Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Islam. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Mei 2008

Trimakasih Israel

Terimakasih Israel
Imam Hanafi, MA

Tiga minggu sudah, engkau “membabat habis” negeri Libanon. Lima ratus jiwa lebih engkau paksa untuk memenuhi panggilan Tuhan, yang hampir delapan puluh lima persen adalah warga sipil yang tidak berdaya yaitu anak-anak dan perempuan. Di tengah kebisuan dan ketidakberdayaan Dunia (PBB), engkau semakin tidak peduli dengan teriakan-teriakan kesakitan anak-anak manusia yang tak berdosa.
Rentetan dan dentuman roket yang engkau kirim ke Libanon dan sekitarnya, mengalahkan suara jeritan dan tangisan anak-anak dan wanita yang tengah terlelap dalam dekapan malam. Senyum yang selalu di dambakan oleh setiap warga lemah, justru engkau ganti dengan kucuran air mata.
Kondisi inilah, menjadikan Hizbullah melegitimasi kekerasan yang ia lakukan sebagai sebuah hal yang lumrah. Begitu juga warga Dunia yang masih mempunyai hati nurani atas korban kemanusiaan, akan membenarkan sikap-sikap “pembalasan” atas apa yang engkau lakukan. Karena perdamaian (bahasa politiknya “genjatan senjata”) yang mereka inginkan, justru muntahan peluru yang engkau berikan.
Tiba-tiba saya ingat akan pernyataan Nelson Mandela ketika ia melakukan pembelaan di pengadilan penghianatan Rivona. Di sana ia menyatakan “Saya dan kawan-kawan yang memulai organisasi tersebut, melakukan karena dua alasan ; Pertama, kami yakin bahwa sebagai akibat kebijakan pemerintah, kekerasan oleh rakyat Afrika menjadi tidak terhindarkan. Dan akan muncul terorisme yang dapat membuahkan penyiksaan dan permusuhan yang intensif antar ras yang berbeda dinegeri ini. Bahkan tidak dihasilkan oleh peperangan, kecuali jika kepemimpinan yang bertanggungjawab diberikan untuk menyalurkan dan mengendalikan rakyat kami. Kedua, kami merasa bahwa tanpa kekerasan tidak ada jalan yang terbuka bagi masyarakat Afrika untuk berhasil dalam perlawanan mereka melawan prinsip supremasi kaum putih. Semua cara untuk mengekspresikan oposisi yang sesuai dengan hokum terhadap prinsip ini, telah ditutup oleh undang-undang dan kami berada dalam posisi harus menerima bahwa kami lebih rendah atau kami menentang pemerintah. Maka kami memilih menentang hukum. Awalnya kami melawan hokum dengan cara menghindari terjadinya kekerasan. Tetapi ketika hal itu dinilai melawan Undang-Undang dan pemerintah menggunakan kekerasan untuk menghancurkan setiap bentuk perlawanan terhadap kebijakannya. Maka sejak saat itulah kami memutuskan menjawab kekerasan dengan kekerasan”
Begitu kira-kira pernyataan Nelson Mandela, yang berjuang untuk bangsanya. Kekerasan justru dia lawan dengan kekerasan pula, karena tidak ada jalan lain untuk melakukan perlawanan, kecuali dengan kekerasan. Meskipun pada mulanya ia berjuang untuk menegakkan hukum, yaitu memperjuangkan hak-hak warga “kulit hitam” atas dominasi kulit putih melalui jalur hokum, tetapi upaya itu justru dibalas dengan penindasan, penyiksaan, pemerkosaan, dan lainnya. Maka tidak ada jalan bagi mereka untuk melakukan perlawanan, kecuali dengan kekerasan.
Begitu juga, dengan yang engkau lakukan. Bahwa kekerasan yang kami lakukan adalah refleksi dari serangakaian kebiadaban yang engkau sebarkan atas dunia Islam. Bahwa perjuangan yang kami lakukan adalah karena dominasi yang engkau lakukan terhadap Negara-negara dunia, sehingga mereka memicingkan mata untuk menghentikan kebrutalan yang engkau lakukan. Maka jangan salahkan kami, jika kami umat Islam bersatu, berjihad bersama untuk membalas kebiadaban yang engkau lakukan.
Akan tetapi, ditengah kebiadaban yang engkau lakukan, wahai Israel, saya sangat berterimakasih atas itu semua. Dengan kebiadaban dan kebrutalan yang engkau ciptakan, telah menyadarkan kami tentang bahaya zionis yang engkau lakukan. Invasi yang telah engkau lakukan, telah mambangkitkan semangat jihad baru yang selama ini kami hanya “tersipu” untuk menyebutmu sebagai “musuh sejati”. Kami semakin sadar, bahwa membalas kesadisan yang engkau lakukan adalah sebuah jihad yang harus kami tempuh bersama.
Terimakasih Israel, engkau telah menghantarkan nyawa-nyawa kami untuk menjadi syahid (saksi akan kebiadabanmu dihadapan Tuhan). Engkau telah membangkitkan semangat martil-martil Islam, yang lebih hebat yang engkau duga, sebagaimana para mujahid kami yang menggulung kaum Komunis-Uni Soviet di Afganistan.
Terimakasih Israel, “penghianatan kemanusiaan” yang engkau tampilkan atas Libanon justru membuat kami semakin bangkit untuk menggalang solidaritas dan kebersamaan kemanusiaan, baik sesama kami umat Islam maupun terhadap agama-agama lain yang sama-sama mengutukmu.
Sekali lagi, saya mengucapkan terimakasih pada engkau Israel, bahwa apa yang selama ini engkau lakukan, yang selalu mendapat restu oleh “gedung putih”, atas Palestina, Hizbullah, dan Libanon, semakin menunjukkan bahwa engkaulah bangsa yang paling biadab di dunia ini. Dan ini semakin menepis kebenaran bahwa apa yang pernah dilakukan oleh Gus Dur, mantan Presiden RI kami, yang sempat membuat “Yayasan Bersama” dengan engkau, adalah tidak benar dan jauh dari persetujuan kami.
Teruskan perjuangan yang engkau lakukan, hingga ke Iran, Irak, Syiria, dan dunia Islam lainnya. Sehingga “memaksa” kami untuk bersatu. Jadi akan sangat wajar jika apa yang diperkirakan oleh Huntington, bahwa “perang dunia ketiga” adalah perang antar peradaban, yaitu peradaban Timur (dunia Islam) dan Barat, menjadi nyata.
Tidak ada yang lebih pedih dan menyakitkan adalah kenapa umat Islam dunia, masih tersipu-sipu untuk membantu saudaranya dibombardir oleh Israel? Kenapa bantuan yang diberikan hanya bersifat cacian dan makian? Kenapa tidak kita boikot saja, semua produk USA dan Israel serta Negara-Negara yang berlindung dibelakang Israel? Atau kita ikuti saja ajakan Mahatir Muhammad untuk tidak menggunakan dollar AS dan poundsterling dalam setiap transaksi? Kenapa harus kita menunggu suara PBB, yang jelas-jelas tidak mempunyai komitmen perdamaian? Jangan-jangan kita hanya menunggu kehancuran rakyat Libanon dan dunia Islam lainya. Wallahu a’lam bi al-showab.

Rabu, 07 Mei 2008

Basis Epistemologi dalam Pendidikan Islam

Basis Epistemologi dalam Pendidikan Islam
Arah Interelasi Ilmu dalam Proses Pendidikan Islam

Introduction
Pada awal era modern, para pemikir modern dan pemimpin muslim, mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan sebagai upaya memajukan umat, terutama untuk menghadapi hegemoni sosial, ekonomi dan kebudayaan Barat. Tokoh-tokoh seperti Sayyed Ahmad Khan di India dan Muhammad Abduh di Mesir, dua tokoh reformis dan berpengaruh, tidak hanya menjadikan pendidikan sebagai cara yang paling efektif untuk menghadapi persoalaan kejumudan dan kemunduran umat selama ini. Mereka bahkan mengusahakan interpretasi ulang terhadap (pengetahuan) agama Islam secara internal. Supaya umat Islam bisa mengakomodasikan perkembangan-perkembangan baru di Barat.
Oleh karena itu, kebangkitan umat Islam tidak hanya dipahami dan diawali dengan memberikan perhatian sepenuhnya terhadap pengadaan sarana pendidikan. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana melakukan pembenahan tentang konsepsi ilmu pengetahuan yang bselaras dengan nilai-nilai Islam. Maka konsep ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan menjadi sangat urgen dan prinsipil. Karena ia tidak hanya sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, lebih jauh dari itu ia berperan penting untuk mencapai tujuan-tujuan spritualitas manusia. Hal ini, bukan berarti perhatian Islam terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi, dan politik dinomorduakan, tetapi semua itu difungsikan sebagai pendukung untuk mencapai spritualitas manusia. Konsekuensinya kita mesti melakukan definisi ulang tentang konsep ilmu dalam kaitannya dengan realitas spritualitas manusia.
Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba melakukan eksplorasi tentang epistemologi ilmu pengetahuan dan legalitasnya dalam kahzanah pemikiran Islam itu sendiri. Dan tidak membahas secara terperinci mengenai Konsep Ilmu ; pengertian dan sumber validitasnya. Meskipun pada ahirnya, penulis mungkin tidak bisa mempertemukan (kalau bukan menemukan) interkoneksitas kebernilaian sebuah ilmu dalam kaitannya dengan konsep pendidikan universal.

Persoalan Epistemologis dalam Islam
Akal (rasio) dan indera merupakan dua alat pengetahuan. Pemujaan yang pertama akan melahirkan rasionalisme, sementara pemujaan yang kedua akan membawa kita kepada sensualisme, empirisme, matrealisme, dan positivisme. Jika yang pertama obyeknya adalah abstrak dan paradigmanya logis. Maka yang kedua obyeknya bersifat empiris dan paradigmanya adalah sains. Kedua paradigma ini, pada akhirnya menolak obyek mistis yang spralogis dan non-empiris. Dua alat pengetahuan inilah kemudian menolak dengan tegas memberikan saham yang cukup signifikan dalam membidani lahirnya sains dan teknologi di Barat.
Sains dan teknologi telah menggeser peran manusia pada puncak absolut. Dimana manusia diberi otonomi tanpa batas dalam memaknai setiap persoalan kemanusiaan, termasuk didalamnya adalah persoalan etika dan moralitas. Wilayah moralitas dan etika semakin menunjukkan perbedaan yang cukup jelas dengan wilayah kekuasaan dan sains. Pertimbangan-pertimbangan ilahiyyah seolah-olah telah ‘terusir’ dari logika politik, sains dan teknologi. Hal ini, jelas akan semakin memperlebar jurang sekulerisme. Tidak heran jika Aleksander I. Solzhenitsyn, pemikir dari Rusia, mengatakan bahwa “bila kita terpisah dari konsep-konsep baik dan buruk, apalagi yang masih tersisa, kecuali status yang sama dengan binatang”.[1]
Hegemoni sekulerisme ini, telah menjadikan sistem etika pada corak antropomorfis, yaitu menempatkan manusia pada pusat segala-galanya. Dunia Islam yang pada hakikatnya tidak menolak akal dan indera sebagai dua alat pengetahuan, juga secara formal menolak arus sekulerisme, tetapi pada kenyataannya telah dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang cukup mendasar. Diantara kesulitan itu adalah ketika kita akan mengangkat konsep pendidikan Islam.
Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi Barat, pada saat bersamaan umat Islam dihadapkan pada kemerosotan peradaban musilm, terutama sekitar abad ke-16 – 17. pada masa ini, muncul epistemologi dikotomik antara “sains agama” (‘ulum syari’ah) atau “sains-sains tradisional” (‘ulum naqliyyah) dan “sains rasional” (‘ulum ‘aqliyyah atau ghair syar’iyyah),[2] pada puncaknya adalah ketika al-Ghozali mengkategorikan fardhu ‘ain bagi sains agama dan fardhu kifayah bagi sains rasional.[3]
Kondisi ini semakin diperparah dengan bercokolnya kolonialis Barat dibeberapa negara Muslim. Barat yang telah mempunyuai seperangkat epistemologi sekuler yang kuat, semakin “membuaikan” status quo pola fikir umat Islam pada ranjang (dengan dalih) kepentingan akhirat.
Dalam polarisasi sikap yang seperti itulah, dua sistem pengetahuan berjalan secara bersamaan. Pengetahuan modern dengan sistem sekulernya, dan pengetahuan Islam dengan orientasi ukhrawi-nya. Orientasi dikotomik ini, terus meluas pada pola pendidikan yang semakin mempersulit umat Islam untuk mencairkannya. Tokoh-tokoh seperti, Sardar, Al-Faruqi, al-Attas dan lainnya, kemudian mencoba melakukan “Islamisasi” ilmu pengetahuan. Konsep ini, terutama di Indonesia, pada akhirnya dimaknai dengan mendirikan Madrasah dan UIN[4]. Tetapi konsep pemaknaan ini, justru menimbulkan sikap ambivalensi umat Islam. Karena integrasi ilmu tersebut tidak berangkat dari dua sistem ilmu tanpa konsep.[5] Kita dapat melihat bagaimana upaya Abduh ketika akan melakukan “modernisasi” pendidikan al-Azhar, yaitu hanya “sekedar” memasukkan beberapa pelajaran umum yang telah dipelajari Barat.[6] Hal ini, menurut Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf tetap saja melahirkan dua sistem pendidikan. Yang pada akhirnya, persaingan dari dua sistem tersebut justru akan melemahkan dasar-dasar masyarakat Muslim.[7]

Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan
Dalam al-Qur’an, kata ilm, dengan berbagai bentuknya terulang sampai 854 kali.[8] Yang berarti kejelasan, karena ia berakar dari bentuk kata yang bercirikan kejelasan.[9] Selain itu, kata ilm, berasal dari kata dasar ‘ain, lam, dan mim, yang terambil dari perkataan ‘alamah, yang berarti tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang itu dikenal. Dengan demikian ma’lam, berarti “rambu-rambu jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Selaras dengan itu, ‘a’lam juga bisa diartikan dengan “petunjuk jalan”.[10] Maka tidak heran jika kemudian, kata ‘ayah (jamaknya : ayat), yang berarti tanda, selalu merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an (qauliyah) dan fenomena alam (kauniyah).
Secara deskriptif, al-Qur’an sebenarnya telah memberikan gambaran bagaimana Allah memberikan pengetahuan pengetahuan kepada Adam, ketika para Malaikat tidak mampu menyebutkan “nama-nama” tersebut. Inilah sebenarnya esensi penciptaan manusia tersebut, yaitu untuk mempelajari alam semesta, hukum-hukum susunan batinnya, dan proses sejarah. Semua itu kemudian digunakan untuk “pengabdian kepada Tuhan”.[11] Hal inilah yang membuat manusia dihormati sebagai sebaik-baiknya makhluq dan bahkan Malaikat, kecuali Iblis, bersujud dihadapan Adam, sebagai simbol manusia.
Karakteristik yang membedakan antara manusia dengan makhluq lain adalah kapasitasnya dalam memberikan “nama-nama” kepada benda-benda. Memberi “nama” benda-benda mempertegas kapasitas manusia dalam menemukan sifat-sifat benda, hubungan timbal balik dan hukum-hukum perilakunya.[12] Ketika kita menamakan sesuatu itu batu, pohon, atau elektron, kita akan mengetahui bagaimana perilakunya, bisa mengetahui lebih banyak tentanya, bahkan bisa meramalkannya. Dengan kata lain, manusia berbeda dengan makhluq lainya adalah ketika ia mempunyai pengetahuan kreatif dan ilmiah mengenai benda-benda (ilmu eksakta), mengenai susunan batinnya (ilmu kejiwaaan), dan mengenai perilaku luar manusia sebagai suatu proses yang berjalan terus menerus dalam sebuah masa (ilmu kesejarahan).
Ketika kita tidak mampu berbicara tentang Tuhan kecuali dengan perumpamaan-perumpamaan, maka Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalu “ayat”. Disini manusia bertanggungjawab untuk mengungkapkan dan memahaminya. Untuk mengungkap realitas dibalik ayat tersebut (the ultimate reality), manusia harus menggunakan potensi akal pikirannya, dengan cara mengaitkan ketiga realitas diatas berdasarkan prinsip fundamental tentang kesatuan (unity) dan keseluruhan (totality).[13]
Ajakan untuk memahami relitas alam ini, sebenarnya sudah ada dalam al-Qur’an. Bahkan ayat pertama kali turun kepada Muhammad adalah “bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan”.[14] Jadi, sejak pertama umat Islam telah ditantang untuk membawa teks, berupa alam raya. Alam raya sendiri artinya “tanda” yang menunjukkan kepada realitas diluarnya.[15] Dalam sebuah syairnya, Hamka menyebutkan tentang hal ini;
Mekar mengembang, fajar menyingsing
Ombak berdebur, gunung menjulang, langit menghijau
Rimba belukar sunyi, awan berarak menepi
Air mengalir, serasa terjun pimping dilereng dikecut angina
Anak menangis dalam pangkuan bundanya, ibu bernyanyi
Mengingat ayahnya
Keringat mengalir di dahi seorang yang baru pulang
Dari pekerjaannya dan anaknya berlari kehalaman
Menyanbutnya ayahnya pulang…………
Kemana saja … Yang mana saja! Menengadah keatas
Atau menekur kebawah
Hanya satu yang tampak di mata, di hati : “Allah!”
Hanya satu suara yang terdengar : “Allah!”
“Tuhanku, Tidaklah Engkau jadikan segalanya ini dengan sia-sia?”[16]

Akan tetapi akal pikiran manusia belum merupakan segalanya. Karena peran penting manusia adalah membangun kembali gambaran ilmiuah dari realitas obyekltif dan menciptakan suatu tatanan moral yang berdasarkan pengetahuan ilmiah tersebut. Pemanfaatan alam semesta dengan kerangaka ilmiah tanpa disertai dengan suatu tatanan yang baik, atau mengetahui “nama-nama” tanpa memanfaatkannya, akan menjadi sesuatu yang menurut al-Qur’an adalah ‘abath, suatu perbuatan setan yang sia-sia, bahkan berbahaya. Hal ini persis seperti apa yang diungkapkan oleh Iqbal bahwa ‘aql (penalaran ilmiyah) tanpa ‘isyq (kreatifitas moral positif ) adalah perbuatan setan yang sesat, dan Barat jelas-jelas mengikuti hal ini menurut Iqbal. Sementara ‘isyq tanpa ‘aql, bukan hanya merupakan sesuatu yang steril, tetapi sesuatu yang jelas menipu diri sendiri, dan Iqbal menunjuk kaum Muslimin selama berabad-abad telah melakukan “pembohongan” ini.



Menuju Interelasi Ilmu dalam Islam
Sebenarnya manusia tidaklah memiliki pengetahuan sama sekali, yang memiliki hanyalah Allah. Ketika Allah menggelarkan al-Qur’an dan Alam semesta di hadapan manusia, maka manusia dengan sendirinya ditutut untuk mendapatkan pengetahuan tentang-Nya. Sehingga, ketika seseorang akan melakukan pembacaan, penelitian, dan menemukan sebuah hukum atau teori, semua itu dilakukan atas dasar lillahi ta’ala. Baginya, segala kegiatan keilmuan yang dilakukan atas nama Allah yang telah menciptkan manusia dan telah mengajar manusia segala sesuatu (QS. Al-Alaq : 1, 2, dan 5).
Bagi illmuan Muslim, semestinya tidak mendasarkan kegiatan ilmiahnya semata-mata bersifat kognitif dan skill an sich, melainkan kesemuanya dilakukan atas dasar niat dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati nurani (conscience) yang paling dalam untuk memenuhi aturan-aturan Allah. Sehingga atara science dan con-science merupakan satu kesatuan dan totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali Imran : 79). Ketika mengembangkan dan menggali konsep teoritis dan praksis, semestinya tidak hanya berhenti pada the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada saat mengemukakan makna ruhani atau metafisika pada setiap pernyataan fisika.
Prinsip Tauhidiiyah ini, tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Tidak ada batas antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan iman.
Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya, sekaligus menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya.[17] Sehingga ia tumbuh sebagai insan yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi, yakin sepenuhnya akan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas, keadilan-Nya yang tidak ada tandingannya, dan hidup dalam harmoni dengan alam.
Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan, yang mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat, dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta, yang mendasarkan setiap aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman interelasi antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran mutlak bagi pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Prinsip ini mirip dengan sebutan Chalen E. Westate sebagai “Spritual Welness”, yang diartikan sebagai suatu perwujudan pribadi yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi kehidupan lainnya.[18] Selanjutnya ia mengemukakan bahwa ada empat dimensi “Spritual Welness” ini, (1), Meaning of Life, yaitu berkemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam setiap dimensi hidup secara terpadu dan utuh. (2), Intrinsik Value, yaitu memiliki nilai-nilai intrinsik sebagai perpaduan berprilaku. (3) Trancendence, yakni berkemampuan untuk mentransendensikan atau melakukan hubungan dengan dimensi yang lebih luas dan luhur. Dan (4), Community of Shared Values and Support, adalah berkemampuan dalam melakukan hubungan kemasyarakatan dengan dukungan nilai-nilai bersama.

Mempertimbangkan Spritualitas dalam Epistemologi Pendidikan
Istilah spritualitas sering diartikan “miring” oleh banyak kalangan, terutama para pemikir muslim, karena istilah ini dikonotasikan kepada tradisi spritualitas Kristen. Tetapi, menurut Nasr, istilah spritualitas menunjukkan makna ruhaniyyah dalam bahasa Arab, dan memiliki arti ma’nawiyyah dalam bahasa Persianya.[19] Semua itu berarti menunjukkan hal-hal batin yang hakiki dan interioritas (bagian dalam), sebagai lawan dari “yang kasat mata”. Selain itu, spritualitas diartikan sebagai bentuk kesempurnaan moral dan kemurahan jiwa sejauh menyangkut umat manusia, sebagai entitas dari kedekatan manusia dengan Penciptanya.[20] Meskipun demikian spritualitas tidak begitu saja dimaknai sesuatu yang bersifat esoteris, yang merupaka lawan dari eksoteris. Ia memang sangat dekat dengan esoteris (al-Batiniyyah), tapi ia juga sangat dekat dengan eksoteris Islam, seperti hukum, teologi, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan.
Esensi dari spritualitas Islam adalah realisasi dari ke-Esa-an Allah, mematuhi segala kehendak dan Hukum-Hukum Allah (sunnatullah), yang kesemuanya terkadung dalam al-Qur’an dengan segala sakramentalnya, melalui “bimbingan” dan teladan Nabi yang termanifestasi dalam al-Hadits dan al-Sunnah.
Dalam lintas spritualitas Islam, tradisi tasawuf atau sufi memiliki akar yang sangat mendasat dengan spritualitas Islam. Hal ini, dapat dilihat beberapa tulisan tentang spritualitas Islam, selalu merujuk pada khasanah tasawuf Islam. Di lihat dari proses penghambaan (abd al-Lah) mereka kepata Tuhannya, mereka sangat mengunggulkan kesucian dan kemuliaan hatinya. Sehingga mereka (selalu menklaim) mampu sedekat mungkin dengan Tuhan. Gambaran ketataatan, ini sebenarnya dapat kita lihat dalam al-Qur’an “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan semua orang yang memanggil (berdo’a) jika Aku di panggil. (QS. Al-Baqarah :186). Di ayat lain Allah pun menegaskan bahwa “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana kamu menghadap, disitu ada ‘wajah’ Tuhan. (QS. Al-Baqarah : 115). Itu semua adalah metafora dari keniscayaan seseorang akan kedekatannya denga Tuhan.
Salah satu hadits Qudsi (kudus, suci) yang dijadikan landasan oleh kaum Sufi adalah “hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekati dirinya kepada-Ku, melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia, dan apabila Kucintai dia, maka Akulah Pendengar dengan apa yang ia dengar, mata dengan apa yang ia melihat, dan tengan dengan apa yang ia pegang, serta kaki dengan apa ia berjalan.[21] Hadis ini menunjukan akar spritual Islam yang bersumber langsung dari Tuhan. Inilah prototype kehidupan spritual dan kedalaman batin dengan Tuhan, yang menjadikan Nabi sebagai sumber spritualitas Islam, dan menjadikan Dzikr (mengingat Allah terus menerus) sebagai kesatuan dalam setiap ritme kehidupan. Disinilah urgensi tradisi sufi, untuk dijadikan sebagai basis spritualitas dalam pendidikan Islam.
Dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal, Danah Zohar dan Ian Marshal,[22] secara terbuka mengutip puisi Jalaludin al-Rumi untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya.[23] Di sini, khazanah sufi telah mampu mempengaruhi tradisi psikologi Barat Modern, ditengah kegalauan mereka akan kedamaian spritual. Hal ini pula semakin mempertegas betapa kayanya khazanah tradisi spritualitas Islam.[24]
Cerdas secara spritual, merupakan kecerdasan yang berada pada bagian diri yang terdalam, kedalaman hati (deep insight), pemahaman dan kearifan berfikir. Kecerdasan spritual juga akan memberikan kesadaran yang akan mendorong kita tidak saja untuk mengakui nilai-nilai “suci” tetapi juga secara kreatif akan menemukan nilai-nilai baru. Sehingga tidak heran jika Danah Zohar dan Ian Marshal, menyebut kecerdasan ini sebagai The Ultimate Intelligensi, puncak kecerdasan.
Kecerdasan ini, justru hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Sehingga basisnya adalah self its self (fithrah dalam Islam) dimana ia dituntut untuk mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu ia berasal, “perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjidatau dalam bahasa kaum Perennialis “alam surgawi”, dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Dengan konsep dasar (fithrah) yang termanifestasi dalam konsep “perjanjian primordial” inilah,[25] menjadi modal bagi manusia untuk menjadikan kebaikan (tauhid, keesaan Tuhan) sebagai basis bagi semua prilaku manusia.[26] Oleh karena itu, manusia musti berada pada kondisi “bersih” secara spritual.
Menjadikan kecerdasan sufistik, sebagai basis pembelajaran dalam pendidikan Islam, merupakan sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia. Tidak heran jika kemudian, Kuntowijoyo pernah merekomendasikan untuk memasukkan khazanah sufi kedalam pendidikan Islam. Karena Sufi telah mampu mentransendensikan hodup manusia, juga kekayaan yang terkandung didalamnya, yang sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.[27] Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sastra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik.[28] Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (Ilahi Rabbi).
Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.

Penutup
Ketika manusia melakukan pencarian yang terus menerus tentang Tuhan dan ayat atau tanda-tanda-Nya, maka ia mutlak harus mempunyai kesiapan spritual. Kesiapan ini, tentunya harus dimulai dari lingkungan yang paling sederhana, yaitu keluarga, kemudian pada tingkat lembaga pendidikan, ia juga diarahkan pada pembimbingan kearah penanaman nilai-nilai universal rabbaniyah.
Karena ketika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Ilahi.
Lihatlah realitas yang menjangkiti dunia modern seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas, hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual; semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Tanpa itu semua, prosen transformasi dalam dunia pendidikan atau ketika kita akan melakukan proses pengkajian, justru akan terjebak pada persoalan-persoalan pragmatisme dan hedonisme semata. Tanpa itu semua, kita (kadang) patut mempertanyakan komitmen keilmuannya. Benarkah? Lihatlah disekiling anda…. Wallahu a’lam bi showab

Daftar Pustaka
Ahmad,. Amrullah. 1991. “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ashraf,. Ali, 1996. Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus. 1996.
Al-Jauhari., Imam Chanafie. 1999. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, Yogyakarta : Ittaqa Press.
Fazlurrahman. 1985, Islam Dan Modernitas ; Tantangan Transformasi Intelektual. Bandung : Pustaka.
___________. 1967. “The Qur’anic Consept of God” dalam Islamic Studies, Jilid VI, no. 1.
Hidayat, Komarudin. 1999. “Melampaui Nama-Nama Islam dan Postmodenisme” dalam edy A. Efendi,. Komaruddin (ed) Dekonstruksi Mazhab Ciputat. (Bandung : Zaman Wacana Mulia.
Hamka. 1985. Filsafat Ketuhanan. Surabaya : Penerbit Karunia.
Mulkhan,. Abdul Munir. 2002. Nalar Spritual Pendidikan ; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara Wacana. 2002
Rasyid Ridha., Muhammad. 1931. Tarikh al-ustadz al-Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh, Kairo : Dar al-Maarif. 1931.
Surya,. Muhammad, 2000. “Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Tauhi Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. Bandung : Nuansa.
Syafi’i Ma’arif,. Ahmad. 1991, “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf, 1979. Crisis Muslim Education, Jeddah : King Abdul Aziz University.
Shihab., Quraish. 1999. Wawasan al-Qur’an. Bandung : Mizan.
Wan Daud., Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung : Mizan.
[1] Dikutip dari tulisan A. Syafi’i Ma’arif. “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1991) hlm 147 – 148.
[2] Sains agama ini merujuk pada teologi (ilmu kalam), Hukum (termasuk fiqh, ushul fiq dan lain-lain), ulumul Qur’an, ulumul Hadits, dls. sains rasional biasanya dialamatkan pada ilmu-ilmu fislafat, retorika, aritmatika, astronomi, kedokteran, dls. Amrullah Ahmad. “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1991) hlm 83.
[3] Menurut Rahman, selain serangan al-Ghazali tersebut, ada beberapa alasan tentang hal ini. Pertama, adanya pandangan bahwa hidup ini relatif singkat. Sehingga orang kemudian memprioritaskan ilmu-ilmu agama untuk memberikan “jaminan” pada kehidupan akhirat. Kedua, adanya tradisi sufi yang dengan sengaja menolak rasionalisme-intelektual dalam pencapaian pengetahuan. Dan Ketiga, ijazah-ijazah yang mendapat legislasi untuk bekerja sebagai mufti atau qadi pada saat itu adalah ilmu-ilmu agama, sementara filsuf dan saintis hanya tersedia lowongan kerja diistana saja. Lihat Fazlurrahman. Islam Dan Modernitas ; Tantangan Transformasi Intelektual. (Bandung : Pustaka. 1985) hlm 39.
[4] Misalnya tentang persoalan epistemologis praksis dari pemberlakuan integrasi ilmu di UIN, sepertinya hanya didasarkan pada kebutuhan pragmatis dan apologis. Realisasi dari persoalan apakah integrasi itu adalah pemberlakuan nilai-nilai Islami, yaitu setiap ilmu umum di “sinari” dengan nilai-nilai Islam, ataukah disiplin ilmu itu berdiri sendiri meskipun didalamnya ilmu-ilmu dasar Islam diajarkan? Yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati adalah pemberian gelar yang “jelas-jelas” memperlebar dikotomi antara Perguruan Tinggi Agama (UIN) dan Perguruan Tinggi Umum.
[5] Abdul Munir Mulkhan. Nalar Spritual Pendidikan ; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Tiara Wacana. 2002) hlm. 188.
[6] Kesuksesan ini bisa kita baca penuturan salah satu muridnya, Muhammad Rasyid Ridha dalam buku Tarikh al-ustadz al-Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh, (Kairo : Dar al-Maarif. 1931) hlm. 254.
[7] Lihat Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf, Crisis Muslim Education, (Jeddah : King Abdul Aziz University. 1979) hlm 56.
[8] Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an (Bandung : Mizan. 1999) hlm 234.
[9] Misalnya ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dsb.
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. (Bandung : Mizan. 2003) hlm 144.
[11] Fazlur Rahman. “The Qur’anic Consept of God” dalam Islamic Studies, Jilid VI, no. 1. 1967, hlm 8 – 11.
[12] Ibid.
[13] Imam Chanafie Al-Jauhari. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, (Yogyakarta : Ittaqa Press. 1999) hlm 53.
[14] QS. Al-‘Alaq : 1.
[15] Komaruddin Hidayat, “Melampaui Nama-Nama Islam dan Postmodenisme” dalam edy A. Efendi (ed) Dekonstruksi Mazhab Ciputat. (Bandung : Zaman Wacana Mulia. 1999) hlm 96
[16] Hamka. Filsafat Ketuhanan. (Surabaya : Penerbit Karunia. 1985), hlm 113.
[17] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1996) hlm 23 – 24.
[18] Dikutip dari Muhammad Surya, “Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Tauhi Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. (Bandung : Nuansa. 2000) hlm 84 – 85.
[19] SH. Nasr. Spritualitas dan Sni dalam Islam. (trj) (Bandung : Mizan. 1993) hlm. 16. terutama pada footnote 9.
[20] Bandingkan dengan SH. Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis ; Spritualitas Islam, (trj), (Bandung : Mizan. 2002) hlm xxii.
[21] Hadits ini penulis kutip dari buku SH. Nasr. Islam ; Antara Cita dan Fakta, (trj). (Yogyakarta : Pusaka. 2001) hlm 57.
[22] Danah Zohar dan Ian Marshal. SQ ; Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk memahami Hidup (trj). (Bandung : Mizan. 2000)
[23] Teks lengkapnya baca halaman 9.
[24] Lihatlah misalnya pada abad III – VII H, kreatifitas dan dinamika sufistik telah mampu memberikan inspirasi pada pemikir-pemikir, baik dibidang filsafat, kalam, dan hukum. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Tufail, Suhrawardi, al-Ghazali, bahkan tokoh-tokoh ahli kimia dan fisika ; al-Iraqi, Jubir Ibn Hayyan (penggali pertama ilmu aljabar), dan al-Razi (ahli Ilmu Optik) adalah orang-orang sufi. Begitu pula Nash al-Din at-Thusi dan Ibn Bana’ al-Marakusyi. Bahkan spritualitas Sufistik telah mempengaruhi peradaban materal. Hampir setiap bentuk seni mulai puisi, sajak cerita-cerita,sampai pada bentuk arsitektur ; masjid, Istana memperlihatkan keterpaduan dengan sufi. Pengaruh ini dapat dilihat dalam buku SH. Nasr. Spritualitas dan Seni Islam. (Bandung : Mizan. 1993).
[25] Yang dimaksud dengan “perjanjian primordial” ini adalah suatu ikatan janji yang terjadi pada zaman azali dengan Tuhan dan manusia, bahwa manusia primordial mengakui Dia sebagai Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam ayat “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari tulang selangkangan mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri, (dan Allah berkata) “bukankah Aku adalah Tuhanmu sekalian?”, mereka semua menjawab “ya, benar, kami semua menjadi saksi”..(QS. Al-A’raf : 172).
[26] Munzir Hitami. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. (Pekanbaru : Infinite. 2004) hlm 11 – 14.
[27] Kuntowijoyo menyebutkan ; “Substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), Rajâ’ (sangat berharap), Qonâ’ah (menerima pemberian Allah), Tawakkal ((pasrah), Syukûr, Ikhlâs dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct theaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh Nabi, para Shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan, demikian juga sejarah, mitos dan sastra”. Lihat Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998).
[28] Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, hlm 184.

Epistemologi Intuitif

Epistemologi Intuitif ;Memperbincangkan Epistemologi ‘Irfani
PengantarSegala Kebenaran harusnya diketahui dan dinyatakan dan juga dibenarkan. Kebenaran itu sendiri (sebenarnya) tidak memerlukan hal, karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku(Paul Natorp)Pada dasarnya, filsafat mencoba untuk mencari kebenaran, sebuah usaha yang selalu membawa klaim-klaim dari para pembawanya, agar menjadi valid dan tetap selalu dipakai disetiap zaman. Akan tetapi, hal itu harus berangkat dari pertarungan yang panjang, yang melampaui dimensi ruang, tempat dan lokalitas pemikiran seorang filosof. Dari pencarian kebenaran tersebut, tentu akan selalu ada mata rantai filsafat yang pada dataran praksisnya menjadi abadi. Yaitu manifestasi dari tesis-antitesis, aksi-reaksi, dan kontruksi-rekontruksi atau dekontruksi.Oleh karena itu, kebenaran akan selalu menjadi sementara (hypo-knowledge), yang pada suatu saat akan “berselingkuh” dalam bentuk beragam rupa, sesuai dengan parameter dan indikator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidental, lokalitas, kontekstualitas, maupun karena lemahnya “jari-jari” kebenaran tersebut mencengkeram suatu zaman. “Perselingkuhan” atau bahkan pertentangan sama sekali, dari satu kebenaran ke kebenaran lainnya, merupakan dialektika dan dinamika tersendiri dalam diri filsafat.Makalah ini mencoba melakukan eksplorasi lebih jauh pada perdebatan “pencarian” pengetahuan, yang selama ini berputar pada wilayah rasionalisme dan empirisme yang sangat menghegemoni pemiran filsafat selama berabad-abad. Dan makalah ini, tidak membuka kembali perdebatan itu, meskipun ada sedikit “kata pembuka” untuk menguraikan lebih lanjut munculnya intuisi sebagai salah satu “media” bagi proses penemuan pengetahuan.

Pertarungan Epistemologi dalam Sejarah ; Peta awal Kelahiran IntuisionismeEpistemologi seringkali diartikan sebagai “the branch of philosopy which investigates the origins, structure, methods and validity of knowledge” Dengan kata lain, epistemologi merupakan bagian filsafat yang membahas secara mendalam mengenai hakikat dan kebenaran sebuah pengetahuan, serta metode dan sistem untuk memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya, terdapat dua aliran besar dalam epistemologi. Pertama, Idealisme, yang kemudian diteruskan oleh kelompok rasionalisme. Aliran ini, sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, Matrealisme, justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua . Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Matrealisme dimotori oleh Aristoteles.Plato (427 – 347 SM) bersiteguh, bahwa ide adalah hakikat dari yang tampak. Karena, dia beranggapan bahwa sesuatu yang tampak (fenomena) selalu mengalami perubahan, padahal sesuatu yang hakiki semestinya harus kekal. Oleh karenanya, Ide ini bukan hanya sekedar gagasan yang ada pada pikiran an sich, melainkan sebagai sumber untuk membimbing pikiran manusia. Penegasan Plato ini, kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), yang sering disebut sebagai bapak aliran rasionalism sekaligus sebagai pelopor filsafat modern, dengan semboyan Cagito ergo sum. Titik tolak dari keharusan berfikir ini adalah keraguan. Untuk menghilangkan prasangka-prasangka sebelum terjadinya proses berfikir, agar ada jaminan bahwa hasil pemikiran itu benar, maka Descartes mengharuskan untuk menjadikan rasio atau pikiran sebagai satu-satunya instansi yang memberikan bimbingan. Sementara itu, Aristoteles (382 – 322 SM), yang merupakan murid dari Plato, menyanggah dengan tegas, teori yang diajukan oleh Plato tersebut. Menurutnya, ide-ide bawaan atau innate idea, sebenarnya tidak ada. Sungguhpun dia menyadari bahwa fenomena atau realitas itu selalu berubah, akan tetapi dengan penyelidikan dan pengamatan yang terus menerus terhadap benda-benda konkrit, maka akal akan dapat mengabstraksikan idea dari benda tersebut. Dari asumsi inilah, kemudian empirisme memperkuat tesis Aristoteles tersebut. Thomas Hobbes (1588 – 1679 M) misalnya, menganggap bahwa yang ada hanyalah bersifat bendawi, artinya keberadaan realitas benda tidak tergantung pada gagasan manusia.Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah setiap kebenaran selalu didasarkan pada alam metafisis tidak dapat diterima. Sementara kebenaran agama, yang sumber kebenarannya didasarkan pada realitas metafisis, tidak mendapat porsi yang sempurna (untuk tidak mengatakan tidak sama sekali) dalam pandangan matrealisme-empiris tersebut. Tarik menarik antara Idealisme dan Matrealisme ini, kemudian melahirkan dua corak pemikiran filsafat baru. Pertama, Rasionalisme Kritis, yang dipelopori oleh Imanuel Kant. Dia lalu menggabungkan pengetahuan a la rasionalisme dan empirisme dengan sintesis a priori. Kant membagi pengetahuan kepada empat tingkatan. Pertama, pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Kedua, pengetahuan yang didapat dari pengalaman (a posteriori). Ketiga, pengetahuan yang didapat melalui analisis (analisis). Keempat, pengetahuan yang didasarkan kepada hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang bisanya terpisah (sintesis). Jika rasionalisme hanya sampai pada pengetahuan analitis a priori, maka matrealisme hanya sampai pada analitis a posteriori. Oleh karena itu, menurut Kant, untuk mencapai pengetahuan yang universal dan hakiki harus dilakukan adalah sintesis a priori, yaitu proses penggabungan dari rasionalisme dan empirisme. Aliran Kedua, yang muncul sebagai kritik atas Idealisme dan Matrealisme adalah Intuisionisme, yang dipelopori oleh Henry Bergson. Aliran ini mencoba menengarai antara pengetahuan diskursif (knowledge of), yaitu pengetahuan yang didapat melalui simbol-simbol lahiriah dari realitas, dengan pengetahuan intuitif (knowledge about), yakni pengetahuan yang diperoleh melalui usaha untuk mengatasi hal-hal yang bersifat lahiriah dari pengetahuan simbolis. Dalam khazanah pemikiran filsafat-sufistik, aliran ini banyak dikembangkan. Misalnya Iqbal, yang memposisikan intuisi sebagai salah satu sumber sentral dalam mencari hakikat kebenaran atau pengetahuan. Meskipun, dia sering merujuk pengertian intuisi ini pada Jalaluddin Rumi, tetapi pada kesempatan lain dia juga mengikuti Bergson tersebut, yang oleh dia disebut sebagai “a higher kind of intellect” Struktur dan Cara Kerja IntuisiKetika kita akan mencoba menelusuri dan mencari ilmu atau pengetahuan, maka kita akan mengambil dan mengolah bahan-bahan ilmu itu dari sumbernya, sehingga akan menjadi “berilmu”. Lalu, proses penelusuran dan pencarian itu, jelas membutuhkan “seperangkat” media untuk mampu mencerap sebuah ilmu. Nah, pertarungan antara rasionalisme, yang memainkan hegemoni akal, dan empirisme, yang menonjolkan peran indrawi, merupakan diskursus panjang tentang pencarian itu.Problem yang terjadi pada ranah rasionalisme dan empirisme adalah ketidakmampuannya dalam menangkap eksperensiasi dari sesuatu. Jika rasionalisme berhenti pada wilayah akal dan tidak sampai pada wilayah “supra akal”, sementara empirisme melahirkan pengetahuan yang parsial dan terbatas oleh ruang dan waktu, maka intuisi menjadi “gerbang” bagi adanya pengetahuan eksperensial.Menurut Henry Bergson, alam ini ada dua ; alam Indrawi dan alam Intuisi. Jika yang pertama bisa diamati dan bisa dieksperimentasi oleh ilmu pengetahuan, maka yang kedua sangat menekankan dimensi kejiwaan. Pada dimensi ini, kita akan mendapatkan sebuah pengetahuan absolut. Dimana kita berada pada ruang yang terpisah jauh dengan wilayah rasio dan empiris yang menipu.Sementara Iqbal, memposisikan wilayah intusi ini pada wilayah qalb atau fuad. Artinya, yang menjadi wilayah kerja intusi adalah berada pada struktur heart (hati). Karena ia berada pada heart, maka pengetahuan intuitif ini, baik dalam pengertian kecerdasan (al-hads) maupun dalam pengertian pengelaman pencerahan (al-wijdan, Illuminatif), adalah sampainya jiwa pada makna atau sampainya makna dalam jiwa. Sehingga, bagi Iqbal, cara mengambil ilmu dari sumbernya adalah melalui ilham, dan sebagai penerimanya adalah intuisi. Maka, kerja sama antara pancaindra, akal dan intuisi, merupakan kemutlakan seseorang dalam memperoleh pengetahuan. Ia tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling melengkapi. Contoh berikut adalah bagaimana struktur kerja antara pancaindra, akal dan intuisi. Iqbal memberikan contoh, ketika seseorang melihat langit, yang kemudian berkesimpulan bahwa “langit itu biru”, merupakan hasil dari kesan kesadaran. Karena warna “biru” pada langit bukanlah kualitas pada langit. Hal ini, menandaskan bahwa akal berposisi memberikan keputusan bahwa langit itu “biru”, sementara indera sangat bergantung pada intuisi sehingga menimbulkan kesadaran batin.Peran ilham dalam melakukan “penyingkapan-penyingkapan” kesadaran batin, sebenarnya telah banyak di sitir oleh kaum sufi dalam mendapatkan ilmu hudhuri, yaitu proses pencarian pengetahuan melalui hati (heart). Kaum sufi menegaskan bahwa manusia akan mencapai istisyraq (pencerahan) dan istilham (ketersingkapan), jika ia mampu mencapai manazil al-sa’irin (kedudukan-kedudukan para pejalan), kesadaran diri (yaqzhah), tobat (tawbah), mawas diri (muhasabah), perenungan (tafakkur), mengingat Allah (tadzakkur), dan lain sebagainya. Menurut mereka, jika mata (bashar) hanya mampu mengindera obyek yang dekat dan tidak terlekati oleh kotoran dan hijab, maka mata kesadaran dan mata-batin (bashirah) akan mampu mengetahui obyek yang jauh dan mampu menyingkapkan kotoran dan hijab.
Epistemologi ‘Irfani ; Antara Bayani dan BurhaniPerbedaan pendekatan dalam mempelajari dan memahami sesuatu, terkadang juga melahirkan berbagai kesimpulan yang berbeda. Demikian pula dalam studi Islam, munculnya berbagai mazdhab sepanjang sejarah Islam, menunjukkan bahwa sebagian Ulama’, baik Muhadditsin, Mufassirin, maupun Fuqaha’, bahkan kaum Sufi dan Filosof, memiliki tipologi atau pendekatan pemikiran tersendiri dalam membangun kerangka berfikirnya, yang nantinya akan melahirkan produk-produk ijtihad-nya yang berbeda satu dengan yang lainnya.Istilah epistemologi ‘Irfani, yang kemudian dibarengi dengan bayani, dan burhani, banyak dikembangkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri. Epistemologi bayani, menurut al-Jabiry, didukung oleh corak berfikir fikih dan kalam. Model ini, lebih menekan otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah usul fiqh klasik, sementara sumber-sumber lain seperti alam (kauniyyah), akal (aqliyyah), dan intuisi (wijdaniyyah), terpinggirkan. Sehingga, isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual, tidak tersentuh pada model ini.Jika, sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, maka epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-ilm al-hushuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan melalui peremis-premis logika atau al-mantiq. Dan ilmu ini, telah banyak disebut pertamakali oleh Ibn Rusyd. Tolak ukur validitas keilmuannya, epistemologi ini menekankan akan adanya korespondensi, yaitu kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam (al-mutabaqah baina al-‘aql wa nizam al-tabi’ah). Juga koherensi, keruntutan dan keteraturan berfikir logis.Sementara istilah epistemologi ‘irfani, muncul dikalangan kaum sufi, yang sangat menekankan pengalaman (experience). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tiada ternilai harganya. Ketika sesorang menghadapi fenomena alam yang mengagumkan, sehingga dalam lubuk hatinya akan dapat mengetahui Dzat Yang Maha Segalanya, oleh karenanya orang tidak perlu menunggu “teks” untuk melakukan eksplorasi pengetahuan.Pengalaman-pengalaman batin yang amat mendalam ini, biasanya disebut sebagai al-Ilm al-Hudhuri (direct experience). Semua pengalaman tersebut, dapat “dirasakan” langsung oleh seluruh umat manusia tanpa memandang ras, budaya, dan agama. Oleh karena itu, validitas kebenaran epistemologi ‘irfani ini hanya dapat dirasakan dan dihayati langsung (al-ru’yah al-mubasyirah). Sehingga, sekat-sekat bahasa, ras, kultur, etnik, golongan, dan paham yang terbangun dalam epistemologi bayani, dicoba diketipakan oleh epistemologi ‘irfani.Maka, hubungan antara “subyek” dan “obyek” bukannya bersifat subyektif, sebagaimana yang terjadi pada tradisi bayani, dan bukan pula bersifat obyektif, seperti biasa ditanamkan pada tradisi burhani, melainkan inter-subyektif. Dalam pengertian ini, pemaknaan dalam studi agama, lebih dimaknai secara batiniyyah. Berikut adalah skema antara tradisi epistemologi keilmuan Bayani, Irfani dan Burhani :
“Wilayah Kerja” Epistemologi Bayani Irfani BurhaniSumber Nas/otoritas teks Pengalaman Alam, sosial, humanitasMetode Ijtihadiyyah - al-dzauqiyyah- riyadhah, mujahadah, dll- penghayatan batin Abstraksi Pendekatan - Bahasa- Pola fikir deduktif, dengan berpangkal pada teks. (istinbatiyyah)- Fikih dan Kalam Psiko-gnosis, intuitif, al-Qalb. Filosofis-SaintisKerangka teori al-Lafz-al-Ma’na - zahir – batin- haqiqi – majazi - al-mantiq- silogismea – bb – ca – c Fungsi dan peran akal Justifikasi-repetitif-taqlidi(Pengukuhan kebenaran otoritas teks) Partisipatif-al-hads wa al-wijdan Heuristik-Analitik-KritisModel argumentasi Dogmatik Esoterik dan Wijdaniyyah Demonstratif, eksploratif, verifikatif, eksplanatifTolak ukur validitas Keserupaan antara teks dengan ralitas Empati, simpati, dan undestending others KorespondensiKoherensiPragmatig Prinsip-prinsip dasar - infisal (discontinue- tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada hukum kausalitas- analogi deduktif ; qiyas. Al-ma’rifah Prinsip kausalitaskepastianPenganut Teolog, fuqaha’, ahli nahwu Kaum sufi FilosofIlmuanHubungan Subyek Obyek Subyektif Inter subyektif Obyektif

PenutupSehebat apapun sebuah pengetahuan, atau “hasil” ijtihad, pasti akan berhadapan dengan kompleksitas persoalan yang terus berkembang. Dan semakin ia tertutup dengan “pengetahuan” diluarnya, justru semakin kelihatan kekakuan dan eksklusivitasnya. Dan bila ini terjadi, maka hasilnya bukanlah enrichment dan development (Pengayaan dan pengembangan keilmuan) tetapi adalah penyempitan willayah horizon keilmuan itu sendiri. Lalu bagaimana dengan kita? Nah….Wallahu A’lam bi al-Showab.
Daftar PustakaMieska Muhammad Amin. 1983. Epistemologi Islam. Jakarta : UI Press.
Harold H. Titus, dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat (trj). Jakarta : Bulan Bintang.
L. O. Kattsoff. 1987. Pengantar Filsafat, (tjm). Yogyakarta : Tiara Wacana.
Harun Hadiwijono. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : Kanisius Muhammad Husny al-Zayyin. 1979. Mantiq Ibn Taymiyyah wa Manhayjuh al-Fikr, Baerut : al-Maktabah al-Islami. 1979
Muhammad Iqbal. 1981. The Recontruction of Religiou Thought in Islam. New Delhi : Kitab Bhavan.
Ali Abdul Azhim, 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu ; Perspektif al-Qur’an, Bandung : CV. Rosda.
Jujun S. Suriasumantri. 1999. Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantas Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Ibn Manzur. 1990. Lisan al-Arab, jilid III. Beirut : Dar al-Fikr.
Wan Mohd. Nor Wan Daud. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam (trj). (Bandung : Mizan.
Sukardi (ed). 2000. kuliah – Kuliah Tasawuf, Bandung : Pustaka Hidayah.
M. Amin Abdullah. “Al-Ta’wil al-Ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci” dalam M. Amin Abdullah, dkk. 2002. Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, Yogyakarta : Panitia Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga.