikan Islam<p align="center">Basis Epistemologi dalam Pendidikan Islam<br />Arah Interelasi Ilmu dalam Proses Pendidikan Islam</p><p align="justify">Introduction<br />Pada awal era modern, para pemikir modern dan pemimpin muslim, mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan sebagai upaya memajukan umat, terutama untuk menghadapi hegemoni sosial, ekonomi dan kebudayaan Barat. Tokoh-tokoh seperti Sayyed Ahmad Khan di India dan Muhammad Abduh di Mesir, dua tokoh reformis dan berpengaruh, tidak hanya menjadikan pendidikan sebagai cara yang paling efektif untuk menghadapi persoalaan kejumudan dan kemunduran umat selama ini. Mereka bahkan mengusahakan interpretasi ulang terhadap (pengetahuan) agama Islam secara internal. Supaya umat Islam bisa mengakomodasikan perkembangan-perkembangan baru di Barat.<br />Oleh karena itu, kebangkitan umat Islam tidak hanya dipahami dan diawali dengan memberikan perhatian sepenuhnya terhadap pengadaan sarana pendidikan. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana melakukan pembenahan tentang konsepsi ilmu pengetahuan yang bselaras dengan nilai-nilai Islam. Maka konsep ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan menjadi sangat urgen dan prinsipil. Karena ia tidak hanya sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, lebih jauh dari itu ia berperan penting untuk mencapai tujuan-tujuan spritualitas manusia. Hal ini, bukan berarti perhatian Islam terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi, dan politik dinomorduakan, tetapi semua itu difungsikan sebagai pendukung untuk mencapai spritualitas manusia. Konsekuensinya kita mesti melakukan definisi ulang tentang konsep ilmu dalam kaitannya dengan realitas spritualitas manusia.<br />Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba melakukan eksplorasi tentang epistemologi ilmu pengetahuan dan legalitasnya dalam kahzanah pemikiran Islam itu sendiri. Dan tidak membahas secara terperinci mengenai Konsep Ilmu ; pengertian dan sumber validitasnya. Meskipun pada ahirnya, penulis mungkin tidak bisa mempertemukan (kalau bukan menemukan) interkoneksitas kebernilaian sebuah ilmu dalam kaitannya dengan konsep pendidikan universal.<br /><br />Persoalan Epistemologis dalam Islam<br />Akal (rasio) dan indera merupakan dua alat pengetahuan. Pemujaan yang pertama akan melahirkan rasionalisme, sementara pemujaan yang kedua akan membawa kita kepada sensualisme, empirisme, matrealisme, dan positivisme. Jika yang pertama obyeknya adalah abstrak dan paradigmanya logis. Maka yang kedua obyeknya bersifat empiris dan paradigmanya adalah sains. Kedua paradigma ini, pada akhirnya menolak obyek mistis yang spralogis dan non-empiris. Dua alat pengetahuan inilah kemudian menolak dengan tegas memberikan saham yang cukup signifikan dalam membidani lahirnya sains dan teknologi di Barat.<br />Sains dan teknologi telah menggeser peran manusia pada puncak absolut. Dimana manusia diberi otonomi tanpa batas dalam memaknai setiap persoalan kemanusiaan, termasuk didalamnya adalah persoalan etika dan moralitas. Wilayah moralitas dan etika semakin menunjukkan perbedaan yang cukup jelas dengan wilayah kekuasaan dan sains. Pertimbangan-pertimbangan ilahiyyah seolah-olah telah ‘terusir’ dari logika politik, sains dan teknologi. Hal ini, jelas akan semakin memperlebar jurang sekulerisme. Tidak heran jika Aleksander I. Solzhenitsyn, pemikir dari Rusia, mengatakan bahwa “bila kita terpisah dari konsep-konsep baik dan buruk, apalagi yang masih tersisa, kecuali status yang sama dengan binatang”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />Hegemoni sekulerisme ini, telah menjadikan sistem etika pada corak antropomorfis, yaitu menempatkan manusia pada pusat segala-galanya. Dunia Islam yang pada hakikatnya tidak menolak akal dan indera sebagai dua alat pengetahuan, juga secara formal menolak arus sekulerisme, tetapi pada kenyataannya telah dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang cukup mendasar. Diantara kesulitan itu adalah ketika kita akan mengangkat konsep pendidikan Islam.<br />Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi Barat, pada saat bersamaan umat Islam dihadapkan pada kemerosotan peradaban musilm, terutama sekitar abad ke-16 – 17. pada masa ini, muncul epistemologi dikotomik antara “sains agama” (‘ulum syari’ah) atau “sains-sains tradisional” (‘ulum naqliyyah) dan “sains rasional” (‘ulum ‘aqliyyah atau ghair syar’iyyah),<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> pada puncaknya adalah ketika al-Ghozali mengkategorikan fardhu ‘ain bagi sains agama dan fardhu kifayah bagi sains rasional.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br />Kondisi ini semakin diperparah dengan bercokolnya kolonialis Barat dibeberapa negara Muslim. Barat yang telah mempunyuai seperangkat epistemologi sekuler yang kuat, semakin “membuaikan” status quo pola fikir umat Islam pada ranjang (dengan dalih) kepentingan akhirat.<br />Dalam polarisasi sikap yang seperti itulah, dua sistem pengetahuan berjalan secara bersamaan. Pengetahuan modern dengan sistem sekulernya, dan pengetahuan Islam dengan orientasi ukhrawi-nya. Orientasi dikotomik ini, terus meluas pada pola pendidikan yang semakin mempersulit umat Islam untuk mencairkannya. Tokoh-tokoh seperti, Sardar, Al-Faruqi, al-Attas dan lainnya, kemudian mencoba melakukan “Islamisasi” ilmu pengetahuan. Konsep ini, terutama di Indonesia, pada akhirnya dimaknai dengan mendirikan Madrasah dan UIN<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a>. Tetapi konsep pemaknaan ini, justru menimbulkan sikap ambivalensi umat Islam. Karena integrasi ilmu tersebut tidak berangkat dari dua sistem ilmu tanpa konsep.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Kita dapat melihat bagaimana upaya Abduh ketika akan melakukan “modernisasi” pendidikan al-Azhar, yaitu hanya “sekedar” memasukkan beberapa pelajaran umum yang telah dipelajari Barat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> Hal ini, menurut Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf tetap saja melahirkan dua sistem pendidikan. Yang pada akhirnya, persaingan dari dua sistem tersebut justru akan melemahkan dasar-dasar masyarakat Muslim.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br /><br />Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan<br />Dalam al-Qur’an, kata ilm, dengan berbagai bentuknya terulang sampai 854 kali.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> Yang berarti kejelasan, karena ia berakar dari bentuk kata yang bercirikan kejelasan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> Selain itu, kata ilm, berasal dari kata dasar ‘ain, lam, dan mim, yang terambil dari perkataan ‘alamah, yang berarti tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang itu dikenal. Dengan demikian ma’lam, berarti “rambu-rambu jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Selaras dengan itu, ‘a’lam juga bisa diartikan dengan “petunjuk jalan”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> Maka tidak heran jika kemudian, kata ‘ayah (jamaknya : ayat), yang berarti tanda, selalu merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an (qauliyah) dan fenomena alam (kauniyah).<br />Secara deskriptif, al-Qur’an sebenarnya telah memberikan gambaran bagaimana Allah memberikan pengetahuan pengetahuan kepada Adam, ketika para Malaikat tidak mampu menyebutkan “nama-nama” tersebut. Inilah sebenarnya esensi penciptaan manusia tersebut, yaitu untuk mempelajari alam semesta, hukum-hukum susunan batinnya, dan proses sejarah. Semua itu kemudian digunakan untuk “pengabdian kepada Tuhan”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Hal inilah yang membuat manusia dihormati sebagai sebaik-baiknya makhluq dan bahkan Malaikat, kecuali Iblis, bersujud dihadapan Adam, sebagai simbol manusia.<br />Karakteristik yang membedakan antara manusia dengan makhluq lain adalah kapasitasnya dalam memberikan “nama-nama” kepada benda-benda. Memberi “nama” benda-benda mempertegas kapasitas manusia dalam menemukan sifat-sifat benda, hubungan timbal balik dan hukum-hukum perilakunya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> Ketika kita menamakan sesuatu itu batu, pohon, atau elektron, kita akan mengetahui bagaimana perilakunya, bisa mengetahui lebih banyak tentanya, bahkan bisa meramalkannya. Dengan kata lain, manusia berbeda dengan makhluq lainya adalah ketika ia mempunyai pengetahuan kreatif dan ilmiah mengenai benda-benda (ilmu eksakta), mengenai susunan batinnya (ilmu kejiwaaan), dan mengenai perilaku luar manusia sebagai suatu proses yang berjalan terus menerus dalam sebuah masa (ilmu kesejarahan).<br />Ketika kita tidak mampu berbicara tentang Tuhan kecuali dengan perumpamaan-perumpamaan, maka Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalu “ayat”. Disini manusia bertanggungjawab untuk mengungkapkan dan memahaminya. Untuk mengungkap realitas dibalik ayat tersebut (the ultimate reality), manusia harus menggunakan potensi akal pikirannya, dengan cara mengaitkan ketiga realitas diatas berdasarkan prinsip fundamental tentang kesatuan (unity) dan keseluruhan (totality).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br />Ajakan untuk memahami relitas alam ini, sebenarnya sudah ada dalam al-Qur’an. Bahkan ayat pertama kali turun kepada Muhammad adalah “bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> Jadi, sejak pertama umat Islam telah ditantang untuk membawa teks, berupa alam raya. Alam raya sendiri artinya “tanda” yang menunjukkan kepada realitas diluarnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> Dalam sebuah syairnya, Hamka menyebutkan tentang hal ini;<br /> Mekar mengembang, fajar menyingsing<br /> Ombak berdebur, gunung menjulang, langit menghijau<br /> Rimba belukar sunyi, awan berarak menepi<br /> Air mengalir, serasa terjun pimping dilereng dikecut angina<br /> Anak menangis dalam pangkuan bundanya, ibu bernyanyi<br /> Mengingat ayahnya<br /> Keringat mengalir di dahi seorang yang baru pulang<br /> Dari pekerjaannya dan anaknya berlari kehalaman<br />Menyanbutnya ayahnya pulang…………<br />Kemana saja … Yang mana saja! Menengadah keatas<br />Atau menekur kebawah<br />Hanya satu yang tampak di mata, di hati : “Allah!”<br />Hanya satu suara yang terdengar : “Allah!”<br />“Tuhanku, Tidaklah Engkau jadikan segalanya ini dengan sia-sia?”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a><br /><br />Akan tetapi akal pikiran manusia belum merupakan segalanya. Karena peran penting manusia adalah membangun kembali gambaran ilmiuah dari realitas obyekltif dan menciptakan suatu tatanan moral yang berdasarkan pengetahuan ilmiah tersebut. Pemanfaatan alam semesta dengan kerangaka ilmiah tanpa disertai dengan suatu tatanan yang baik, atau mengetahui “nama-nama” tanpa memanfaatkannya, akan menjadi sesuatu yang menurut al-Qur’an adalah ‘abath, suatu perbuatan setan yang sia-sia, bahkan berbahaya. Hal ini persis seperti apa yang diungkapkan oleh Iqbal bahwa ‘aql (penalaran ilmiyah) tanpa ‘isyq (kreatifitas moral positif ) adalah perbuatan setan yang sesat, dan Barat jelas-jelas mengikuti hal ini menurut Iqbal. Sementara ‘isyq tanpa ‘aql, bukan hanya merupakan sesuatu yang steril, tetapi sesuatu yang jelas menipu diri sendiri, dan Iqbal menunjuk kaum Muslimin selama berabad-abad telah melakukan “pembohongan” ini.<br /><br /><br /><br />Menuju Interelasi Ilmu dalam Islam<br />Sebenarnya manusia tidaklah memiliki pengetahuan sama sekali, yang memiliki hanyalah Allah. Ketika Allah menggelarkan al-Qur’an dan Alam semesta di hadapan manusia, maka manusia dengan sendirinya ditutut untuk mendapatkan pengetahuan tentang-Nya. Sehingga, ketika seseorang akan melakukan pembacaan, penelitian, dan menemukan sebuah hukum atau teori, semua itu dilakukan atas dasar lillahi ta’ala. Baginya, segala kegiatan keilmuan yang dilakukan atas nama Allah yang telah menciptkan manusia dan telah mengajar manusia segala sesuatu (QS. Al-Alaq : 1, 2, dan 5).<br />Bagi illmuan Muslim, semestinya tidak mendasarkan kegiatan ilmiahnya semata-mata bersifat kognitif dan skill an sich, melainkan kesemuanya dilakukan atas dasar niat dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati nurani (conscience) yang paling dalam untuk memenuhi aturan-aturan Allah. Sehingga atara science dan con-science merupakan satu kesatuan dan totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali Imran : 79). Ketika mengembangkan dan menggali konsep teoritis dan praksis, semestinya tidak hanya berhenti pada the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada saat mengemukakan makna ruhani atau metafisika pada setiap pernyataan fisika.<br />Prinsip Tauhidiiyah ini, tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Tidak ada batas antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan iman.<br />Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya, sekaligus menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> Sehingga ia tumbuh sebagai insan yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi, yakin sepenuhnya akan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas, keadilan-Nya yang tidak ada tandingannya, dan hidup dalam harmoni dengan alam.<br />Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan, yang mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat, dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta, yang mendasarkan setiap aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman interelasi antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran mutlak bagi pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.<br />Prinsip ini mirip dengan sebutan Chalen E. Westate sebagai “Spritual Welness”, yang diartikan sebagai suatu perwujudan pribadi yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi kehidupan lainnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> Selanjutnya ia mengemukakan bahwa ada empat dimensi “Spritual Welness” ini, (1), Meaning of Life, yaitu berkemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam setiap dimensi hidup secara terpadu dan utuh. (2), Intrinsik Value, yaitu memiliki nilai-nilai intrinsik sebagai perpaduan berprilaku. (3) Trancendence, yakni berkemampuan untuk mentransendensikan atau melakukan hubungan dengan dimensi yang lebih luas dan luhur. Dan (4), Community of Shared Values and Support, adalah berkemampuan dalam melakukan hubungan kemasyarakatan dengan dukungan nilai-nilai bersama.<br /><br />Mempertimbangkan Spritualitas dalam Epistemologi Pendidikan<br />Istilah spritualitas sering diartikan “miring” oleh banyak kalangan, terutama para pemikir muslim, karena istilah ini dikonotasikan kepada tradisi spritualitas Kristen. Tetapi, menurut Nasr, istilah spritualitas menunjukkan makna ruhaniyyah dalam bahasa Arab, dan memiliki arti ma’nawiyyah dalam bahasa Persianya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> Semua itu berarti menunjukkan hal-hal batin yang hakiki dan interioritas (bagian dalam), sebagai lawan dari “yang kasat mata”. Selain itu, spritualitas diartikan sebagai bentuk kesempurnaan moral dan kemurahan jiwa sejauh menyangkut umat manusia, sebagai entitas dari kedekatan manusia dengan Penciptanya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> Meskipun demikian spritualitas tidak begitu saja dimaknai sesuatu yang bersifat esoteris, yang merupaka lawan dari eksoteris. Ia memang sangat dekat dengan esoteris (al-Batiniyyah), tapi ia juga sangat dekat dengan eksoteris Islam, seperti hukum, teologi, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan.<br />Esensi dari spritualitas Islam adalah realisasi dari ke-Esa-an Allah, mematuhi segala kehendak dan Hukum-Hukum Allah (sunnatullah), yang kesemuanya terkadung dalam al-Qur’an dengan segala sakramentalnya, melalui “bimbingan” dan teladan Nabi yang termanifestasi dalam al-Hadits dan al-Sunnah.<br />Dalam lintas spritualitas Islam, tradisi tasawuf atau sufi memiliki akar yang sangat mendasat dengan spritualitas Islam. Hal ini, dapat dilihat beberapa tulisan tentang spritualitas Islam, selalu merujuk pada khasanah tasawuf Islam. Di lihat dari proses penghambaan (abd al-Lah) mereka kepata Tuhannya, mereka sangat mengunggulkan kesucian dan kemuliaan hatinya. Sehingga mereka (selalu menklaim) mampu sedekat mungkin dengan Tuhan. Gambaran ketataatan, ini sebenarnya dapat kita lihat dalam al-Qur’an “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan semua orang yang memanggil (berdo’a) jika Aku di panggil. (QS. Al-Baqarah :186). Di ayat lain Allah pun menegaskan bahwa “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana kamu menghadap, disitu ada ‘wajah’ Tuhan. (QS. Al-Baqarah : 115). Itu semua adalah metafora dari keniscayaan seseorang akan kedekatannya denga Tuhan.<br />Salah satu hadits Qudsi (kudus, suci) yang dijadikan landasan oleh kaum Sufi adalah “hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekati dirinya kepada-Ku, melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia, dan apabila Kucintai dia, maka Akulah Pendengar dengan apa yang ia dengar, mata dengan apa yang ia melihat, dan tengan dengan apa yang ia pegang, serta kaki dengan apa ia berjalan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a> Hadis ini menunjukan akar spritual Islam yang bersumber langsung dari Tuhan. Inilah prototype kehidupan spritual dan kedalaman batin dengan Tuhan, yang menjadikan Nabi sebagai sumber spritualitas Islam, dan menjadikan Dzikr (mengingat Allah terus menerus) sebagai kesatuan dalam setiap ritme kehidupan. Disinilah urgensi tradisi sufi, untuk dijadikan sebagai basis spritualitas dalam pendidikan Islam.<br />Dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal, Danah Zohar dan Ian Marshal,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a> secara terbuka mengutip puisi Jalaludin al-Rumi untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a> Di sini, khazanah sufi telah mampu mempengaruhi tradisi psikologi Barat Modern, ditengah kegalauan mereka akan kedamaian spritual. Hal ini pula semakin mempertegas betapa kayanya khazanah tradisi spritualitas Islam.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a><br />Cerdas secara spritual, merupakan kecerdasan yang berada pada bagian diri yang terdalam, kedalaman hati (deep insight), pemahaman dan kearifan berfikir. Kecerdasan spritual juga akan memberikan kesadaran yang akan mendorong kita tidak saja untuk mengakui nilai-nilai “suci” tetapi juga secara kreatif akan menemukan nilai-nilai baru. Sehingga tidak heran jika Danah Zohar dan Ian Marshal, menyebut kecerdasan ini sebagai The Ultimate Intelligensi, puncak kecerdasan.<br />Kecerdasan ini, justru hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Sehingga basisnya adalah self its self (fithrah dalam Islam) dimana ia dituntut untuk mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu ia berasal, “perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjidatau dalam bahasa kaum Perennialis “alam surgawi”, dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Dengan konsep dasar (fithrah) yang termanifestasi dalam konsep “perjanjian primordial” inilah,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a> menjadi modal bagi manusia untuk menjadikan kebaikan (tauhid, keesaan Tuhan) sebagai basis bagi semua prilaku manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a> Oleh karena itu, manusia musti berada pada kondisi “bersih” secara spritual.<br />Menjadikan kecerdasan sufistik, sebagai basis pembelajaran dalam pendidikan Islam, merupakan sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia. Tidak heran jika kemudian, Kuntowijoyo pernah merekomendasikan untuk memasukkan khazanah sufi kedalam pendidikan Islam. Karena Sufi telah mampu mentransendensikan hodup manusia, juga kekayaan yang terkandung didalamnya, yang sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a> Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sastra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a> Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (Ilahi Rabbi).<br />Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.<br /><br />Penutup<br />Ketika manusia melakukan pencarian yang terus menerus tentang Tuhan dan ayat atau tanda-tanda-Nya, maka ia mutlak harus mempunyai kesiapan spritual. Kesiapan ini, tentunya harus dimulai dari lingkungan yang paling sederhana, yaitu keluarga, kemudian pada tingkat lembaga pendidikan, ia juga diarahkan pada pembimbingan kearah penanaman nilai-nilai universal rabbaniyah.<br />Karena ketika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Ilahi.<br />Lihatlah realitas yang menjangkiti dunia modern seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas, hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual; semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Tanpa itu semua, prosen transformasi dalam dunia pendidikan atau ketika kita akan melakukan proses pengkajian, justru akan terjebak pada persoalan-persoalan pragmatisme dan hedonisme semata. Tanpa itu semua, kita (kadang) patut mempertanyakan komitmen keilmuannya. Benarkah? Lihatlah disekiling anda…. Wallahu a’lam bi showab<br /><br />Daftar Pustaka<br />Ahmad,. Amrullah. 1991. “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar<br />Ashraf,. Ali, 1996. Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus. 1996.<br />Al-Jauhari., Imam Chanafie. 1999. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, Yogyakarta : Ittaqa Press.<br />Fazlurrahman. 1985, Islam Dan Modernitas ; Tantangan Transformasi Intelektual. Bandung : Pustaka.<br />___________. 1967. “The Qur’anic Consept of God” dalam Islamic Studies, Jilid VI, no. 1.<br />Hidayat, Komarudin. 1999. “Melampaui Nama-Nama Islam dan Postmodenisme” dalam edy A. Efendi,. Komaruddin (ed) Dekonstruksi Mazhab Ciputat. (Bandung : Zaman Wacana Mulia.<br />Hamka. 1985. Filsafat Ketuhanan. Surabaya : Penerbit Karunia.<br />Mulkhan,. Abdul Munir. 2002. Nalar Spritual Pendidikan ; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara Wacana. 2002<br />Rasyid Ridha., Muhammad. 1931. Tarikh al-ustadz al-Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh, Kairo : Dar al-Maarif. 1931.<br />Surya,. Muhammad, 2000. “Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Tauhi Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. Bandung : Nuansa.<br />Syafi’i Ma’arif,. Ahmad. 1991, “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.<br />Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf, 1979. Crisis Muslim Education, Jeddah : King Abdul Aziz University.<br />Shihab., Quraish. 1999. Wawasan al-Qur’an. Bandung : Mizan.<br />Wan Daud., Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung : Mizan.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Dikutip dari tulisan A. Syafi’i Ma’arif. “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1991) hlm 147 – 148.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Sains agama ini merujuk pada teologi (ilmu kalam), Hukum (termasuk fiqh, ushul fiq dan lain-lain), ulumul Qur’an, ulumul Hadits, dls. sains rasional biasanya dialamatkan pada ilmu-ilmu fislafat, retorika, aritmatika, astronomi, kedokteran, dls. Amrullah Ahmad. “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1991) hlm 83.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Menurut Rahman, selain serangan al-Ghazali tersebut, ada beberapa alasan tentang hal ini. Pertama, adanya pandangan bahwa hidup ini relatif singkat. Sehingga orang kemudian memprioritaskan ilmu-ilmu agama untuk memberikan “jaminan” pada kehidupan akhirat. Kedua, adanya tradisi sufi yang dengan sengaja menolak rasionalisme-intelektual dalam pencapaian pengetahuan. Dan Ketiga, ijazah-ijazah yang mendapat legislasi untuk bekerja sebagai mufti atau qadi pada saat itu adalah ilmu-ilmu agama, sementara filsuf dan saintis hanya tersedia lowongan kerja diistana saja. Lihat Fazlurrahman. Islam Dan Modernitas ; Tantangan Transformasi Intelektual. (Bandung : Pustaka. 1985) hlm 39.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Misalnya tentang persoalan epistemologis praksis dari pemberlakuan integrasi ilmu di UIN, sepertinya hanya didasarkan pada kebutuhan pragmatis dan apologis. Realisasi dari persoalan apakah integrasi itu adalah pemberlakuan nilai-nilai Islami, yaitu setiap ilmu umum di “sinari” dengan nilai-nilai Islam, ataukah disiplin ilmu itu berdiri sendiri meskipun didalamnya ilmu-ilmu dasar Islam diajarkan? Yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati adalah pemberian gelar yang “jelas-jelas” memperlebar dikotomi antara Perguruan Tinggi Agama (UIN) dan Perguruan Tinggi Umum.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Abdul Munir Mulkhan. Nalar Spritual Pendidikan ; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Tiara Wacana. 2002) hlm. 188.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Kesuksesan ini bisa kita baca penuturan salah satu muridnya, Muhammad Rasyid Ridha dalam buku Tarikh al-ustadz al-Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh, (Kairo : Dar al-Maarif. 1931) hlm. 254.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Lihat Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf, Crisis Muslim Education, (Jeddah : King Abdul Aziz University. 1979) hlm 56.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an (Bandung : Mizan. 1999) hlm 234.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Misalnya ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dsb.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. (Bandung : Mizan. 2003) hlm 144.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Fazlur Rahman. “The Qur’anic Consept of God” dalam Islamic Studies, Jilid VI, no. 1. 1967, hlm 8 – 11.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Ibid.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Imam Chanafie Al-Jauhari. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, (Yogyakarta : Ittaqa Press. 1999) hlm 53.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> QS. Al-‘Alaq : 1.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Komaruddin Hidayat, “Melampaui Nama-Nama Islam dan Postmodenisme” dalam edy A. Efendi (ed) Dekonstruksi Mazhab Ciputat. (Bandung : Zaman Wacana Mulia. 1999) hlm 96<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Hamka. Filsafat Ketuhanan. (Surabaya : Penerbit Karunia. 1985), hlm 113.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1996) hlm 23 – 24.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Dikutip dari Muhammad Surya, “Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Tauhi Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. (Bandung : Nuansa. 2000) hlm 84 – 85.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> SH. Nasr. Spritualitas dan Sni dalam Islam. (trj) (Bandung : Mizan. 1993) hlm. 16. terutama pada footnote 9.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Bandingkan dengan SH. Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis ; Spritualitas Islam, (trj), (Bandung : Mizan. 2002) hlm xxii.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Hadits ini penulis kutip dari buku SH. Nasr. Islam ; Antara Cita dan Fakta, (trj). (Yogyakarta : Pusaka. 2001) hlm 57.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Danah Zohar dan Ian Marshal. SQ ; Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk memahami Hidup (trj). (Bandung : Mizan. 2000)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> Teks lengkapnya baca halaman 9.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> Lihatlah misalnya pada abad III – VII H, kreatifitas dan dinamika sufistik telah mampu memberikan inspirasi pada pemikir-pemikir, baik dibidang filsafat, kalam, dan hukum. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Tufail, Suhrawardi, al-Ghazali, bahkan tokoh-tokoh ahli kimia dan fisika ; al-Iraqi, Jubir Ibn Hayyan (penggali pertama ilmu aljabar), dan al-Razi (ahli Ilmu Optik) adalah orang-orang sufi. Begitu pula Nash al-Din at-Thusi dan Ibn Bana’ al-Marakusyi. Bahkan spritualitas Sufistik telah mempengaruhi peradaban materal. Hampir setiap bentuk seni mulai puisi, sajak cerita-cerita,sampai pada bentuk arsitektur ; masjid, Istana memperlihatkan keterpaduan dengan sufi. Pengaruh ini dapat dilihat dalam buku SH. Nasr. Spritualitas dan Seni Islam. (Bandung : Mizan. 1993).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Yang dimaksud dengan “perjanjian primordial” ini adalah suatu ikatan janji yang terjadi pada zaman azali dengan Tuhan dan manusia, bahwa manusia primordial mengakui Dia sebagai Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam ayat “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari tulang selangkangan mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri, (dan Allah berkata) “bukankah Aku adalah Tuhanmu sekalian?”, mereka semua menjawab “ya, benar, kami semua menjadi saksi”..(QS. Al-A’raf : 172).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> Munzir Hitami. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. (Pekanbaru : Infinite. 2004) hlm 11 – 14.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> Kuntowijoyo menyebutkan ; “Substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), Rajâ’ (sangat berharap), Qonâ’ah (menerima pemberian Allah), Tawakkal ((pasrah), Syukûr, Ikhlâs dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct theaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh Nabi, para Shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan, demikian juga sejarah, mitos dan sastra”. Lihat Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3841561384461475004#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a> Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, hlm 184.</p>Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-8569203011539669772008-05-07T21:12:00.000-07:002008-05-07T21:13:58.138-07:00Epistemologi IntuitifEpistemologi Intuitif ;Memperbincangkan Epistemologi ‘Irfani<br />PengantarSegala Kebenaran harusnya diketahui dan dinyatakan dan juga dibenarkan. Kebenaran itu sendiri (sebenarnya) tidak memerlukan hal, karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku(Paul Natorp)Pada dasarnya, filsafat mencoba untuk mencari kebenaran, sebuah usaha yang selalu membawa klaim-klaim dari para pembawanya, agar menjadi valid dan tetap selalu dipakai disetiap zaman. Akan tetapi, hal itu harus berangkat dari pertarungan yang panjang, yang melampaui dimensi ruang, tempat dan lokalitas pemikiran seorang filosof. Dari pencarian kebenaran tersebut, tentu akan selalu ada mata rantai filsafat yang pada dataran praksisnya menjadi abadi. Yaitu manifestasi dari tesis-antitesis, aksi-reaksi, dan kontruksi-rekontruksi atau dekontruksi.Oleh karena itu, kebenaran akan selalu menjadi sementara (hypo-knowledge), yang pada suatu saat akan “berselingkuh” dalam bentuk beragam rupa, sesuai dengan parameter dan indikator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidental, lokalitas, kontekstualitas, maupun karena lemahnya “jari-jari” kebenaran tersebut mencengkeram suatu zaman. “Perselingkuhan” atau bahkan pertentangan sama sekali, dari satu kebenaran ke kebenaran lainnya, merupakan dialektika dan dinamika tersendiri dalam diri filsafat.Makalah ini mencoba melakukan eksplorasi lebih jauh pada perdebatan “pencarian” pengetahuan, yang selama ini berputar pada wilayah rasionalisme dan empirisme yang sangat menghegemoni pemiran filsafat selama berabad-abad. Dan makalah ini, tidak membuka kembali perdebatan itu, meskipun ada sedikit “kata pembuka” untuk menguraikan lebih lanjut munculnya intuisi sebagai salah satu “media” bagi proses penemuan pengetahuan.<br /><br />Pertarungan Epistemologi dalam Sejarah ; Peta awal Kelahiran IntuisionismeEpistemologi seringkali diartikan sebagai “the branch of philosopy which investigates the origins, structure, methods and validity of knowledge” Dengan kata lain, epistemologi merupakan bagian filsafat yang membahas secara mendalam mengenai hakikat dan kebenaran sebuah pengetahuan, serta metode dan sistem untuk memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya, terdapat dua aliran besar dalam epistemologi. Pertama, Idealisme, yang kemudian diteruskan oleh kelompok rasionalisme. Aliran ini, sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, Matrealisme, justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua . Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Matrealisme dimotori oleh Aristoteles.Plato (427 – 347 SM) bersiteguh, bahwa ide adalah hakikat dari yang tampak. Karena, dia beranggapan bahwa sesuatu yang tampak (fenomena) selalu mengalami perubahan, padahal sesuatu yang hakiki semestinya harus kekal. Oleh karenanya, Ide ini bukan hanya sekedar gagasan yang ada pada pikiran an sich, melainkan sebagai sumber untuk membimbing pikiran manusia. Penegasan Plato ini, kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), yang sering disebut sebagai bapak aliran rasionalism sekaligus sebagai pelopor filsafat modern, dengan semboyan Cagito ergo sum. Titik tolak dari keharusan berfikir ini adalah keraguan. Untuk menghilangkan prasangka-prasangka sebelum terjadinya proses berfikir, agar ada jaminan bahwa hasil pemikiran itu benar, maka Descartes mengharuskan untuk menjadikan rasio atau pikiran sebagai satu-satunya instansi yang memberikan bimbingan. Sementara itu, Aristoteles (382 – 322 SM), yang merupakan murid dari Plato, menyanggah dengan tegas, teori yang diajukan oleh Plato tersebut. Menurutnya, ide-ide bawaan atau innate idea, sebenarnya tidak ada. Sungguhpun dia menyadari bahwa fenomena atau realitas itu selalu berubah, akan tetapi dengan penyelidikan dan pengamatan yang terus menerus terhadap benda-benda konkrit, maka akal akan dapat mengabstraksikan idea dari benda tersebut. Dari asumsi inilah, kemudian empirisme memperkuat tesis Aristoteles tersebut. Thomas Hobbes (1588 – 1679 M) misalnya, menganggap bahwa yang ada hanyalah bersifat bendawi, artinya keberadaan realitas benda tidak tergantung pada gagasan manusia.Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah setiap kebenaran selalu didasarkan pada alam metafisis tidak dapat diterima. Sementara kebenaran agama, yang sumber kebenarannya didasarkan pada realitas metafisis, tidak mendapat porsi yang sempurna (untuk tidak mengatakan tidak sama sekali) dalam pandangan matrealisme-empiris tersebut. Tarik menarik antara Idealisme dan Matrealisme ini, kemudian melahirkan dua corak pemikiran filsafat baru. Pertama, Rasionalisme Kritis, yang dipelopori oleh Imanuel Kant. Dia lalu menggabungkan pengetahuan a la rasionalisme dan empirisme dengan sintesis a priori. Kant membagi pengetahuan kepada empat tingkatan. Pertama, pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Kedua, pengetahuan yang didapat dari pengalaman (a posteriori). Ketiga, pengetahuan yang didapat melalui analisis (analisis). Keempat, pengetahuan yang didasarkan kepada hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang bisanya terpisah (sintesis). Jika rasionalisme hanya sampai pada pengetahuan analitis a priori, maka matrealisme hanya sampai pada analitis a posteriori. Oleh karena itu, menurut Kant, untuk mencapai pengetahuan yang universal dan hakiki harus dilakukan adalah sintesis a priori, yaitu proses penggabungan dari rasionalisme dan empirisme. Aliran Kedua, yang muncul sebagai kritik atas Idealisme dan Matrealisme adalah Intuisionisme, yang dipelopori oleh Henry Bergson. Aliran ini mencoba menengarai antara pengetahuan diskursif (knowledge of), yaitu pengetahuan yang didapat melalui simbol-simbol lahiriah dari realitas, dengan pengetahuan intuitif (knowledge about), yakni pengetahuan yang diperoleh melalui usaha untuk mengatasi hal-hal yang bersifat lahiriah dari pengetahuan simbolis. Dalam khazanah pemikiran filsafat-sufistik, aliran ini banyak dikembangkan. Misalnya Iqbal, yang memposisikan intuisi sebagai salah satu sumber sentral dalam mencari hakikat kebenaran atau pengetahuan. Meskipun, dia sering merujuk pengertian intuisi ini pada Jalaluddin Rumi, tetapi pada kesempatan lain dia juga mengikuti Bergson tersebut, yang oleh dia disebut sebagai “a higher kind of intellect” Struktur dan Cara Kerja IntuisiKetika kita akan mencoba menelusuri dan mencari ilmu atau pengetahuan, maka kita akan mengambil dan mengolah bahan-bahan ilmu itu dari sumbernya, sehingga akan menjadi “berilmu”. Lalu, proses penelusuran dan pencarian itu, jelas membutuhkan “seperangkat” media untuk mampu mencerap sebuah ilmu. Nah, pertarungan antara rasionalisme, yang memainkan hegemoni akal, dan empirisme, yang menonjolkan peran indrawi, merupakan diskursus panjang tentang pencarian itu.Problem yang terjadi pada ranah rasionalisme dan empirisme adalah ketidakmampuannya dalam menangkap eksperensiasi dari sesuatu. Jika rasionalisme berhenti pada wilayah akal dan tidak sampai pada wilayah “supra akal”, sementara empirisme melahirkan pengetahuan yang parsial dan terbatas oleh ruang dan waktu, maka intuisi menjadi “gerbang” bagi adanya pengetahuan eksperensial.Menurut Henry Bergson, alam ini ada dua ; alam Indrawi dan alam Intuisi. Jika yang pertama bisa diamati dan bisa dieksperimentasi oleh ilmu pengetahuan, maka yang kedua sangat menekankan dimensi kejiwaan. Pada dimensi ini, kita akan mendapatkan sebuah pengetahuan absolut. Dimana kita berada pada ruang yang terpisah jauh dengan wilayah rasio dan empiris yang menipu.Sementara Iqbal, memposisikan wilayah intusi ini pada wilayah qalb atau fuad. Artinya, yang menjadi wilayah kerja intusi adalah berada pada struktur heart (hati). Karena ia berada pada heart, maka pengetahuan intuitif ini, baik dalam pengertian kecerdasan (al-hads) maupun dalam pengertian pengelaman pencerahan (al-wijdan, Illuminatif), adalah sampainya jiwa pada makna atau sampainya makna dalam jiwa. Sehingga, bagi Iqbal, cara mengambil ilmu dari sumbernya adalah melalui ilham, dan sebagai penerimanya adalah intuisi. Maka, kerja sama antara pancaindra, akal dan intuisi, merupakan kemutlakan seseorang dalam memperoleh pengetahuan. Ia tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling melengkapi. Contoh berikut adalah bagaimana struktur kerja antara pancaindra, akal dan intuisi. Iqbal memberikan contoh, ketika seseorang melihat langit, yang kemudian berkesimpulan bahwa “langit itu biru”, merupakan hasil dari kesan kesadaran. Karena warna “biru” pada langit bukanlah kualitas pada langit. Hal ini, menandaskan bahwa akal berposisi memberikan keputusan bahwa langit itu “biru”, sementara indera sangat bergantung pada intuisi sehingga menimbulkan kesadaran batin.Peran ilham dalam melakukan “penyingkapan-penyingkapan” kesadaran batin, sebenarnya telah banyak di sitir oleh kaum sufi dalam mendapatkan ilmu hudhuri, yaitu proses pencarian pengetahuan melalui hati (heart). Kaum sufi menegaskan bahwa manusia akan mencapai istisyraq (pencerahan) dan istilham (ketersingkapan), jika ia mampu mencapai manazil al-sa’irin (kedudukan-kedudukan para pejalan), kesadaran diri (yaqzhah), tobat (tawbah), mawas diri (muhasabah), perenungan (tafakkur), mengingat Allah (tadzakkur), dan lain sebagainya. Menurut mereka, jika mata (bashar) hanya mampu mengindera obyek yang dekat dan tidak terlekati oleh kotoran dan hijab, maka mata kesadaran dan mata-batin (bashirah) akan mampu mengetahui obyek yang jauh dan mampu menyingkapkan kotoran dan hijab.<br />Epistemologi ‘Irfani ; Antara Bayani dan BurhaniPerbedaan pendekatan dalam mempelajari dan memahami sesuatu, terkadang juga melahirkan berbagai kesimpulan yang berbeda. Demikian pula dalam studi Islam, munculnya berbagai mazdhab sepanjang sejarah Islam, menunjukkan bahwa sebagian Ulama’, baik Muhadditsin, Mufassirin, maupun Fuqaha’, bahkan kaum Sufi dan Filosof, memiliki tipologi atau pendekatan pemikiran tersendiri dalam membangun kerangka berfikirnya, yang nantinya akan melahirkan produk-produk ijtihad-nya yang berbeda satu dengan yang lainnya.Istilah epistemologi ‘Irfani, yang kemudian dibarengi dengan bayani, dan burhani, banyak dikembangkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri. Epistemologi bayani, menurut al-Jabiry, didukung oleh corak berfikir fikih dan kalam. Model ini, lebih menekan otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah usul fiqh klasik, sementara sumber-sumber lain seperti alam (kauniyyah), akal (aqliyyah), dan intuisi (wijdaniyyah), terpinggirkan. Sehingga, isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual, tidak tersentuh pada model ini.Jika, sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, maka epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-ilm al-hushuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan melalui peremis-premis logika atau al-mantiq. Dan ilmu ini, telah banyak disebut pertamakali oleh Ibn Rusyd. Tolak ukur validitas keilmuannya, epistemologi ini menekankan akan adanya korespondensi, yaitu kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam (al-mutabaqah baina al-‘aql wa nizam al-tabi’ah). Juga koherensi, keruntutan dan keteraturan berfikir logis.Sementara istilah epistemologi ‘irfani, muncul dikalangan kaum sufi, yang sangat menekankan pengalaman (experience). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tiada ternilai harganya. Ketika sesorang menghadapi fenomena alam yang mengagumkan, sehingga dalam lubuk hatinya akan dapat mengetahui Dzat Yang Maha Segalanya, oleh karenanya orang tidak perlu menunggu “teks” untuk melakukan eksplorasi pengetahuan.Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam ini, biasanya disebut sebagai al-Ilm al-Hudhuri (direct experience). Semua pengalaman tersebut, dapat “dirasakan” langsung oleh seluruh umat manusia tanpa memandang ras, budaya, dan agama. Oleh karena itu, validitas kebenaran epistemologi ‘irfani ini hanya dapat dirasakan dan dihayati langsung (al-ru’yah al-mubasyirah). Sehingga, sekat-sekat bahasa, ras, kultur, etnik, golongan, dan paham yang terbangun dalam epistemologi bayani, dicoba diketipakan oleh epistemologi ‘irfani.Maka, hubungan antara “subyek” dan “obyek” bukannya bersifat subyektif, sebagaimana yang terjadi pada tradisi bayani, dan bukan pula bersifat obyektif, seperti biasa ditanamkan pada tradisi burhani, melainkan inter-subyektif. Dalam pengertian ini, pemaknaan dalam studi agama, lebih dimaknai secara batiniyyah. Berikut adalah skema antara tradisi epistemologi keilmuan Bayani, Irfani dan Burhani :<br />“Wilayah Kerja” Epistemologi Bayani Irfani BurhaniSumber Nas/otoritas teks Pengalaman Alam, sosial, humanitasMetode Ijtihadiyyah - al-dzauqiyyah- riyadhah, mujahadah, dll- penghayatan batin Abstraksi Pendekatan - Bahasa- Pola fikir deduktif, dengan berpangkal pada teks. (istinbatiyyah)- Fikih dan Kalam Psiko-gnosis, intuitif, al-Qalb. Filosofis-SaintisKerangka teori al-Lafz-al-Ma’na - zahir – batin- haqiqi – majazi - al-mantiq- silogismea – bb – ca – c Fungsi dan peran akal Justifikasi-repetitif-taqlidi(Pengukuhan kebenaran otoritas teks) Partisipatif-al-hads wa al-wijdan Heuristik-Analitik-KritisModel argumentasi Dogmatik Esoterik dan Wijdaniyyah Demonstratif, eksploratif, verifikatif, eksplanatifTolak ukur validitas Keserupaan antara teks dengan ralitas Empati, simpati, dan undestending others KorespondensiKoherensiPragmatig Prinsip-prinsip dasar - infisal (discontinue- tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada hukum kausalitas- analogi deduktif ; qiyas. Al-ma’rifah Prinsip kausalitaskepastianPenganut Teolog, fuqaha’, ahli nahwu Kaum sufi FilosofIlmuanHubungan Subyek Obyek Subyektif Inter subyektif Obyektif<br /><br />PenutupSehebat apapun sebuah pengetahuan, atau “hasil” ijtihad, pasti akan berhadapan dengan kompleksitas persoalan yang terus berkembang. Dan semakin ia tertutup dengan “pengetahuan” diluarnya, justru semakin kelihatan kekakuan dan eksklusivitasnya. Dan bila ini terjadi, maka hasilnya bukanlah enrichment dan development (Pengayaan dan pengembangan keilmuan) tetapi adalah penyempitan willayah horizon keilmuan itu sendiri. Lalu bagaimana dengan kita? Nah….Wallahu A’lam bi al-Showab.<br />Daftar PustakaMieska Muhammad Amin. 1983. Epistemologi Islam. Jakarta : UI Press.<br />Harold H. Titus, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat (trj). Jakarta : Bulan Bintang. <br />L. O. Kattsoff. 1987. Pengantar Filsafat, (tjm). Yogyakarta : Tiara Wacana.<br />Harun Hadiwijono. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : Kanisius Muhammad Husny al-Zayyin. 1979. Mantiq Ibn Taymiyyah wa Manhayjuh al-Fikr, Baerut : al-Maktabah al-Islami. 1979<br />Muhammad Iqbal. 1981. The Recontruction of Religiou Thought in Islam. New Delhi : Kitab Bhavan.<br />Ali Abdul Azhim, 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu ; Perspektif al-Qur’an, Bandung : CV. Rosda.<br />Jujun S. Suriasumantri. 1999. Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantas Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.<br />Ibn Manzur. 1990. Lisan al-Arab, jilid III. Beirut : Dar al-Fikr. <br />Wan Mohd. Nor Wan Daud. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam (trj). (Bandung : Mizan.<br />Sukardi (ed). 2000. kuliah – Kuliah Tasawuf, Bandung : Pustaka Hidayah. <br />M. Amin Abdullah. “Al-Ta’wil al-Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci” dalam M. Amin Abdullah, dkk. 2002. Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, Yogyakarta : Panitia Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga.Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-26333965491333007532008-03-11T18:06:00.001-07:002008-03-11T18:06:46.444-07:00Rahsa yang HilangKebahagiaan ini, menghambur, meluap menebas semua sisi derita yang selama ini ada pada-ku. Kering dan hampa yang selalu menghias pada setiap jejak cinta-ku, seolah teraliri oleh tetesan salju yang berhias disukmaku. Pada saat itu, hayalku menembus sidrah al-muntaha menghadap pada kuasa-Nya, agar firman-Nya memaku dua hati yang “terjebak” oleh ke-saleh-an cinta. Pada hari itu, aku menari, bernyanyi, bersiul indah menatap oase kehidupan yang me-merah jutaan rahsa.<br />Ahirnya, akupun terperangkap oleh “kesadisan” pesona, yang menyayat setiap ruang didalam hati ini. Di sini, aku seolah menghiba pada pelangi yang nun jauh disana. Bahkan, aku seperti mengais-ngais “ceceran sampah” dalam buana emas yang berhamburan. Ya Allah, aku terjatuh pada jepitan-jepitan jarum yang Engkau tebar, persis seperti yang Engkau beri pada hari kemarin.<br />Setiap khabar yang selama ini aku sampaikan pada hamparan embun di pagi hari, seolah senasib dengan dia yang selalu terenggut oleh sinar mentari. Setiap cinta dan kasih yang aku tawarkan, selalu merembes pada jantung amnesia. Tangisan yang aku rangkai dalam sulaman kasih-sayang, memudar pada setiap tatapan yang dia berikan. Kebahagiaan yang aku nikmati, sesingkat buih yang mengapung di belantara lautan.<br />Aku yang terlalu bodoh, atau dia yang terlalu cantik bagi-ku?<br />Aku yang terlalu naif, atau dia yang terlalu risau tentang-ku?<br />Pekikan dalam setiap lamunan, tak mengubah cita rasa yang dia benamkan dalam hatiku. Takbir yang aku sanjungkan pada-Mu, tak menggeser rasa perih ini pada cinta yang Engkau miliki, Tuhan. Tahmid yang aku bisikkan, tak pernah mengalirkan kasih dalam jiwaku. Ya Allah, nestapa ini tak sanggup aku lalui.<br />Jika ini bukan kehendak-Mu, mohon dengan segala khidmat-ku pada-Mu, sisipkan cinta milik-nya ini pada cahaya-cahaya bintang. Biarlah aku nikmati cinta-nya dalam kejauhan saja.<br />Andai ini bukan kuasa-Mu, Ya Allah, titipkan sebutir cinta milik-nya pada semilir angin yang menghembus di terik mentari. Biar aku bisa merasakan kesejukan, meski aku tak bisa menyentuhnya.<br />Atau, jika dia memang Engkau taqdirkan untuk bersama berbagi dengan cinta yang aku miliki, ubahlah sikapnya dengan sejuta senyum yang mengalir deras dari bibirnya.<br />Tuhan.... Engkau segalanya bagi-ku<br />Pekanbaru, 06 Agustus 2007Hanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3841561384461475004.post-49823004203455930572008-03-10T19:09:00.000-07:002008-03-10T19:10:09.770-07:00Pengantar KataBismillahirrahimHanafi, MAhttp://www.blogger.com/profile/09843950744806679202noreply@blogger.com0