Senin, 10 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Taqdir akhir seluruh dunia Adalah mencapi Tempat pengampunan murni dan Rahmat terbaik (Ibn ’Arabi) Mencintai Negara, Tanpa disertai mencintai kemanusiaan sama saja dengan menyembah berhala (Erich Fromm)
Mabrur
Imam Hanafi, MA
“….tidak ada balasan bagi haji mabrur,
kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut
mengisyaratkan bahwa hanya surgalah pahala yang paling pantas bagi seorang yang
menjadi atau mendapatkan haji mabrur. Yang menjadi menarik disini adalah mengapa
justru kata mabrur yang dipakai Rasulullah dalam menyikapi keluhuran atau
“kesuksesan” sesorang ketika menjalankan ibadah haji di Makkah al-Mukarramah?
Kenapa tidak muhlisin, orang-orang ikhlas karena dalam ibadah haji dituntut
keihlasan yang luar biasa? Atau kenapa tidak shobirin, orang-orang yang sabar
karena ketika berhaji membutuhkan kesabaran?
Oleh karena itu, istilah
mabrur, yang sering digunakan oleh para penceramah tersebut, menjadi menarik
untuk direnungkan bersama. Sebab dari isi (matan) hadits tersebut, memunculkan
peluang untuk mempertanyakan mengapa haji mabrur yang mendapatkan langsung
iming-iming surga? Kata Mabrur, yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi
baik, memiliki kata dasar barra, berbuat baik atau patuh. Sementara dari kata
barra ini, muncul kata birr-un atau al-birru, yang artinya kebaikan. Jadi kata
al-Hajj al-Mabrur berarti haji yang mendapatkan birr-un, kebaikan.
Dalam
al-Qur’an, Allah menggunakan istilah al-birr-u ini dalam beberapa tempat.
Misalnya dalam surat al-Maryam ayat 14 dan 23, yaitu kata birr-u al-walidain,
berbakti atau berbuat baik kepada orang tua. Ayat ini didukung pula oleh salah
satu Hadits yang menyebutkan bahwa ketika Ibn Mas’ud bertanya kepada Rasulullah
tentang amalan apa yang paling disukai Allah? Nabi menyebutkan, salah satunya
adalah berbakti kepada orang tua.
Kemudian, kata barra ini juga digunakan
oleh Allah dalam surat Ali Imran ayat 9, bahwa “Kamu tidak akan mendapatkan
kebaikan (al-birr-a) yang sempurna, sebelum kamu mendermakan sebagian dari
hartamu yang kamu cintai”. Kalau saja kita mau berhenti pada ayat ini, maka
segala kebaikan yang pernah kita lakukan belumlah memiliki kesempurnaan di
hadapan Allah. Kecuali jika kita mau memberikan atau mendermakan sebagian harta
yang kita miliki untuk orang-orang yang membutuhkan. Atau bisa juga dipahami
bahwa segala perbuatan kita tidak menjadi al-birr-u, menjadi kebaikan, apabila
semua perbuatan tersebut tidak diorientasikan kepada pengorbanan harta untuk
orang lain, terutama bagi orang-orang yang membutuhkan.
Dalam konteks dua
ayat tersebut, al-hajj al-mabrur berarti ada peningkatan komitmen social, baik
kepada keluarga (kedua orang tua) maupun kepada orang-orang yang membutuhkan,
ketika seseorang telah mendapat gelar “Paka Haji”. Jadi, meningkatnya komitmen
social inilah, sebenarnya yang menjadi indicator dari ke-mabruran sesorang.
Ada sebuah dialog, yang diungkapkan dalam al-Qur’an tentang orang-orang yang
masuk surga dan yang masuk neraka. “Apakah yang membawamu masuk neraka?” Tanya
orang yang masuk surga. “Mereka menjawab ; kami tidak termasuk golongan yang
sholat, juga tidak memberi makan kepada kaum miskin. Akan tetapi, kami biasa
berbicara kosong dengan orang-orang yang suka berbicara kosong.” (al-Muddatstsir
: 42 – 45).
Dari dialog ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mereka yang
masuk Neraka adalah mereka yang menempuh hidupnya tidak serius, tidak
bertanggungjawab, dan “sekedarnya” saja. Hidupnya hanya dihiasi dengan
kebohongan, kata-katanya tidak pernah memberikan dampak kebaikan bagi orang
lain, janji-janji yang terlontar dari mulutnya hanya berbuah laksana“buih”
dilautan, berjuta-juta uangnya dengan mudah dikeluarkan hanya demi politik, demi
meraih jabatan, dan untuk meraih kepuasan nafsu duniawi, sementara dikanan-kiri
mereka para dhu’afa tengah menangis mencari sesuap nasi. Sehingga sangatlah
pantas apabila al-Qur’an mengecam keras kepada orang yang tidak peduli dengan
anak yatim dan tidak pernah dengan sungguh-sungguh memperhatikan nasib
orang-orang miskin (al-Kafirun : 1-4)
Lebih-lebih sholat, yang merupakan
“tonggak” bagi tegaknya ke-Islaman dan bahkan amalan sholat inilah yang akan
ditanyakan pertama kali oleh Allah ketika di Hari Pembalasan, justru sering
dilalaikan.
Kembali kepada al-Hajj al-Mabrur, maka konsep mabrur, lebih
memiliki nuansa social, yaitu munculnya komitmen social dari seseorang sepulang
dari Makkah al-Mukarramah. Akan tetapi, masih juga diantara kita, yang
menunaikan ibadah haji, hanya untuk mengejar predikat “Pak Haji” atau hanya
digunakan untuk “fungsi social”, hanya sekedar untuk memiliki kesamaan dengan
“Pak Haji-Pak Haji” yang lain. Maka, peningkatan kualitas ibadah, lebih-lebih
ibadah individual yang berhubungan secara langsung dengan Tuhan, maupun ibadah
social merupakan indikasi yang membedakan antara “Pak Haji” yang mabrur dengan
“Pak Haji” yang riya’. Wallau a’lam bi
al-Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar